Rabu, 29 April 2009

Antara IQ, EQ dan SQ (1)

Beberapa tahun lalu, petinggi perusahaan pesawat terbang di Indonesia pernah datang ke Malaysia melobi bos Petronas untuk menawarkan pesawat yang produksinya.

Delegasi ini langsung disambut sang CEO dengan jamuan makan malam. Setelah itu, delegasi ini diajak melihat-lihat koleksi barang antik pribadi kebanggaannya, mulai aneka keramik China kuno dan lain-lain.

”What do you think sir?” ujar si CEO.
”Oh, fantastik, its wonderful. I Never seen like this before,” komentar anggota delegasi, memberikan penghargaan. Sang CEO pun senang.

Namun, ada pemandangan yang membuatnya keheranan. Dia melihat seorang asisten dari delegasi tersebut, seorang doktor yang sangat cerdas, hanya diam saja. Dia pun penasaran, lalu bertanya.

”Wahai, gentleman, bagaimana menurut Anda?”
Yang ditanya pun akhirnya menjawab, ”Oh bagus-bagus Tuan. Dan perlu Tuan ketahui, di Jakarta, tepatnya di jalan Surabaya, barang antik seperti ini banyak dan murah-murah Tuan!”

Tahu apa yang terjadi, si CEO geram, namun ditahan dalam ahti. Puncaknya, Petronas membatalkan untuk membeli pesawat dari Indonesia.










Contoh lain.

Seorang ahli komunikasi yang brilian berbicara di depan karyawan sebuah perusahaan. Materinya, soal motivasi dan komunikasi. Tentu saja karyawan tersebut senang bukan kepalang. Pikirnya, kapan lagi mendapat pencerahan gratis dari seseorang pembicara yang perjamnya dibayar Rp15 juta itu.

Pertama sekali, mereka menyimak. Saat tiu, si ahlu komunikasi berbicara tentang dirinya sendiri. Soal kehebatannya, soal kesuksesannya. Ya, tak apalah, sah-sah saja.

Hingga kemudian ahli komunikasi itu terang-terangan mengkritik mantan pimpinan karyawan tersebut yang dia pandang tak hormat pada senior. Sekadar diketahui, beberapa tahun lalu, si ahli komunikasi ini pernah datang ke kantor tersebut dan diterima pimpinan berbeda.

Di penghujung kisah, sang brilian mengatakan agar para karyawan bersiap memecat diri atau dipecat dari perusahaan yang kejam tersebut. Menurutnya, pekerjaan ini tak bisa dijadikan sandaran. Lihat saja, di kantor pusat pun, banyak pimpinan hebat-hebat dan brilian akhirnya harus diberhentikan dan dibayar pesangonnya.

Hingga sesi ini usai, apa yang terjadi? Para karyawan yang tadi diberi pencerahan malah kian resah. Mereka menyayangkan kok, tega-teganya si pembicara memberi predikat buruk pada mantan pimpinannya itu.

Selain itu, banyak mereka yang merasa hilang semangat dan semakin merasa tak berarti. ”Buat apa bekerja, toh akhirnya diberhentikan juga. Orang-orang hebat di kantor pusat saja dengan mudahnya dibuang, apalagi kita?” ujarnya.











***
Dua kisah ini adalah contoh, betapa kadang kecerdasan intelektual (IQ) saja tidak cukup. Untuk itu, harus diiringi kecerdasan emosi (EQ), supaya bisa meraba perasaan orang lain.

Pada contoh pertama, ketika seorang doktor mengatakan bahwa koleksi si CEO banyak dijual di jalan Surabaya dengan harga yang murah. Ini menandakan bahwa dia tak bisa meraba perasaan, betapa saat itu si CEO sedang berharap penghargaan yang layak.

Apakah omongan si Doktor salah? Tentu tidak, ucapannya benar, namun sekali lagi, situasi dan kondisinya saja yang tak tepat disampaikan di saat-saat seperti itu.

Demikian pula tentang si pembicara hebat tadi. Seandainya dia pandai meraba perasaan orang, mungkin dia tak akan menyampaikan cap negatrif pada mantan pimpinan karyawan tersebut.

Karena, sejelek apapun pimpinan, pasti meninggalkan ”warisan” pada anak buahnya. Dan ini bisa jadi ada yang baik. Karena itu, wajarlah bila ada yang merasa terusik melihat mantan pimpinannya dijelek-jelekkan.

Atau, seandainya dia bisa merasa bahwa saat itu kondisi perusahaan sedang krisis dan dibutuhkan semangat para karyawannya untuk melawan, tentunya dia tak akan menceritakan tentang beberapa orang hebat di kantor pusat yang diberhentikan, bila tak terpakai lagi.












Memikirkan hari depan itu, tentu perlu, namun saya rasa materi ini tak sepantasnya disampaikan saat ini. Waktunya saja yang kurang tepat. Tunggulah nanti, jika kondisi perusahaan stabil, atau karyawan baru saja dapat bonus, sehingga mental mereka lebih siap.

Lagi pula, apa pentinya sih, "memotivasi" karyawan bersiap-siap mencari kerjaan lain di luar?

Inilah pentingnya, manusia tak hanya dibekali IQ tapi juga EQ. Sehingga omongannya tak menyakitkan orang lain.

Kita sering mendengar, seorang pimpinan yang selalu menghina dan mengintimidasi hasil kerja anak buahnya. Dia merasa pandai, merasa dominan, merasa berperan, namun tak pandai merasa.

Akibatnya, banyak harapan tak tercapai, karena pemikiran karyawan jadi mandeg, dan banyak dari mereka yang kurang mendapat peran yang baik. Akhirnya, mereka merasa terancam, kinerja monoton, dan hilang kreativitas.(bersambung)

Tidak ada komentar: