Rabu, 08 Mei 2013

Media Sosial vs Media Massa

Selasa (7/5) malam lalu, ada sedikit kegaduhan di media sosial. Iwan Fals, "musisi Che Guevara", legenda hidup musik Indonesia itu dikabarkan meninggal.

Kabar ini menyebar berantai, dari black berry satu ke yang lain. Kemudian berlanjut ke media sosial lain, seperti facebook dan twitter. 

Kabar ini pun nyampai ke Iwan Fals, yang kemudian pukul 22.59,  dia membantah isu itu lewat akunnya di twitter. 

Namun, bantahan Iwan ini rupanya tak ampuh juga. Toh, kabar kematiannya itu tetap beredar hingga Rabu tengah hari. 

Hal ini menarik media massa daring untuk memberitakan. Karena bagaimanapun, Iwan adalah tokoh besar, yang namanya melekat kuat di masyarakat. Salah satu media tersebut adalah Metrotvnews.com. 

Pada Rabu siang, mereka merilis berita dengan judul, "Dikabarkan Meninggal, Iwan Fals membantah via Twitter. Akhirnya, seperti yang sudah diduga, keesokan harinya, atau Jumat, berita hoax akan kematian Iwan ini menghiasi media cetak. 

Dari sini kita bisa lihat alurnya, semula bersumber dari media sosial, lalu merambah ke media massa daring, dan akhirnya keluar di media massa cetak. 

Namun tak selamanya media sosial menjadi sumber (mempengaruhi) media massa, sering juga terjadi sebaliknya: media massa mempengaruhi media sosial. Sehingga ada anggapan, di era media sosial ini, media massa seolah memiliki tugas baru, menjadi hakim media sosial.

Media massa menjadi harapan terakhir bagi masyarakat dalam mendapatkan kebenaran sebuah informasi. Tapi adakalanya posisi ini berbalik, yakni masyarakat menggunakan media sosial untuk menggali sisi lain dari berita di media massa. Sehingga tak jarang, mereka menghakimi media massa di media sosial, bila dirasa kurang lengkap atau adil dalam menyajikan informasi.

Lalu muncul pertanyaan, seberapa kuatnya informasi di media sosial mempengaruhi redaksi? Jawabannya, cukup kuat. Khususnya pada tataran mencari "story behind the news", dibandingkan hanya melaporkan apa yg terjadi di media sosial. 

Bagaimanapun juga, media sosial harus dihadapi secara kritis, karena aspek pertanggungjawabannya belum bisa dipastikan. Namun harus dipantau, karena apa yg terjadi di media sosial umumnya adalah cerminan yang terjadi di dunia nyata.

Dalam kondisi di mana media sosial dan media massa saling mempengaruhi inilah, konsumen media menjadi sangat diuntungkan. Cepat atau lambat mereka,mkhisusnya di perkotaan, akan menjelma menjadi konsumen rasional dan cerdas dalam memilah dan memilih berita mana yang sehat dan yang sesat. Paling tidak akan terbiasa mengecek sumber lain dari berita.

Saya sebut "di perkotaan" mengingat di Indonesia, saat ini kesenjangan pengakses masih tinggi, belum sampai 50 persen. padahal, untuk memenuhi Millenium Development Goals pada tahun 2015, 50% masyarakat harus sudah dapat mengakses internet.

Dampak lain, akan membuat masyarakat paham cara mengefektifkan penggunaan sosial media, dengan memisahkan apa yang perlu dan yang tidak perlu dibagikan atau broadcast, bahkan meralatnya.

Terbukti, di media sosial, akan ada yg namanya koreksi terhadap informasi pada interval 2-3 hari. Inilah yang dinamakan sebagai "kecerdasan media sosial".

Media sosial seolah memberikan pesan, bahwa validasi sebuah informasi yang dicek dengan prosedur baku, adalah sebuah keharusan. Sehingga, lama kelamaan cara berpikir penggunanya akan terpola, bahwa saat mendapat informasi pertama, baik itu dari BBM ataupun twitter, mereka tidak akan langsung gegabah membagi atau menyebarkannya, karena belum jelas kebenaran dan pertanggungjawabannya.

Menghadapi perubahan pola pikir masyarakat di era internet ini, otomatis mengubah manajemen dan pola kerja wartawan di sebuah penerbitan atau penyiaran. Mau tak mau media harus beradaptasi dengan era digital ini.

Yang paling utama, pekerja media tak bisa lagi memaksakan kehendaknya  (baca: membodoh-bodohi pembaca atau pemirsanya) dengan merilis berita-berita yang sarat kepentingan tertentu. Karena media semacam ini akan segera ditinggalkan.

Dengan demikian, tugas pengelola media beserta jurnalis di era ini lebih berat berlipat ganda dari pada jurnalis di era media analog, saat masih disebut "kuli tinta". Sampai-sampai praktisi media, Uni Lubis menyarankan agar tidak mengambil profesi wartawan bila tidak siap untuk menaati aturan yang semakin ketat.

Karena di era di mana internet dan media sosial kian menggurita ini, telah mengubah empat hal dalam jurnalistik, yakni konten, cara kerja wartawan, struktur organisasi redaksi, dan relationship baik internal maupun eksternal.

Bagaimana Internet mengubah konten media? Dalam acara tahunan Journalist Days 2013, dengan tema Digital Journalism: The Age of Information & Media Literacy, Johannes Heru Margianto dari Kompas Cyber Media menjelaskan, pertama, continous deadline karena masyarakat ingin berita saat itu juga via Internet. Kedua, hypermedia non linear writing. Ketiga, multimedia berupa berita teks, audio, dan video.

Berikutnya adalah customization. Sekarang, konsumen berita dapat lebih leluasa jenis berita yang diinginkan. Internet juga meningkatkan audience involvement, artinya pembaca berita sekarang bisa mengintervensi lebih aktif.

Dengan penjelasan di atas, maka di era ini, sudah tak bisa lagi jurnalis, utamanya media cetak, hanya memberitakan sebuah informasi hanya sekadarnya saja, karena sudah pasti habis diberitakan via media sosial, online dan televisi.

Ambil saja contohnya tentang meninggalnya Margareth Tacher atau bom Boston, dalam sekejap seluruh dunia tahu, sebelum media cetak memberitakannya. Maka, bila mereka hanya memberitakan tanpa dilengkapi sisi lain dari peristiwa itu, maka sama saja bunuh diri.

Hanya jurnalisme investigasi-lah, salah satu cara yang dapat mengungguli media sosial, karena investigasi berasal dari prosedur yg panjang, berbanding terbalik dengan media sosial atau daring yang serba instant. 

Selain itu, berita haruslah penting dan menarik agar dibaca orang, karena saat ini masyarakat sedang dilanda banjir informasi. Bayangkan, bila 2 persen saja dari pengguna internet memposting status atau berita, maka akan ada 12 juta postingan yang ada di dunia maya. 

Pola kerja wartawan juga harus dengan cepat melakukan verifikasi dan konfirmasi guna validasi berita. Berita harus cepat, namun tetap akurat. Kecepatan, bukan berarti mengabaikan akurasi. Karena akurasi tergantung kepada skill dan sistem, bukan cepat atau lambatnya berita itu disampaikan.

Contoh, ketika para jurnalis tidak menyaksikan secara langsung kejadian yang dibicarakan di media sosial, maka berita tersebut tidak akan dimuat, agar tidak terjadi hal-hal yg tidak diinginkan. Kecuali sudah diverifikasi dengan baik.

Wartawan juga harus disiplin menjaga akurasi dari sumber, serta terbiasa melakukan cover both side. Googling pun sangat diperlukan sebagai pelengkap dari pencarian informasi, namun bukan sebagai sumber utama. 

Dulu memang ada dogma jurnalistik (cetak) tradisional yang berbunyi, "Get it first, but the first get it truth". Namun ini saat ini, hal itu sudah berubah. Tak jadi yang pertama mengabarkan, tak mengapa, asal terpercaya, lengkap dan tuntas. 

Sekali lagi, supaya bertahan, media harus beradaptasi dengan era digital, agar tak ada lagi anggapan bahwa "zaman batu tidak berakhir karena kurangnya batu". ***

Tidak ada komentar: