Rabu, 28 April 2010

Buku 2

Kejayaan ini tak lepas kaitannya dengan banyaknya jumlah buku yang dihasilkan, setara dengan iklim membaca masyarakatnya.



Tak heran saat itu bermunculan para filusuf, ilmuan. Puluhan perpustakaan besar (maktabah) didirikan, termasuk Perpustakaan Baghdad yang diawasi langsung oleh khalifah. Selain karya-karya asing, buku karya ilmuan muslim sendiri juga ada di Perpustakaan Baghdad ini. Koleksi buku Perpustakaan Baghdad berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid.

Verba valent, scripta manent. Kata-kata bisa hilang, tetapi tulisan tetap abadi. Dakwah yang palng abadi tetaplah dakwah melalui tulisan. Berkah buku tidak akan pernah berkekurangan.

Meskipun orang melirik pada dunia maya dengan perkembangan ternologi, membuat berbagai macam situs untuk mengabadikan pemikirannya, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan sebuah buku. Ia bisa menjangkau pikiran manusia kapan saja, dibaca di mana saja, dan mengubah diri pembacanya seketika itu juga.

Namun dunia kemudian meratapi peristiwa ketika Abbasiyah dihancurkan pasukanMongol (1258). Mereka membakar atau membuang ke koleksi buku Perpustakaan Baghdad ke Sungai Tigris.

Konon, ini adalah pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah perpustakaan Islam. Tumpukan api unggun pembakaran buku Perpustakaan Baghdad konon menyamai ketinggian menara Masjid Agung Baghdad.

Ini adalah peristiwa terburuk dalam sejarah kepustakaan dunia, setelah peritiwa terbakarnya Ptolemies, perpustakaan besar di Alexandria di era kejayaan Romawi Timur, Byzantium.

Sedangkan sejarah percetakan buku di Indonesia dimulai pada tahun 1619 ketika pemerintah kolonial belanda menjadikan Batavia sebagai pusat kekuasaannya di Hindia Belanda. Namun perkembangan percetakan di daerah itu, dimulai dengan kedatangan misionaris Inggris, Medhurst, ke Batavia pada tahun 1828.

Ketika misionaris Amerika dan Inggris pindah ke China, pada tahun 1840-an, percetakan itu ditinggalkan di Singapura dan dimanfaatkan oleh Reverend Keasberry dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Penerbitan mereka berdua menghasilkan beberapa buku dengan iluminasi dan edisi yang mewah di zamannya.

Sebuah buku Roeman Pergaoelan mengisahkan, buku awal yang dicetak dalam bahasa Minangkabau adalah Malayan Miscellanies 1820-1822 dan Kaba Cindur Mata pada tahun 1904.

Malayan Miscellanies ditulis Dr W Jack dan terdiri atas dua volume. Volume I adalah syair dalam bahasa Melayu yang bercerita tentang perjalanan Raffles ke Minangkabau berjudul Account of a Journey from Moco-Moco to Pangkalan Jambi, Trough Korinchi in 1818. Kedua ditulis dalam bahasa Minangkabau setebal 8 halaman yang berisi undang-undang serta keturunan raja Moko Moko Inderapura Darat.

Penerbitan ini menjadi era baru percetakan buku di Sumatera, khususnya Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Sejumlah penerbitan di Sumatera Barat dan Sumatera Utara inilah yang memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan sosial politik pada masa-masa pra kemerdekaan.

Melalui buku inilah, fungsi jurnalistik bagi masyarakat dapat dijalankan dengan maksimal, terutama dalam hal kritik sosial dan advokasi bagi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

Pada akhir 1930-an sejumlah penerbit karya sastra di berbagai daerah mulai mengelola penerbitannya secara khusus. Roman mulai diterbitkan secara periodik. Dalam mengusahakan penerbitan karya sastra itu, para penggagasnya tetap mengusahakan terwujudnya cita-cita mereka terhadap kemerdekaan.

Hal itu diperlihatkan dengan keterlibatan mereka dalam organisasi pergerakan politik dan juga pandangan ideologi para pegiat penerbitan tersebut. Semangat nasionalisme menjadi sesuatu yang mendasari penerbitan karya sastra.

Hingga saat ini, buku selalu menjadi media penting untuk mencerdaskan masyarakat. Tak heran bila di negara-negara maju, budaya membaca tumbuh dengan hebatnya. Amien Rais pernah bercerita, betapa masyarakat Amerika sangat suka membaca. Hal ini juga sama dengan yang ada di Jepang. Tiada hari tanpa buku, bahkan saat antre hingga dalam kereta-pun masih membaca.

Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Budaya membaca, khususnya buku, sulit ditemukan. Mahalnya buku, kadang selalu dituding jadi penyebab. Berbeda dengan India yang sangat murah dan mudah mendapatkan buku berkualitas.

Selain itu, kemauan pemerintah untuk menyediakan perpustakaan (sebut saja rumah baca) hingga ke daerah, juga masih kurang. Sehingga, minat baca masyarakat pun berkurang. Yang terpenting, peran ibu untuk menanamkan minat baca pada anak sejak dini. Jangan malah mengarahkan anak agar menonton televisi.

Ada sebuah kisah yang manarik untuk dipetik. Dulu ada anak buta yang rajin membaca, sehingga membuat dunia buku jadi terbuka bagi kaum tuna netra. Dimulai saat Kapten Charles Barbier, seorang perwira artileri Perancis yang mengembangkan tehnik ”membaca malam” menggunakan kertas yang diberi titik-titik timbul kombinasi 12 posisi pengganti alfabet.

Sistem ini selanjutnya dipelajari seorang anak buta umur 13 tahun yang ditugaskan di Institut Tuna Netra Kerajaan Perancis. Anak ini lalu merombak dan membuat sendiri sistem ”membaca malam” yang dapat digunakan dengan lebih mudah bagi tuna netra, hingga cuma diperlukan 6 posisi titik dalam sistemnya.

Alat yang digunakan untuk menulis dan menandai dalam sistem itu adalah jarum. Namun jarum juga yang dulu membuat anak muda ini buta. Anak buta itu adalah: Louis Braille.
Hikmahnya; selagi masih ”melek”, rajinlah membaca. Selamat Hari Buku Nasional.

Tidak ada komentar: