Jumat, 24 April 2009

Pindah, Mengungsi, Merantau

Banyak kata disandangkan untuk menyebut lelaku manusia saat berpisah dengan daerah asalnya. Bila perpindahan tersebut dipicu faktor budaya, psikologis, atau memang kondisi daerah asal yang minus, maka disebut migrasi, merantau, atau hijrah. Namun, bila dipicu faktor keamanan, biasanya disebut mengungsi.


Apapun namanya, intinya ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Karena itu, di beberapa daerah memiliki ritual khusus, sebelum warganya merantau. Ada yang sebelum berangkat, terlebih dahulu mempersiapkan bekal yang cukup, baik makanan dan ilmu. Bahkan orang-orang dahulu, banyak anak muda yang harus tamat belajar ilmu silat, sebelum berangkat ke tanah seberang.

Sementara di kampung saya, Pulau Bawean, Jawa Timur, penduduknya masih memelihara tradisi unik saat akan merantau. Misalnya, setelah meninggalkan rumah tak boleh lagi menoleh ke belakang. Apapun yang terjadi, pandangan harus tetap tertuju ke depan! Namun setelah berhasil di rantauan, mereka harus pulang, menengok kampung halaman. Minimal, setelah dua tahun harus pulang.

Ini adalah tradisi, kebudayaan yang bermula dari kebiasaan dan bermuara pada adat. Tentu tradisi tersebut ada maksudnya. Mengapa perantau tak boleh lagi melihat ke belakang? Supaya mereka bisa fokus dengan hal yang akan di hadapinya di rantauan. Sesuatu yang bisa jadi belum pernah dibayangkan sebelumnya. Sesuatu yang baru, sesuatu yang asing.

Merantau sendiri, adalah pilihan bagi kaum lelaki di Bawean. Disebut “pilihan”, karena tak ada paksaan. Tak mau merantau tak masalah, cuma masyarakat tak akan mengakuinya sebagai “lelaki”.

Di Bawean, seseorang akan diakui sebagai lelaki jika sudah merantau. Ibarat lompat batu di Nias, atau Upacara Kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, Afrika.

Sementara itu di Minangkabau, merantau mempunyai arti khusus. Bagi mereka, merantau menyangkut etos kerja yang dimaknai secara lebih spritual. Bahkan ada yang berkata seperti ini, anak-anak muda lelaki Minangkabau bukannya tidak berguna, tapi agak aib bagi keluarga jika mereka berkubang saja di kampung halaman.

Soalnya selain memperluas wawasan, pergi merantau dianggap bisa menempa jiwa, mengasah keuletan dalam memperbaiki taraf hidup anak kemenakan.

Dari beragam cuplikan tradisi merantau ini, dapat digambarkan bahwa untuk mengubah taraf hidup ke arah yang lebih baik, memang tak mudah. Dulu, para perantau harus berbulan-bulan dalam perahu layar untuk membawanya ke daerah tujuan.

Bayangkan, selama itu harus terombang ambing di laut, makan ala kadarnya, dan tak bisa membersihkan badan. Belum lagi terputusnya hubungan dengan keluarga tercinta. Bertemu di mimpi saja sudah syukur Alhamdulilah.

Karena itulah, tekad bulat, tekad baja. Berlaku di sini. Jangan cengeng, rantau tak mengerti apa itu kata cengeng. Yang ada hanya kata maju, fokus. Rise or fail. Hanya ada dua pilihan; hidup mulia atau mati.

Kalaupun harus mati, ada dua pilihan, mati konyol atau mati mulia (syahid). Pokoknya belajar, belajar, belajar bagaimana bisa bertahan hidup. Survival of the fittes.

Berat memang (kadang juga ada rasa takut) saat meninggalkan orang-orang tercinta dan “dunia” yang sudah hayati. Tak usah berpikir membayangkan bagaimana tatanan masyarakat di rantau kelak, memikirkan makanan saja sudah berat. Dari semula lidah terbiasa dengan makanan bersantan, di rantau nanti harus makan makanan berkecap.

Belum lagi mikirkan yang lain, ”Bagaimana dengan ini saya? Kalau ayam saya mati bagaimana? Karena kalau tak saya yang ngasih makan, siapa lagi?”

Namun apa daya, jika nantinya dengan merantau bisa membuat segalanya lebih baik, mengapa tidak? Demi sesuatu yang lebih baik kadang harus menerima kenyataan untuk “fight” di dunia baru. Karena inilah tekad para perantau.

Tekad inilah yang juga menggelora di benak Marco Polo, dan para penjelajah Eropa lainnya. Dan mungkin, tekad ini pulalah yang dianut manusia Neanderthals, sekitar 70.000 tahun silam. Kisahnya, sebelum populasinya habis, mereka telah menyebar ke seantero dunia. Jadi, merentau sebenarnya adalah tradisi yang diturunkan sejak zaman dahulu kala.

Migrasi atau merantau, memang penting. Tak hanya bagi pelakunya, juga bagi peradaban manusia itu sendiri. Teori kemasyarakatan selalu mencatat, masyarakat yang heterogen lebih baik dari yang homogen.

Coba bayangkan, apa jadinya jika tak ada pertukaran penduduk. Mungkin, tatanan masyarakat akan mandeg, ilmu pengetahuan tak berkembang. Budayapun akan hambar, tak ada asimilasi dan akulturasi.

Didorong alasan itulah Rasulullah SAW, memutuskan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Hasilnya peradaban Islam justru lebih maju dan berkembang.

Contoh lain dapat kita lihat apa yang dilakukan Orde Baru di awal 1980-an. Presiden Soeharto saat itu menggalakkan program transmigrasi, sebagai cara untuk pemerataan penduduk dan mengurangi ledakan populasi di Pulau Jawa. Bagi yang berminat, sebidang tanah dan sepetak rumah sudah menanti.

Sebuah catatan lain, Malaysia dulu saat awal-awal berdiri, sempat meminta pemerintah Indonesia ”memindahkan” sebagaian warganya ke negara tersebut, agar jumlah ”penduduk asli” Malaysia bisa lebih banyak dibanding etnis pendatang. Sehingga konstitusi negara tersebut, sebagai negara Melayu, tetap aman. Tak heran, jika saat itu warga Indonesia sangat mudah menjadi warga negara di negeri jiran itu.

Dalam konteks kekinian, merantau tak hanya diartikan dalam perpindahan jasmani saja, namun mencakup perpindahan akan hal-hal lama ke yang baru. Di bidang pekerjaan sendiri, kadang juga kita harus “merantau” ke bagian yang lain. Berat memang, namun harus dijalani. Karena pilihannya hanya dua, seperti yang sudah saya singgung di atas.

Dan, jangan lagi menoleh ke belakang. Namun ketika sudah berhasil, jangan lupa menengok tempat asal.

Mario Teguh memiliki contoh yang lebih baik soal ini. Ibaratnya Anda punya mobil Ferrari, apakah semua isi bagasi dari mobil lama Anda akan dipindahkan juga ke Ferrari Anda? Tentu tidak!

Tidak ada komentar: