Jumat, 03 April 2009

Hari (Tak) Tenang

Setelah selama 9 bulan atau kira-kira 270 hari, diguncang gegap gempita kampanye ribuan caleg, akhirnya keriuhan itu berakhir. Kini, tepat 6-8 April, kita memasuki hari tenang.


Dari fisiknya, hari tenang ini dapat kita rasakan. Saat berkendara di jalan raya, tak lagi dijumpai wajah para caleg dengan beragam posenya mejeng di kaca mobil angkutan umum, baliho pinggir jalan, hingga nangkring di atas pohon.

Hari tenang, karena telinga kita tak akan mendengar lagi janji-janji atau hujatan-hujatan mereka kepada lawan politiknya menyesaki ruang-ruang publik, baik secara langsung maupun melalui beragam media.

Tak ada lagi goyang panggung para biduan, yang ordernya meningkat tajam seiring kian menghangatnya frekuensi kampanye terbuka.

Kini pesta sudah berakhir. Semua atribut telah diturunkan, paggungpun sudah dirubuhkan. Semua mendadak bersih, semua mendadak sepi. Seolah kehidupan kembali sedia kala.









Ah, ke mana wajah-wajah caleg itu? Di manakah caleg yang gayanya bak pejuang 45 itu. Tangan mengepal, wajah tegang. Seakan marah akan situasi yang tak becus, atau marah akibat terlalu mahal bayar ongkos kampanye?

Di mana pula kini caleg yang dalam atribut kampanyenya berpose dengan kepala bersandar di jari telunjuknya, mirip orang sedang berpikir (atau stress)? Apakah memang dia benar-benar tengah memikirkan nasib rakyat, atau dia ingin mengatakan bahwa saat ini lagi pusing, memikirkan kantongnya yang bokek gara-gara membayar ongkos kampanye.

Atau, ke mana semua caleg pemilik ekspresi wajah tersenyum yang mereka tampilkan saat musim kampanye lalu? Masihkah di hari tenang ini mereka tetap tersenyum manis? Entahlah.

Sepi di jalan, bukan berarti sepi di hati. Khususnya hati para caleg, tentu saja. Di hari tenang ini, akankah mereka bisa tenang atau malah makin tak tenang?

Maklumlah, selama 9 bulan, entah sudah berapa rupiah yang terbuang. Entah sudah berapa akta fedusia yang sudah masuk kantor notaris. Entah sudah berapa barang berharga yang sudah masuk rumah gadai. Entah berapa banyak waktu yang sudah terpakai.
Saya jadi teringat kata-kata seorang ketua partai.







”Jadi ketua (partai) itu tak sulit, asalkan mau ngajak orang ngopi,” jelasnya. Maksudnya di sini, memang harus rajin mencoba meraih simpati masyarakat. Cara yang paling sederhana, dengan ngajak ngopi tadi.

Dari sini saja kita bisa menghitung, berapa uang pribadi yang sudah dibelanjakannya untuk kopi tadi? Apalagi setiap acara ngopi, biasanya diikuti lebih 1 orang. Iya kalau hanya pesan kopi, kalau nambah rokok, pisang goreng dan lain-lain, sudah berapa lagi dananya. Inipun masih akan bertambah lagi, jika tempat ngopinya di restoran.

Semua ini, tentu berbanding lurus dengan sebuah harapan, sebuah keinginan yang besar; bisa terpilih duduk di kursi dewan. Dengan embel-embel panggilan, ”Anggota dewan yang terhormat.” Atau bagi yang incumbent, masih akan bisa tetap duduk di kursinya, sembari mempertahankan segala eksistensi dan hegemoni-nya.

Yang gawat, jika si caleg menikmati suasana ini. Suasana di mana dia selalu diagungkan, dipuji, disanjung, karena kedermawanannya itu. Karena janji-janjinya itu.







Karena jika tak terpilih, maka si caleg akan melalui masa transformasi mental yang sangat berat. Semua akan serba terbalik. Dari semula didekati, kini dijauhi. Dari semula disanjung puji, bisa jadi dicaci.

Yang paling parah, dari semula dia serba ada, kini jadi serba tak ada. Uang habis, harta tergadai, utang menggunung.

Sedangkan bagi caleg incumbent, situasi akan semakin buruk, Karena jika tidak siap, akan benar-benar memukul eksistensinya. Dari semula serba dilayani, kini akan serba hilang. Satu-persatu fasilitas yang selama 4 tahun dikecapnya, akan ditarik seketika.

Tak ada lagi mobil dinas, tak ada lagi ajudan, tak ada lagi staf ahli. Semua hilang dalam sekejap mata. Ibarat lagu M Mashabi, yang ada hanyalah kesunyian jiwa. Malu, akan menjadi kalimat paling akrab.

Bayangan akan kekalahan, rasa malu yang mendalam, disertai tak siapnya mental, inilah yang membuat para caleg itu, tak tenang di hari tenang ini.

Jadi jangan heran, bila akan ada di antara mereka yang terus dilanda cemas, sehingga kadang terjebak pada prinsip menyusun segala cara asal tujuannya tercapai. Maka, mulailah dilakukan trik-trik kotor semacam serangan fajar.










Semua ini, tentunya tergantung pada para caleg. Apakah mau memanfaatkan hari tenang ini dengan benar-benar menjadi hari tenang dengan mempersiapkan mental siap kalah siap menang, introspeksi dan semacamnya. Atau malah memilih sibuk dan cemas.

Apapun pilihannya, tetaplah kenyataan yang akan berbicara. Siap atau tidak saat kalah, hidup akan terus berjalan.

Kabar baiknya, Rumah Sakit Otorita Batam telah menyiapkan kamar khusus bagi para caleg yang menderita gangguan jiwa akibat gagal meraih kursi di legislatif.

Tidak ada komentar: