Rabu, 22 April 2009

Ahen dan Katarsisnya

Ahen bangkit berjalan, membawa parang dan geram di wajahnya.

Aku maraaaaaah... Arrrrggghhhhh, muak, kesal. Bum bum bum... Nak kutumbuk saja rasanya layar kumputer ini, biar energi katarsis ku lantak."

Teriak, teriak, teriak... aku sudah teriak. Waaaa aaaaa aaaaaa aaaaa... sampai kering rasa tenggorokanku. Sampai habis nafas di paru-paruku.

Ah, akhirnya selesai juga. Meski untuk sementara saja. nanti malam ada lagi, ya udah, marah lagi, ngamuk lagi.

Ya udah, kalau nanti rasa itu datang lagi, aku akan ikuti cara ala orang-orang di Cicilia. Beli sansak, kugambari wajah wajah kerbau itu di sana, aku tinju, tinju, tinju sampai puas, sampai lumat.

Atau, ikut cara-cara orang Jepang, beli piring banyak-banyak, lalu lemparkan, pecahkan satu persatu, sembari mengumbar sumpah serapah, karut marut, melafazkan nama-nama penghuni kebun binatang.











"Gila, lu!"
"Mau nyaingin caleg stress ya?!"

Biarin aja, kalian mau ngomong apa. Yang penting, katarsis ku keluar.

Kata pamanku, almarhum Sigmund Freud, katarsis harus dikeluarkan, biar tak jadi racun dalam tubuh. Ibarat gunung berapi, harus meletus, supaya bumi tetap berdiri kokoh.

Katarsis tak tersalur. Ya mungkin inilah yang bikin dua minggu aku hilang keseimbangan: Vertigo.

Kesal, mau marah mampet jadi meledaknya di simpul syaraf otak. Penyakit, penyakit, penyakit.

"Sabar sabar sabar... Baca Istigfar 100 kali, baca salawat 10 kali, baca tahlil tahmid dan takbir 10 kali. Salatlah taubat, salatlah hajat, salatlah tahajud, minta kesabaran, minta keringanan beban," ujar Kiai sepuh memberi nasihat.










"Ya, gimana tak kesal Kiai, di mana-mana kepuasan konsumen selalu di atas pencapaian dan proyeksi. Tapi yang aku hadapi, malah keluhan pembantu yang selalu meningkat."

"Sesekali bawa solusi lah, pecahkan masalah, jangan hanya bawa keluhan saja!" Buat apa punya otak yang memiliki 100 miliar sel, jika isinya hanya pandai mencari keluhan saja!"

"Tak pernah mereka datang ke saya, Pak, ini saya bawa konsep baru. Pak ini saya bawa proyeksi, mingguan, bulanan, tahunan
. Pak ini saya bawa
solusi baru. Pokoknya semua yang baru baru itu."

"Semua tak ada, yang ada hanya keluhan!"









Kemarin, misalnya, saya tanya, "Kok lambat bawa tehnya?" keluhannya ini itu. Oke lah.
Tapi begitu ini itunya dipenuhi, masih lambat juga.

Saya tanya lagi, "Kok masih lambat?"
Keluhannya kembali naik, karena inilah karena itulah. Oke, begitu inilah dan itulah-nya dipenuhi, masih lambat juga!

Saya tanya lagi, "Kok masih kacau juga?!" keluhannya malah kian meningkat lagi, karena ini itu, inilah itulah!

Arrrrrrrrrrrrrghhhhhhh... Buaya! Habislah daging aku kau makan, kini vertigo pula engkau hadiahkan.

Sampai kapan... Sampai kapan...








Dengarlah dengarlah, di luar sana, hymne perang bertalu kencang. Pedang-pedang mulai dihunus, anak panah mulai dibakar, tombak-tombak mulai diarahkan, panji-panji mulai dikibarkan.

Sungguh nista, bila ini kalian anggap sebagai lagu nina bobok!

"Pak, take arest. Ini saya kasih dua pil, ya satu kapsul satu tablet. Minum sesuai aturan. Semoga vertigo Bapak cepat sembuh. Ini bukan penyakit Pak, tapi gejala. Gara-gara kebanyakan pikiran aja. Banyak istirahat ya pak! Jangan terlalu banyak pikiran!" Nasihat dokter itu terngiang lagi.

Ya udahlah, istirahat aja. Bobok. Lupakan sansak, lupakan teriak, lupakan piring, lupakan katarsis, lupakan bullshit (kotoran sapi) itu, lupakan, lupakan, lupakan.

"Bobok Pak!"

Tidak ada komentar: