Minggu, 26 Mei 2013

Menelusuri Kebocoran Subsidi BBM di Kepri 3

Yang Jual BBM Bersubsidi, juga Jual BBM Non Subsidi

Pertamina membantah bila ikut terlibat sindikat BBM. Justru mereka mengaku sebagai korban. Mengapa begitu?

Saat ini ada sekitar 33 SPBU di Batam. Dari jumlah tersebut baru 32 yang beroperasi, sisanya masih tahap pembangunan. Pendirian SPBU ini sendiri melalui proses komputerisasi.

Sebelum izin pendirian SPBU dikeluarkan, Pertama sebelumnya melakukan kajian. Misalnya untuk wilayah Batam, apakah masih bisa ditambah atau tidak. Bila masih bisa, maka Pertamina akan mencari lokasi terbaik.

Selanjutnya lokasi tersebut akan disiarkan via website agar bisa diakses dengan luas dan siapapun bisa mendaftar. Kemudian, dari beberapa calon investor yang mendaftar, masih akan dilakukan seleksi. Yang terbaiklah yang bisa mengantongi izin tersebut.

”Semua sangat transparan. Jadi kalau ada tuduhan oknum Pertamina menerima suap untuk memuluskan izin operasi SPBU, itu tidak benar,” jelas I Ketut Permadi. Wawancara ini diambil saat dia masih mejabat sebagai Sales Area Manager Pertamina Kepri, Februari lalu.

SPBU ini ada yang COCO (company own company operate/ milik Pertamina), dan CODO (company own dealer operate) di mana Pertamina hanya menyertakan sebagian modal dan dikelola swasta. Yang terakhir DODO (dealer own dealer operate) ini swasta murni.

Terkait pemasangan jumlah dispenser atau lazim disebut pompa, lagi-lagi Ketut membantah bila ini juga ditentukan oleh berapa jumlah uang suap yang disetor pengusaha SPBU ke oknum Pertamina. Berapa jumlah dispenser di SPBU itu, menurut Ketut, sebelumnya sudah melalui kajian matang. Misalnya di SPBU A, sudah dikaji berapa jumlah ideal dispenser dan berapa besar tangki timbunnya.

”Tapi kan kadang ada juga pengusaha dengan alasan investasi, membikin SPBU skala besar, misalnya meminta 10 dispenser dan tangki timbun yang besar. Itu tak masalah,” jelas pria yang saat ini dirotasi ke Jakarta itu.

Total investasi untuk membangun SPBU sekitar Rp7,5 miliar, sementara yang dijual umumnya hanya 21 ton BBM all product, dibayar di muka. Dari sini keuntungan yang bisa diraih Rp205 per liter. Jadi, keuntungan kotor perbulan Rp 130 juta. Namun biaya pengelolaan SPBU ini terasa berat, karena 30 persen cost terkuras untuk menggaji operator.

Inilah yang menggerus keuntungan bersih pengusaha SPBU. Dari sini jugalah diduga menjadi pintu masuk banyaknya oknum pengusaha SPBU bermain mata dengan penyelundup dan melakukan bisnis ”cuci solar”.

Misalnya begini ada pengusaha SPBU yang memiliki izin menjual BBM bersubsidi, juga memiliki perusahaan lain yang memiliki izin niaga umum yang menjual BBM non subsidi ke industri. Kemudian, secara sistemik mereka menyalurkan BBM subsidi tersebut untuk dijual ke industri dengan harga non subsidi melalui perusahaannya yang mengantongi izin niaga umum.

Yang mengeluarkan izin niaga umum ini bukan Pertamina. Pertamina sama juga dengan perusahaan yang mengantongi izin niaga umum, juga menjual BBM non subsidi ke industri, dalam hal ini solar.

Kadang Pertamina kesulitan untuk menjual solar-nya, karena beberapa saingan mereka mampu menjual solar lebih murah. Namun, murah bukan berarti bagus. Karena setelah diteliti, kandungan sulfur solar tersebut tinggi, yang berarti jelek. ”Kalau solar Pertamina lebih bersih dan bagus, karena kandungan sulfurnya lebih rendah,” ujarnya.

Terkait alasan keuntungan kecil tadi, sebenarnya Pertamina telah mengarahkan agar pengusaha SPBU tak hanya mengandalkan keuntungan dari bisnis BBM saja. Namun juga menggali dari potensi lain. Misalnya, memanfaatkan penjualan semua produk Pertamina, di antaranya oli, gas LPG, dan lain-lain. Termasuk juga bisnis non fuel, misalnya di area SPBU yang masih kosong, bisa dibuka bisnis retail atau cuci kendaraan, termasuk juga menyewakan tempat untuk periklanan.

Hal inilah yang saat ini dilakukan di luar negeri, seperti Malaysia dan Thailand. Di sana, omset SPBU dari BBM sangat kecil, namun pendapatan mereka dari sektor non fuel sangat besar. Sebaliknya dengan di sini.

Alternatif usaha tersebut harus dipikirkan, karena kalau hanya menggantungkan bisnis dari BBM bersubsidi, hal ini tak akan bertahan lama. Belum lagi ada data terbaru bahwa BBM dari minyak fosil ini akan habis 11 tahun lagi.

”Mungkin saja pemerintah akan menghilangakn subsidi BBM, atau mengkonversi BBM fosil ke bahan bakar lain. Itulah mengapa, saat ini Pertamina menjadi perusahaan energi. Ke depan, outlet ritel ini akan diberdayakan sebagai jaringan Pertamina,” jelas Ketut.

Untuk mengeluarkan izin pendirian SPBU biasanya Pertamina sebagai entitas bisnis memperhitungkan coverage area, pasar, dan masuknya pesaing di wilayah tersebut, baik perusahaan lokal dan perusahaan asing seperti Petronas, Shell dan semacamnya. ”Jadi sebelum perusahaan lain itu masuk, kita cover semua areanya,” ujar Ketut.

Berapa idealnya jumlah SPBU di Batam, Ketut menjawab belum ada aturan yang baku. Namun layak tidaknya wilayah itu dibangun SPBU, biasanya dihitung berdasar beberapa pertimbangan ekonomis.

Dasarnya adalah potensi omset bergantung jumlah kendaraan yang melintas di lokasi tersebut. Misalnya, SPBU di wilayah Batuaji akan beda permintaannya dengan SPBU di wilayah Batam Center. Data tersebut bisa dilihat dari historia penjualan BBM perbulan di SPBU tersebut.

Inilah yang melatar belakangi layak tidaknya pembangunan SPBU dan penetapan pasokan. Artinya, pasokan BBM di tiap SPBU tidak sama, ada yang 48 ton, ada juga yang kurang dari angka tersebut. Tergantung pertimbangan ekonomi tadi, dan total kuota BBM yang diterima Pertamina sesuai ketentuan Pemerintah.

”Untuk menghitung semua potensi ini, Pertamina menunjuk jasa konsultan. Jadi berdasar hitungan kami, saat ini SPBU di Batam sudah cukup,” jelas Ketut.

Secara sederhana, penyaluran BBM bersubsidi seperti ini. Misalnya, kuota yang didapat untuk disalurkan di Kota Batam sekitar ”satu botol”. Dari jumlah ini kemudian dituang ke beberapa SPBU, tergantung kebutuhan. Karena banyaknya SPBU dan terbatasnya kouta BBM yang dibagi, maka tiap SPBU, kalau dulu bisa dapat 1 tangki penuh, kini mungkin hanya seperempatnya saja.

Memang bila bicara permintaan BBM, Batam sangat besar karena pertumbuhannya sangat tinggi. Khususnya premium. Data dari Disperindag, pertumbuhan kendaraan berjumlah 11 persen pertahun. Hal ini bisa dilihat, jam kemacetan di Batam kian bertambah dibanding.

Terkait kuota BBM bersubsidi ini, Pertamina bukanlah penentu. Fungsi Pertamina semenjak diberlakukannya UU No 22 2001 yang diberlakukan 2006 lalu, telah berubah dari badan yang bertanggung jawab mendistribusikan BBM ke seluruh Indonesia, menjadi entitas bisnis dalam bentuk persero.

Jadi, Pertamina bukan lagi pemain tunggal. Posisinya sama dengan operator penyalur BBM lain tak ada istimewanya lagi. ”Selain Pertamina, di Kepri juga ada operator penyalur BBM bersubsidi yang menjadi pendamping kami. Namanya PT Surya Parna Niaga,” jelas Ketut.

Setelah tak lagi jadi pemain tunggal, maka Pertamina tak lagi tahu berapa kouta BBM industri, berapa jumlah industri di Batam, dan jumlah mesinnya. Beda dengan dulu. ”Kini kami hanya punya data berapa pelanggan Pertamina, dan berapa industri yang membeli dari Pertamina,” jelasnya.

Di sisi lain, karena sudah menjadi entitas bisnis, konsekuensinya sebelum menyalurkan BBM bersubsidi, Pertamina diwajibkan ikut tender untuk menyalurkan BBM, sama dengan perusahaan migas lain seperti Petronas dan sejenisnya. Panitia tender ini dipimpin langsung Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang sekaligus melakukan pengawasan.

Saat tender usai dan pemerintah menilai layak, maka ditentukanlahnkuota masing-masing untuk disalurkan di daerah. Berapa yang disubsidi berapa yang tidak. Semua ada ketentuannya. ”Sebenarnya bila bicara cadangan BBM, saat ini Pertamina memiliki stok tak terbatas. Yang terbatas hanyalah (stok untuk) BBM yang disubsidi pemerintah,” ujar Ketut.

Adapun sistem pengawasannya, Pertamina hanya mengontrol perjalanan BBM ke SPBU. Setelah BBM setelah keluar dari selang SPBU, bukan lagi tanggung jawab Pertamina. Meski demikian, untuk mencegah adanya penyelewengan BBM bersubsidi, Pertamina mengontrol ketat SPBU.

Misalnya dengan selalu mengecek laporan penyaluran, berapa BBM yang dikeluarkan lalu dibandingkan dengan berapa BBM yang dikeluarkan dari depot. ”Bila terbukti ada SPBU nakal, kita akan tindak secara administratif. Kementerian ESDM yang mengeluarkan sanksinya,” jelas Ketut.

Satu-satunya yang paling bisa diandalkan untuk mengawasi penjualan BBM bersubsidi setelah keluar dari selang SPBU adalah teknologi informasi. Misalnya dengan mengatur secara otomatis berapa satuan yang bisa dijual pada satu mobil. Teknologi itu sebelumnya merekam dulu data mobil tersebut, sehingga tak akan bisa dicurangi. ”Namun ternologi semacam itu tentu biayanya sangat mahal, dan SPBU belum tentu sanggup,” jelas Ketut.

Terkait tertangkapnya kapal yang disewa Pertamina untuk mengangkut BBM karena kepergok menyalurkan minyak secara ilegal kepada penyelundup, Ketut menjawab, hal tersebut sering terjadi. Dan itu adalah kerugian besar bagi Pertamina.

Sebenarnya kerugian ini langsung atau tidak tetap diderita negara, karena Pertamina adalah badan usaha milik negara. Namun Ketut membantah bila itu disebut kerugian negara. ”Belum jadi kerugian negara, karena minyak itu belum dibeli atau disubsidi negara,” ujarnKetut.

Praktik kotor ini dimulai, ketika Pertamina ingin mengapalkan BBM, dari depot atau kilang besar ke depot kecil. Minyak di kilang tersebut ada yang BBM hasil impor atau hasil tambang dalam negeri.

Yang biasa sandar di depot besar, umumnya tanker besar. Dari depot besar ini juga minyak dikapalkan menuju depot kecil dengan kapalbkecil. Misalnya dari depot Pertamina di Tanjunguban, ke Kabil. Selanjutnya, minyak disalurkan ke lembaga penyalur.

Untuk mengangkut minyak ini, biasanya Pertamina mencarter kapal yang rutenya selalu terpantau dengan global positioning system (GPS). Pengapalan ini selalu melibatkan surveyor independent, dari awal muatan diangkut sampai dituang, semuanya dicek dengan baik. Tak boleh kurang. ”Tapi saya tak tahu apakah ada oknum pegawai Pertamina yang terlibat ’kencing BBM’ dan sebagainya,” pungkas Ketut. ***

Tidak ada komentar: