Selasa, 14 April 2009

Aku Pecat Kau!

“Your fired! Anda dipecat!” begitulah kalimat yang terlontar dari bibir konglomerat nyentrik Amrik, Donald Trump dalam serial The Apprentice. Tokoh lain, CEO Apple, Steve Jobs yang tempramental itu, juga sangat mudah memecat bawahannya meski saat di lift sekalipun.

Memecat orang, memecat bawahan, memang terkesan gagah! Bayangkan, saat itu kita bisa bertindak laksana Tuhan yang bisa menentukan nasib mahluknya. Saking bangganya, kadang kita sering mendengar seorang atasan memamerkan “prestasinya” sudah memecat bawahannya.

Namun, lain Trump, lain pula Jobs, lain pula pandangan kiai sepuh di kampung kami soal pecat memecat ini.

Suatu ketika, dia pernah bilang begini pada saya, “Ingat jangan terlalu gampang memecat orang, itu sama saja memutus rezekinya!”

Menurutnya, orang (karyawan) yang datang itu bisa jadi Allah yang mengantarkan untuk kita bina. Bahkan, Allah memposisikan kita sebagai orang yang dipercaya untuk mewakilinya memberikan rizeki padanya.

“Maka itu, kita harus bijaksana. Jangan main-main dengan amanah Allah!” ingatnya.

“Lalu, bagaimana jika yang bersangkutan tak becus?” tanya saya penasaran.

Kiai sepuh tersenyum, lalu berkata, “Allah yang mengantarkan, Allah pula yang akan menunjukkan rezekinya di tempat lain,” ujarnya.










Maksud kiai sepuh adalah, jika si karyawan sudah tak becus di suatu bidang, kan bisa dialihkan ke bidang yang lain. Kalau memang sudah tak bisa lagi, dia akan dengan sendirinya akan keluar.

Bila melanggar aturan, lanjutnya, kan banyak prosedur yang bisa dilakukan. Mulai peringatan lisan maupun tertulis. “Pokoknya usahakan semaksimal mungkin tak memecat!” tambahnya.

“Makanya, hati-hati merekrut orang. Lagipun, saat kamu memtuskan menerimanya, tentunya kamu sudah memiliki pertimbangan matang kan? Jadi, mengapa kamu mau mengingkari keputusanmu sendiri?” nasihatnya.

Kiai sepuh melanjutkan, apapun namanya, memecat itu tidak hebat. Namun bisa berarti itu sebuah kegagalan pimpinan dalam membina. Jangankan memecat, jika di sebuah perusahaan nilai kinerja karyawannya banyak di bawah rata-rata, itu sudah menandakan ketidak becusan pimpinan.

“Apa aja yang dia lakukan, kok anak buahnya anjlok begitu?” sindirnya.











Justru yang hebat, lanjutnya, jika ada pimpinan mampu mendidik, mengarahkan, memberdayakan bawahannya yang kondisinya harus dipecat, sehingga bisa lebih baik.

“Kalau memecat bukan hebat, siapapun bisa melakukan itu. Namun apakah mampu memberdayakan bawahan, itu yang penting. Mampu enggak?” tanyanya.


Yang paling dia tekankan, jangan sampai memecat seseorang karena dendam. Itu sungguh sebuah kezaliman. Dia meminta agar saya belajar pada Syaidina Ali. Saat akan menghujamkan pedang ke arah musuh, tiba-tiba si musuh meludahi wajahnya.

Alipun langsung




Namun begitu, kiai sepuh berpesan agar karyawan tak seenaknya mengumbar aib perusahaan. Apalagi sampai memaki gaji yang diterima, karena itu sama saja dia memaki darah dagingnya sendiri.

“Karena, gaji itulah sebagai sumber nafkahnya. Semua adalah ketentuan Allah. Jadi kalau dia hina, berarti dia kufur nikmat!” ingatnya.

Jadi, memecat itu adalah aib bukan prestasi.

Bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar: