Jumat, 26 Maret 2010

Calon Gubernur Ku...

Belum lama ini saya bertemu pasangan calon gubernur / wakil gubernur Kepulauan Riau. Sebut saja Pak A dan B, karena saya tak enak menyebut nama. Takut nanti dibilang black campaign.



Dari pertemuan ini, kian kuatlah harapan saya semoga orang ini tak terpilih nantinya. Karena saya nilai akan rawan.

Alasan saya sederhana saja, Pak A ini orangnya sudah renta, jadi wajar staminanya agak terganggu. Sedangkan calon wakilnya, Pak B masih sangat perkasa. Saya sangat mengagumi wakilnya ini, seandainya dia mencalonkan diri sebagai Gubernur, pasti saya tak ragu memilik.

Namun karena hanya wakil, saya urung. Namanya wakil, ya tetap saja wakil. Tak ada beda, antara wakil gubernur dengan wakil kenek bus kota. Tak bisa ambil keputusan juga. Tetap aja jadi bayang-bayang sang pimpinan.

Posisi wakil memang selalu serba salah. Terlalu lemah, salah, terlalu powerfull juga salah. Bisa dibilang matahari kembar-lah, akan kudeta-lah, dan ini dia, pasti akan ditekan sama pimpinannya. Payah memang. Sehingga tak salah juga bila pakar Otonomi Daerah Ryaas Rasyid mengatakan agar posisi wakil kepala daerah ini dihapus saja. Banyak tak efektif.

Kembali lagi ke Pak A. Namanya juga orang tua, bikin kesal saja. Saat berbicara, suaranya susah ditangkap. Padahal jarak saya dan dia hanya kurang dua meter saja. Giliran saya yang bicara, dia malah sering berteriak, “Apa? Bagaimana? Tak jelas saya apa maksudnya?” Membosankan.

Dan ini yang bikin kesal. Pak A ini punya sifat selalu ingin dihormati, namun sulit sekali menghargai.

Dan sebagai seorang jurnalis, saya punya catatan khusus tentang pak A ini. Tiap kali ada masalah dengan media atau wartawan, cara yang ditempuhnya sangat tak elegan. Di tiap forum tempat dia berpidato. Maklumlah, Pak A ini masih pejabat aktif, jadi sering mendapat undangan acara resmi.

Di tempat itulah, dia menjadikan ajang pembantaian nama media dan wartawan yang dirasa menyerangnya. Begiotu terus, sepanjang pidatonya dia jelek-jelekkan. Padahal, tak ada kaitan dengan materi acara. Ah, kenapa tak melakukan hak jawab saja?

Dan yang paling menyebalkan, setelah menjelek-jelekkan itu, selalu ditutup dengan “kalimah saktinya”, “Mereka tak tahu, kalau Pak (dia menyebut nama bos media tersebut) adalah kawan saya sejak masih di bangkus ekolah,” ujarnya.

Akibat kelakuan Pak A ini, rekan saya, seorang jurnalis menjadi korban. Dia diberhentikan oleh perusahaannya bekerja, karena dinilai memelintir pernyataan Pak A. Pak A itu komplein di forum-forum, hingga membuat bos kawan saya malu.

Padahal saya tahu persis, rekan saya itu sudah menulis dengan benar.

Kembali lagi ke pertemuan ini, tibalah kesempatan Pak A membacakan visi dan misinya. Adugh, yang aneh-aneh aja dibuat. Dia bicara soal potensi kelautan dan semacamnya dan akan menarik investor.

Waduh, ngapain terlalu jauh, kenapa tak membicarakan soal listrik yang byar pet dan krisis air yang bikin warga sekarat saja?

Apalagi soal investasi, alah, kan sudah jelas kuncinya di FTZ yang hingga kini aturannya belum juga ditetapkan, sehingga investor masih ragu. Mestinya, dia desak aja tuh Menko Perekonomian sehingga FTZ bisa lancar.

Belum lagi soal investasi, bukankah saat ini era otonomi daerah, di mana pemerintahan Kota dan Kabupaten, memiliki porsi mengatur investasinya sendiri? Jadi banyak ditemukan, mereka sering mengambil investasi yang basah dan gemuk, sedangkan yang kering dikelbalikan ke provinsi.

Mestinya dia betrbicara bagaimana mengatur koordinasinya, bukan malah begini. Ah, dia mungkin berpikir saya (rakyat calon pemilihnya) tak paham soal ini, sehingga bisa dikibuli.

Hingga akhirnya ada kesempatan saya bertanya, kepada Pak A. “Pak, bagaimana Anda mau memimpin daerah ini, sedangkan stamina Anda menurun? Nanti di tengahj jalan Anda bisa dikudeta sama Pak B”

Dengan gusar Pak A, menjawab, “Ya, itu semua terserah Allah lah. Tak ada yang tahu nasib kita. Bisa jadi nanti kita dipanggi olehNya usai dari sini.,” jawabnya, yang lagi-lagi tak nyambung.

“Soal kudeta ini, saya sudah lama kenal Pak B. Dia tak akan melakukan itu,” jelasnya. Pak B pun hanya tertawa, lalu berkata, “Itu hanya black campaign saja, Mas,” katanya.

Kemudian ada juga pertanyaan, tentang lemahnya lobi internasional yang dimilikinya, sehingga akan sulit untuk menggaet investor.

Dia menjawab, bahwa pemimpin itu ya bagaimana memanfaatkan fungsi manajemen, seni menempatkan manusia. “Bila nanti saya tak mampu, kan bisa bikin tim-tim kecil. Bisa jadi merekrut Anda di dalamnya. Orang Jepang saja pakai bahasanya ke mana-mana juga bisa maju,” kelitnya.

Bener juga sih. Namun, bila terlaklu banyak membentuk tim, kan terkesan kurang bisa bekerja.

Tidak ada komentar: