Rabu, 29 April 2009

Antara IQ, EQ dan SQ (3)

Hal serupa juga kita temukan di Jepang. Bahkan kini di Indonesia pun, sebuah data menunjukkan betapa tingginya angka bunuh diri ini. Hedonisme, dan tujuan hidup yang hampa membuat semua ini kain subur.


Untuk itu, IQ, EQ itu perlu. Namun haruslah dilandasi SQ. Jika hanya memiliki IQ dan EQ tanpa dibekali SQ, maka kita akan menjelma menjadi seorang manipulator.

Hal ini bisa kita saksikan, pada musim caleg lalu. Betapa banyak orang yang datang ke masyarakat dengan membawa senyum, dan berupaya mengerti perasaannya.

Namun, hal ini tak diiringi dengan niat tulus di hatinya. Yang ada hanya kepentingan. Semua perbuatannya selalu berdasar pamrih saja. Jika dipandang tak menguntungkan, langsung dia tinggalkan.

Di sisi lain, coba kita bayangkan, bagaimana jika kecerdasan IQ dan EQ ini dipakai oleh Hitler, Musollini, koruptor atau penjahat yang lain? Otaknya pinter, sikapnya bagus, pendidikannya tinggi, tapi itu hanya untuk mencapai keinginan pribadi.










Maka itu, sekali lagi, kecerdasan intelegensi, kecerdasan emosi, haruslah diimbangi dengan kecerdasan spiritual (SQ). Tapi, semuanya harus menyatu. Jika bekal IQ, SQ dan EQ yang kita miliki tidak menyatu, maka akan membuat kita lebih buruk lagi. Salat jalan, nyolong juga jalan. Tak ada guna juga.

Maka, sekali lagi, antara IQ, EQ, dan SQ haruslah menyatu padu. Karena inilah yang mampu menjawab untuk apa IQ itu, untuk apa EQ itu, untuk apa kita di bumi, untuk apa kita hidup, utnuk apa hakikat kita hidup dan akan kemana tujuan kita hidup.

***

Lalu seperti apakah sebenarnya hubungan IQ, EQ dan SQ? Mari kita simak uraian Ary Ginanjar Agustian (Bandung, Jawa Barat, 24 Maret 1965) seorang dosen, pengusaha, dan penulis buku Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) dan ESQ power.

Ary terkenal dengan pemikirannya yang diberi nama ESQ, sebuah pemikiran yang menguak adanya korelasi yang sangat kuat antara dunia usaha, profesionalisme dan manajemen modern, dalam hubungannya dengan intisari al-Islam: rukun Iman dan rukun Islam.








Bismillah...

Menurutnya, IQ terletak pada fungsi otak neocortex, EQ terletak pada fungsi otak lymbic system, sedangkan SQ pada fungsi otak godspot, atau terletak pada temporallobe.

IQ ditemukan pada tahun 1905 di paruis prancis oleh Binet. Kemudian dibawa ke AS di Universitas Stanford maka lahir disebut Stanfordbinet dipergunakan pertama kali pada perang dunia I. Di sana diurai bagaimana mengukur manusia sukses apabila memiliki IQ 100.

Pada tahun 1995 ditemukan teori EQ, yang semula dimunculkan oleh Daniel Colleman dalam bukunya Working with Emotional Intellegent. Hingga akhirnya pada tahun 2000, melalui sebuah penelitian yang salah satunya ditemukan oleh VS Ramachandran (California University), akhirnya ditemukan tentang fungsi otak ketiga yang disebut God Spot, yang juga ditemukan oleh Michael Persinger tentang fungsi yang disebut The Binding Problem.

Ini semua menjadi syarat ilmiah bahwa kecerdasan spiritual sudah ada dalam fungsi neroscience otak manusia.










Namun, kecerdasan intelektual saja tak cukup, masih dibutuhkan apa yang disebut EQ, yakni kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain, lalu menjadikannya pengetahuan untuk mengambil tindakan. Kini kita tanya pada diri kita sendiri, apa pernah kita melakukan hal seperti itu?

EQ menunjukkan bukti bahwa sangat berperan penting di dalam keberhasilan kita.
Jadi, bagaimana dengan kita? Apakah EQ diajarkan dalam kehidupan kita, saat SD, SMP, SMA atau kuliah?

Yang banyak kita ketahui, umumnya yang diajarkan hanya intelktualitas, ”IQ harus 100”.

Sekarang cobalah kita ingat, di manakah kini teman-teman kita yang dulu bintang-bintang kelas itu? Apakah mereka banyak menjadi orang sukses di atas rata-rata, atau banyak yang gagal?

Sebuah lembaga pernah membuat penelitian akan hal ini. Mereka melihat data bank raksasa bernama EQ inventory. Di sini dikumpulkan data-data seluruh orang sukses di muka bumi.

Hasilnya, ditemukan bukti bahwa kecerdasan intelektual hanya 6 persen membawa keberhasilan, bahkan maksimum hanya 20 persen.

Sekarang, bagaimanakah kita menerapkan hal ini pada anak-anak kita? Masihkah mereka kita dorong agar memiliki angka-angka tinggi? Padahal kita lihat, keberhasilan tak ditentukan oleh intelektualitas semata. (habis)

======
Terima Kasih Majelis Taklim Kota Batam, Bu Veny, atas dorongannya agar saya terus menulis... Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan bagi kita semua, amin. Dan nantikan juga tulisan ini di edisi berikutnya, masih di blog ini...

Tidak ada komentar: