Selasa, 07 April 2009

Pemilu, Perubahan

Pemilu udah digelar. Perebutan kekuasaan yang direstui peradaban ini akan terjadi. Semuanya tentu akan berimbas pada perubahan. Lebih baikkah, atau lebih burukkah? Kita berdoa saja, semoga lebih lebih baik.

Oh ya, di atas tadi saya menyinggung tentang perubahan. Ya, perubahan. Semua akan berubah setelah pemilu usai. Yang paling dahsyat, memang terjadi pada pemilu kali ini; sistemnya tak lagi dicoblos, tapi dicontreng.

Sistem baru ini, berakibat berubahnya juga bahasa Jawa dalam menyebut pemilu. Kalau saat dicoblos dulu disebut ”coblosan”, kini otomatis berubah ”contrengan”. ”Sik mbak yu, aku kati nang contrengan yo...” begitulah kira-kira.

Perubahann juga akan sangat terasa bagi para pemilih senior (wah istilahnya keren ya). Maklumlah, kali ini mereka telah memasuki zaman ultra multi partai ini. Disebut demikian, mengingat jumlah kontestan pemilu kali ini ada 38 partai.










Tentu saja mereka harus akan kaget saat membuka kertas suara, yang panjang lebar itu. Beda dengan dulu, saat mereka masih ikut pemilu, ketika partai masih sedikit, yang jumlahnya hanya 3 atau yang jumlahnya 24.

Kebingungan mereka akan bertambah-tambah, karena kalau dulu aturannya hanya satu, coblos gambar beres, kini harus mencontreng orang (bisa juga sih mencontreng gambar partai). mana tiap partai, jumlah calegnya ada yang mencapai 10 orang lagi. Tentu ini tak main-main bingungnya.

Tentu saja, sistem baru yang ribet ini, akan membuat mereka kiann malas ke tempat pemilihan suara. Selain bingung, yang paling mereka benci adalah harus menunggu. Karena menunggu adalah pekerjaan yang amat membosankan.

Banyangkan saja, dengan banyaknya partai, tiap orang akan menghabiskan waktu di TPS hingga 4 menit. Ini kalau satu orang, kalau satu kampung yang jumlahnya mencapai 400 pemilih, berapa lama lagi? Tinggal kalikan saja, 4 x 400 = 1.600 menit. Atau setara 26 jam!

Tapi jangan kuatir, hal ini masih bisa dipersingkat dengan cara mencacah pemilih dengan menyediakan banyak bilik suara. Katakanlah, ada 4 bilik suara, maka akan selesai selama 6 jam.








Jadi, kalau pemungutan suara dimulai pukul 07.00, maka akan berakhir sekitar pukul 13.00. Pencapaian ini dengan catatan, semua berjalan lancar. Tanpa jam karet, kalau tidak, tentu akan panjang lagi ceritanya.

Bisa-bisa akan mengubah waktu penghitungan suara. Kalau dulu paling banter pukul 13.00 sudah beres, kini bisa dilakukan sampai larut malam.
Benar-benar sebuah perubahan.

Perubahan lain, tentu saja akan terjadi di DPR/DPRD. Beberapa orang akan tergerus, beberapa orang akan bertahan, beberapa pimpinan akan lengser, beberapa bawahan akan memimpin. Begitu terus.

Perubahan juga akan terjadi pada formasi kursi-kursi partai. Apalagi saat ini, di zaman ultra multi partai ini, pergeserannya akan tampak sekali.

Terkait banyaknya partai ini, beberapa ahli politik memprediksi, dari jumlah sebanyak itu, hanya 25 persennya saja yang berhasil masuk dewan. Konkretnya begini, partai-partai yang masih akan bertahan itu masihlah partai yang saat ini masih bercokol. Hanya ada dua partai yang secara umum diramal lolos ke DPR/D, ialah Gerindra dan Hanura.





Partai yang lain bagaimana? Ada prediksi, bisa jadi mereka lolos, namun perolehan kursinya akan sangat minim. Itupun keterwakilan mereka di tiap daerah tidak akan sama. Bisa jadi di daerah A, partai Z dapat kursi, namun di daerah lain tidak.

Ada lagi prediksi lain, partai-partai yang tak lolos tersebut tersebut akan mencari jalan untuk survive dengan cara melebur, membentuk semacam goverenment wach, menyusun kekuatan untuk Pilpres, atau memilih bubar.

Dan.... Inilah yang paling seru, menentukan siapa pimpinan dewan.

Pemilu legislatif, berarti mengganti struktur segenap anggota dan pimpinan dewan. Kita semua udah tahu kan. Tapi tahukah Anda, bahwa adakalanya eksekutif akan ikut campur agar ketua dewan nanti tak jadi preman, yang kerjanya hanya menggerogoti kinerja eksekutif terus.

Sebab, bagaimanapun juga, dewanlah yang menentukan arah eksekutif ke depan. Mau kemana arah pembangunan, dan ini yang paling penting, berapa besar anggaran yang akan dicairkan, semua harus melalui persetujuan dewan.






Nah, Anda tentu bisa bayangkan, jika ketua dewan-nya selalu konfrontatif daripada kooperatif terhadap eksekutif, tentu akan payah. Dikit-dikit hearing. Akibatnya, jalan pemerintahan bisa tersendat.

Maka itu, sebelum ketua dewannya terpilih, semasih embrio sudah harus dipantau. Maka, sejak pemilu inilah biasanya tim eksekutif sudah bekerja, menyusun program, soal siapa yang nanti akan didudukkan sebagai ketua dewan. Tentunya, setelah ditimbang dari berbagai aspek. Kalau bisa, cari yang yes men aja, agar semua urusan bisa lancar.

Bagaimana caranya? Gampang. Langkah pertama, mereka mulai menimbang partai apa saja yang nantinya akan menjadi pemenang.

Dari sini, disaring lagi, siapa saja jago-jago yang akan dimajukan menjadi ketua Dewan oleh partai-partai tersebut. Dari sini, mengerucutlah beberapa nama.

Nah, beberapa nama inilah nanti disaring lagi soal siapa yang akan didukung sebagai ketua dewan pilihan eksekutif.

Hingga setelah pemilu usai, langkah-langkah ini mulai direalisasikan. Konon, eksekutif tak ragu mengeluarkan dana besar agar jagonya terpilih sebagai ketua dewan nanti.

Tidak ada komentar: