Sabtu, 11 April 2009

Profesionalisme Kacung

Tiap kali saya main ke beberapa kantor, baik pemerintah dan swasta, di sana selalu kita mendengar kata “profesional”. Kadang ditulis besar-besar, kadang juga menjadi bumbu perbincangan baik sesama karyawan, maupun antara atasan dan bawahannya.

Penasaran, saya sempat bertanya, pada para pegawai itu bagaimana mereka melaksanakan “amanat” profesional itu sendiri. Jawabannya pun beragam. Ada yang bilang begini, “Profesional itu, kalau itu menjalankan tugas dan fungsi yang diembankan ke kita.”

Ada lagi yang begini, “Pokoknya apa perintah bos, saya laksanakan. Itulah profesional!”

Kalau jawabannya seperti ini, lalu apa bedanya mereka dengan pembantu atau kacung? Kerjanya hanya menurut perintah saja. Di suruh ke barat, dia ke barat, disuruh ke timur, dia ke timur.

Jam kerjanya juga itu-itu saja, monoton, mudah ditebak dan tak berkembang. Tiap hari paling nyapu, ngelap kaca, masak, nyapu ngelap kaca, masak. Begitu terus. Semua pekerjaan hanya dilakukan hanya sebatas gugur kewajiban. Setelah itu ya sudah.

Tentu saja, akan teramat disayangkan jika profesinalisme seperti ini yang dianut orang-orang kantoran. Buat apa juga mereka kuliah tinggi-tinggi jika hanya menjadi profesional ala kacung ini.



















Lama saya berpikir, akhirnya saya menemukan jawaban pas soal profesionalisme ini. Lucunya, jawaban tersebut saya temukan di sebuah sekolah dasar, ketika saya berbincang dengan salah seorang gurunya.

Menurut sang guru, sekolahnya sangat menjunjung tinggi profesionalisme. “Profesional itu adalah bargaining Pak!” ujarnya.

Dia melanjutkan, seorang profesional akan selalu memiliki ide-ide baru yang dia tawarkan pada pimpinan, bagi kemajuan perusahaannya. Karena itulah, tak ada atasan dan bawahan dalam dunia profesional, yang ada adalah tim yang kuat.

Bayangkan jika masing-masing karyawan menawarkan konsep untuk memajukan perusahaannya, tentu target akan dengan cepat tercapai. “Kalau hanya kerja ikut perintah, bukan profesional namanya Pak. Tapi kacung! Karyawan semacam ini,harusnya segera dipindah saja ke bidang yang lebih cocok,” tegasnya.

Sikap profesional ini, juga membuat karyawan lebih percaya diri. Berhadapan dengan siapapun di level perusahaannya, bahkan CEO-nya sendiri, dia akan tetap tampil dengan wajah menengadah. Karena, seperti yang sudah disinggung di atas, profesional adalah bargaining antara karyawan perusahaan.














“Seorang profesional biasanya akan selalu belajar pada orang-orang (pimpinan) yang dianggapnya hebat. Bahkan kalau perlu, dia akan mencuri ilmu mereka, jika yang bersangkuitan tak mau membagi,” tuturnya bersemangat.

Inilah mungkin mengapa dalam wawancara sebuah perusahaan, calon karyawan selalu ditanya berapa gaji yang diinginkan. Berkaca dari sini, bisa jadi hal tersebut sebagai ujian awal seberapa profesionalnya sang calon karyawan.

Karena kalau dia datang dengan bargaining konsep, maka dia tentu akan percaya diri menjawabnya. “Saya mau gaji segini, karena saya punya konsep yang bisa memberi perusahaan ini 10 kali keuntungan dari gaji yang saya terima!” begitulah kira-kira.

“Saya bingung juga Pak, mengapa calon karyawan yang datang ke mari selalu berkata, saya ingin jadi pegawai. Tak pernah saya dengar, saya ingin jadi kepala. Kalau memang mampu, kenapa harus malu? Lanjut sang guru.

Saya terkesima. Selanjutnya saya coba menarik benang merah dari uraian pak guru ini dengan coba menghubungkan dengan perkataan CEO Jawa Pos Grup Dahlan Iskan. Suatu hari, dia mengkritik wartawan di media nasional yang selalu menurutnya salah meletakkan sebutan profesi pada pekarjaan kasar.

“Masa, tukang pijit dibilang profesi? ‘Lelaki yang berprofesi sebagai tukang pijit itu’. Kalau dokter, wartawan boleh-boleh saja, karena mereka mampu membuat analisa dan keputusan,” ujarnya.

Dari sini saya mengerti maksud Dahlan Iskan, bahwa profesional itu (orang yang menjalankan sebuah profesi) haruslah mampu mengambil keputusan berdasar gagasan dan konsep yang dia ambil, bukan hanya mengerjakan hal yang monoton, seperti halnya tukang pijit dan kerja kasar lain.














***
Profesionalisme, tak selamanya mulus. Dari beragam kasus di perusahaan, diketahui, bahwa pembunuh terbesar profesionalisme itu adalah atasan itu sendiri.

Atasan juga manusia, ada kalanya dia yang tak siap bahkan susah hati melihat bawahannya maju. Selanjutnya dia akan menghambat bahkan menekan laju si bawahan.

Hambatan ini bisa dilakukan langsung ataupun tidak. Bisa disengaja ataupun tidak. Caranya, bisa melalui intimidasi atau memotong simpul-simpul ide bawahannya sehingga tumpul dan bermental kacung.

Kadang, hirarki selalu dijadikan alasan kuat, untuk menekan. Tak jarang dia berkhutbah, “Jangan banyak omong, di sini aku atasanmu, kamu harus nurut apa kata aku, aku bisa memecat kamu, kalau tak nurut perintah keluar saja!”

Biasanya, kalimat semacam ini yang jadi andalan, sehingga membuat profesionalisme karyawan tumpul dan hancur. Selanjutnya, mereka jadi robot bernyawa, robot kacung. Saat rapat, lebih banyak diam. Saat kerja, yang penting kerja, setelah itu cepatlah pulang.

Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar: