Rabu, 01 April 2009

Berapa Gaji Kamu?

Pernah enggak mendapat pertanyaan semacam ini; Gaji kamu berapa? Saya pernah. Rasanya sungguh tak nyaman, risih, ibarat disuruh telanjang saja. Dijawab salah, tidak dijawab juga salah. Kalau sudah begini, saya lebih memilih jalur diplomatis saja untuk mengelak.


Bagi sebagian masyarakat, mungkin membeberkan berapa jumlah gaji yang diterima, memang bukanlah suatu hal yang sulit. Namun, bagi sebagian masyarakat lain, khususnya saya, hal ini menjadi amat sensitif.

Demikian pula di perusahaan. Bagi banyak perusahaan dan karyawan, soal gaji tergolong rahasia. Karyawan pun akan berkelit ketika ditanya gajinya. Walaupun begitu, tidak sedikit pula karyawan yang ”tahu sama tahu” akan gaji rekan-rekannya.

Soal gaji ini, saya punya sebuah kisah menarik. Muhammad Taufik, pegawai PT Ratelindo, harus berurusan dengan hukum gara-gara membeberkan daftar gaji dan tunjangan akhir tahun para karyawan PT Ratelindo. Dia didakwa membocorkan rahasia perusahaan dan pencurian.








Rijanto, selaku jaksa penuntut umum menilai, tindakan Taufik yang membeberkan daftar gaji dan tunjangan akhir tahun itu merupakan tindak pidana pencurian dn pembocoran rahasia perusahaan. Maka itu, Rijanto memasang pasal berlapis bagi Taufik yang perkaranya sudah digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Maret lalu.

Ya, saya setuju saja tindakan ini. Sebab, gaji bukanlah barang mainan. Membeberkan ke publik, sama saja dengan membeberkan aib. Karena menurut saya, gaji adalah ”harga”, gaji adalah prestise. Jadi, harus dirahasiakan sebisa mungkin. Meski kadang, selalu saja ada yang berusaha ingin tahu.

Sialnya, hal ini tak hanya dilakukan oleh rekan di lower level, kadang rekan seselevel bahkan upper level-pun masih juga ingin tahu berapa gaji yang saya dapat. Ada saja caranya, misalnya dengan pura-pura bertanya berapa besar tunjangan yang saya terima.

Atau bagi yang selevel, pura-pura membandingkan berapa item tunjangan yang dia dapat dengan yang saya terima. Dengan demikian, dia bisa mengukur berapa take home pay yang saya terima.

Yang bikin kesal, kadang bukan hanya gaji, masalah berapa uang perjalanan dinaspun ditanya-tanya. Parah memang.








Pernah suatu hari saya bari saja mendapat tugas kantor ke luar kota, pulangnya, langsung disindir kanan kiri. ”Ehm, baru jalan-jalan nih ye... SPPD-nya besar tuh, he he he...”

Ada juga yang langsung tembak, ”Wah, sudah bisa beliin anak baju ya..?”

Dari sini saya sempat bertanya sendiri, ”Memangnya mengapa ya selalu ingin tahu gaji orang? Apa untungnya? Apa tak ada hal yang lebih baik, dari pada hanya memikirkan pendapatan orang saja?”

Namun, ya mau bagaimana lagi. Di masyarakat yang serba majemuk ini, kadang kita sering dihadapkan pada situasi yang berbeda. Menurut kita tabu, tapi bagi mereka tidak.

Gaji adalah harga, gaji adalah prestise. Di dalamnya banyak terkandung misteri. Misteri tentang kesejatian, misteri tentang hidup dan kehidupan sang empu.








Dari gaji pulalah kita kadang bisa diukur. Di beberapa perusahaan, menanyakan berapa gaji yang Anda inginkan, bisa dijadikan tes seberapa cakapkah Anda.

Selain itu, dari gaji jugalah, kita bisa dilihat apakah kita korupsi atau tidak atau apakah kita kaya atau tidak. Di sinilah yang kadang menimbulkan beragam sandiwara gaya hidup bagi si empunya.

Tak jarang kita dihadapkan pada fakta, di mana ada sebagian orang mencoba menutupi rendahnya gaji yang diterima dengan cara berpenampilan wah. Meski terkadang harus ngutang sana sini.

Ada juga yang bertingkah sebaliknya, sebagian orang mencoba menutupi tingginya gaji yang diterima dengan cara berpenampilan kere. Padahal depositonya sudah berlipat.

Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar: