Selasa, 14 April 2009

Agus, Dahlan Iskan, dan Takdir

"Kadang kala gunung harus meletus, agar menjaga bumi tetap berdiri."

Kalimat ilmiah penuh falsafah ini saya dapat dari Agus Mustofa, penulis buku-buku Islam berhaluan moderen. Saya bertemu Agus, ketika dia diundang ibu-ibu Majelis Taklim Batam untuk mengisi acara Maulid Nabi.

Dalam konteks psikologi, teori "gunung meletus" tadi bisa juga berarti, kadang kita harus meluahkan amarah, guna menjaga jiwa tetap stabil. Inilah yang disebut katarsis. Semua harus tersalur, secara alamiah.

Agus memang pemikir Islam yang maju, visioner, cocok dengan semangat zaman yang serba dinamis. Di dirinya, saya melihat Buya Hamka.

"Karena Islam adalah agama universal dan pas disegala zaman," urainya.

Arek Malang ini banyak mengupas Islam dari segi ilmu pengetahuan. Semuanya banyak berkisah akan pengggalian, bukan hanya mengopi paste, seperti kebanyakan penulis lain.








Lihatlah bagaimana dia menulis tentang takdir, yang menurutnya bukan sesuatu yang tetap, namun bisa diusahakan untuk berubah.

Agus mengurai, Rukun Iman ke enam mengatakan kita harus percaya pada Qada dan Qadr. Menurutnya, Qadr adalah kapasitas yang sudah ditetapkan. Seperti jenis kelamin, ras, orang tua dan sejenisnya.

Namun Qada, merupakan takdir yang bisa diperbaiki. Misalnya saat ini, kita tengah terjebak macet. Situasi tersebut merupakan takdir, namun hal ini bisa kita perbaiki, kita ikhtiarkan, dengan cara berusaha keluar dari kemacetan tersebut.

Dengan demikian, manusia tak akan terjebak pada kepasrahan. Karena Allah kurang menyukai orang yang hanya berpasrah tanpa berusaha. ''Bukankah Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, bila mereka sendiri tak mengubahnya?" ujar Agus mengutip Alquran Surat Ar-Raad, ayat ke 11.















Lalu, simak juga tulisan Agus yang lain di bukunya yang berjudul Tahajud Siang Hari Duhur Malam Hari. Sungguh, bila otak si pembaca tak memiliki kapasitas pemikiran yang maju, pasti akan langsung meradang membaca judul semacam ini.

Padahal di sini Agus mencoba menggambarkan kepada kita, bahwa di sisi bumi yang lain, siang malam kadang datang tak beraturan. Di Eropa, misalnya, kadang siang di sana lebih panjang dari malam. Pun sebaliknya.

Saya juga sempat membaca, di Rusia pada saat penghujung Musim Panas, penduduk di sana merayakan White Night, yang artinya malam putih. Biasanya perayaan dimulai pukul 23.00.

Malam Putih. Disebut demikian, karena saat itu matahari barulah tenggelam di ufuk ketika pukul 24.00 malam!

Nah, kalau begini bagaimana dong salatnya? Bagaimana dong puasanya? Inilah yang dikupas dalam buku Tahajud Siang Hari Duhur Malam Hari.

Dalam buku ini Agus juga berkisah pengalamannya saat mendampingi jamaah umroh dari Surabaya. kebetulan, kala itu bulan Ramadan. Semua jamaah tentu sedang berpuasa.







Hingga saat jam para jamaah menunjukkan pukul 18.00 (waktunya masih WIB, berdasar jam keberangkatan), di luar masih terang benderang. Padahal, mereka semestinya sudah berbuka.

Sesaat mereka masih bertahan. Hingga dua jam berlalu, ada pula yang tak tahan lalu bertanya pada Agus, apa boleh berbuka puasa. Agus menjawab, karena sahurnya berdasar WIB, maka boleh saja berbukanya berdasar WIB.

Di antara jamaah, ada yang mematuhi saran Agus. Namun, tak sedikit yang masih bertahan. Agus pun tak tega lalu mengatakan bahwa matahari masih lama akan tenggelam.

Pasalnya, perjalanan Surabaya-Mekkah seiring dengan peredaran matahari, yakni menuju ke barat. Kecepatan pesawat kala itu 1.000 km perjam, sedangkan matahari 1.600 km perjam. Jadi, wajar saja jika siang terasa lambat.

Mendengar penjelasan Agus ini, jamaah pun mengerti, lalu mereka berbuka.

Kisah ini juga mendapat tanggapan dari Bos Jawa Pos Grup Dahlan Iskan. Dalam pengantarnya dia menulis, "Wah, untung masih naik pesawat biasa, kalau naik concorde, malah tambah panjang siangnya. Karena kecepatan Concorde melebihi kecepatan matahari," tulisnya.








Hubungan Agus dengan Dahlan Iskan memang cukup dekat. Tak jarang, Dahlan kerap meminta nasihat tentang agama pada Agus. Seperti yang dia tulis di buku Ganti Hati yang spektakuler itu.

Saat itu semasih dalam pemulihan pascaoperasi, Dahlan bertanya via SMS tentang takdir. Yang dijawab Agus bahwa takdir itu bisa diusahakan. Dahlan puas. "Wah, ini baru kiai moderen," pujinya.

Dahlan memang sudah lama mengenal Agus. Maklumlah, Agus dulu mantan wartawan Jawa Pos. Dia bekerja di sana, sejak 1990, setelah lulus kuliah di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Nuklir, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta angkatan 1982.

"Ilmu nuklir kurang berkembang di Indonesia," selorohnya.

Setelah di Jawa Pos, Agus mulai giat mengasah kemampuannya di bidang tasawuf. Maklumlah, sejak kecil dia sudah sangat akrab dengan filsafat seputar pemikiran Tasawwuf. Hal ini terpengaruh pemikiran sang ayah, Syech Djapri Karim.

Di masanya, ayah Agus seorang guru tarekat yang intens, dan pernah duduk dalam Dewan Pembina Partai Tarekat Islam Indonesia, di era Bung Karno.

Setelah di Jawa Pos, pria kelahiran Malang, 16 Agustus 1963 itu, pelan-pelan mulai menuangkan hasil pemikirannya.

Hingga setelah banyak menghasilkan buku, dia memutuskan mundur dari grup Jawa Pos, kala jabatannya sudah sebagai General Manager JTV, televisi lokal milik Jawa Pos. bahkan kini, dia memiliki percetakan buku sendiri di Surabaya, bernama Padma.

Meski telah keluar, hubungan Agus dan Jawa Pos tetaplah dekat. Beberapa kali dia sering diundang menjadi pembicara pada acara internal Jawa Pos.

Buku-buku barunyapun banyak diiklankan di Jawa Pos. "Dulu sih gratis, tapi sekarang bayar," kisahnya. Hal ini terjadi setelah direktur keuangan Jawa Pos "memergoki" bahwa omset dari percetakan Agus sudah besar.

Selain di Jawa Pos, Agus juga banyak diundang menjadi pembicara ke beberapa daerah, termasuk di Batam, hingga akhirnya berjumpa dengan saya.

Satu lagi tausiyah Agus yang masih terngiang di telinga saya adalah, ketika dia menjabarkan apa itu senang, nikmat dan bahagia.

Menurutnya senang itu bersifat kebendaan dan lahiriyah. Misalnya, kita senang saat punya mobil dan sebagainya. Sedangkan nikmat, selalu berada di hati. Adapun kebahagiaan, merupakan nikmat yang datang terus menerus.

Dari uraian ini, kita diajak agar untuk menuju ke sana, hendaknya orientasi hidup tak hanya bersifat kebendaan, namun bagaimana kita menata hati.

Bagaimana menurut Anda?

-----------------


Setelah tulisan ini saya post diblog, saya sms Agus Mustofa.

Assalamulaiakum Mas, saya baru menulis diblogtentang kesan saat bertemu Mas di Batam. Klik rizafahlevi.blogspot.com ya...

Selang 15 menit Agus membalas SMS saya: Ya mas Riza, saya baru baca. Ada beberapa kalimat yang mungkin perlu diedit. (Selanjutnya dia menunjukkan kalimat apa saja itu).

Alhamdulillah, tentu saya senangnya bukan main. Lalu buru-buru memperbaikinya. Matur suwun Mas, maklumlah, nulisnya hanya modal ingatan thok, jadi banyak yang kebolak balik ya...

-------
Mau kenal Agus Mustofa?
klik

http://www.facebook.com/pages/Agus-Mustofa/46838474922

Tidak ada komentar: