Kamis, 16 April 2009

Mendendam Tuhan

Sering kali kita dihadapkan pada masalah berat, hingga akhirnya harus membenci Tuhan.


Pernah seorang anak kelas II SMP menanyakan soal risiko pekerjaan yang saya tekuni saat ini, ”Apa Kakak tak takut jika suatu saat masalah muncul?” Sayapun agak sedikit mengernyitkan dahi, mencari jawaban yang pas.

”Dik, bagi kami yang penting bukan munculnya masalah, tapi bagaimana cara mengatasinya. Karena hidup tak bisa lepas dari masalah itu sendiri. Bahkan matipun, kita masih harus menghadapi masalah lain,” jawabku. Ternyata dia puas. Jawaban saya ini rupanya mengana di hatinya.

Masalah memang selalu datang silih berganti. Masalah adalah kumpulan kegagalan yang berujung kekecewaan. Semua berawal dari sebuah harapan. Kian tinggi harapan itu, kian besar pula kekecewaan yang nanti akan dihadapi, bila hasilnya jauh dari yang kita inginkan.

Itulah mengapa saya sampaikan, bukan masalah yang jadi perhatian di sini, tapi cara mengatasinya. Karena, jika kita salah mengatasi masalah, bisa-bisa masalah tersebut akan menjadi monster yang siap mencabik sendi-sendi kita. Kita akan mulia atau kita akan nista, tergantung bagaimana mengatasi masalah tadi.








Dasar-dasar ilmu filsafat sempat mengajarkan, mengatasi masalah selalu identik dengan mencari kebenaran. Ada empat cara yang bisa dilakukan dalam mencari kebenaran tersebut. Di antaranya kebiasaan, pengalaman, ilmu pengetahuan, filsafat dan agama. Jenjang pelaksananya pun bertingkat, mulai dari bisa, terbiasa, pengalaman dan ahli.

Uraiannya seperti ini, kadang sering kita saksikan saat manusia bermasalah selalu berlari pada kebiasaan. ”Ah coba saja jalan seperti ini, biasanya selesai kok,” begitu kira-kira saran yang biasa kita terima. Jika hal yang ”biasanya” ini tak berhasil, mulailah mencari orang yang berpengalaman artinya sudah sangat terbiasa dan berulang-ualang menghadapi masalah semacam ini. Jadi lebih tinggi lagi.

Semua percobaan dan pencarian ini, akan dirangkum dalam sebuah tata cara yang disebut sebuah ilmu pengetahuan.

Jika masalah terus juga muncul, berakar urat, dan laten, manusia cenderung memecahkannya melalui jalan filsafat. Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.







Yang terakhir, memecahkan masalah atau mencari kebenaran melalui agama. Pemecahan semacam ini menjadi pencarian kebenaran yang tertinggi. Karena langsung berhadapan dengan Tuhan. Di sana ada harapan, kepasrahan dan kepercayaan yang tinggi pula. Tahapnya sudah pada mencari ketenangan batin. Inilah mungkin mengapa sering kita lihat, manusia yang lebih relegius setelah tertimpa masalah.

Sebagaimana saya sampaikan di atas, inti dari pemulihan saat masalah muncul adalah ketenangan, baik hati, jiwa dan pikiran. Ketenangan ini akan muncul jika ada keihlasan, kepasrahan, dan hal ini hanya ada saat kita kembali ke agama (baca: ibadah).

Mungkin karena inilah, sampai-sampai psikiater Austria dan pendiri aliran psikoanalisis Sigmund Freud, menyindir bahwa agama hanyalah sebagai pelarian. Praktik ini juga sempat disimpulkan oleh Karl Marx, bahwa agama adalah candu. Dalam Alquran sendiri, Allah juga sempat menyindir perilaku ini sebagai orang yang di kala terang mereka jalan, di kala gelap mereka berhenti. Agama hanya jadi lahan mencari untung, belaka.

Sementara itu, ilmu psikologi menyebut hal tersebut sebagai obsesi kompulsif, sebuah cara untuk menghilangkan kecemasan. Apapun itu, menjadi religius saat tertimpa masalah tentu baik. Dari pada kita haris hilang pegangan, hingga harus menderita depresi berkepanjangan, bahkan gila.








Soal kualitas ibadah yang dilakukan itu, hanyalah Tuhan yang tahu. Asal, jangan sampai cara religius yang ditempuh hanya karena kita merasa dikalahkan takdir, dikalahkan Tuhan. Ibadah yang dilakukan bukan berdasar pada keihlasan dan kepasrahan, namun menjadi simbol upeti akan kekalahan kita pada nasib. Kekalahan akan ketentuan Tuhan. Kalau sudah begini, maka akan berakibat kita akan kian tersesat dan mendendam.

Jika boleh digambarkan, apa yang saya maksud sebagai kekalahan terhadap ketentuan Tuhan adalah, ada kalanya kita dipertontonkan seorang mengubah cara pandangnya akan Tuhan, ketika dia ditimpa masalah. Mereka memang beribadah, namun tak lagi berpikir positif pada Tuhan-nya. Bahkan ada kalanya menghujat. Hal yang paling parah, lambat laun akan mengubah pandangannya akan ke-Tuhanan-nya.

Tak jarang kita saksikan, seorang wanita muda yang selama ini dikenal santun dengan busana serba tertutup, berubah menjadi liar dan berbusana serba terbuka, ketika dia ditimpa masalah. Atau seorang ahli ibadah, berubah drastis jadi ingkar kala dihadapkan pada sebuah masalah yang berat.

Malah ada pula di antara mereka yang sampai berpindah keyakinan. Mereka protes, mereka menghujat, seolah Tuhan tak lagi bersahabat sehingga harus mencari Tuhan lain.

Pendekatan religius yang ditempuh hanya karena kita merasa dikalahkan takdir, tentunya bukan sebuah jalan yang baik. Karena apapun namanya, dendam itu selalu buruk. Apalagi jika mendendam pada Tuhan.

Bagaimana menurut Anda?

1 komentar:

esont mengatakan...

manusia seperti ini sudah jelas digambarkan dalam alqur'an.
jika ditimpa kesusahan...menyalahkan tuhan..tp jika mendapat kebaikan..maha baik engkau tuhan...