Kamis, 16 Mei 2013

Berbincang Akrab Bersama Bagir Manan, Ketua Dewan Pers

Wartawan adalah profesi unik, namun penuh risiko. Profesor Bagir Manan, membedah apa dan bagaimana jurnalis masa kini bersikap. 

Ruang Diamond Hotel Goodway, Nagoya, Batam masih sepi ketika seorang pria berambut perak memasukinya. Dialah Profesor Bagir Manan, mantan ketua Mahkamah Agung yang kini untuk kali kedua kenjabat Ketua Dewan Pers.

Saat itu, Bagir memang menjadi pembicara pembuka pada Sosialisasi nota kesepahaman (MoU) Dewan Pers dan pedoman penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan yang dimuai ukul 09.00, Kamis (16/5).

Di usia emasnya, Bagir masih gagah. Yang paling mengagumkan adalah wawasannya yang luas, dan ingatannya yang tajam. 

Bagir juga rendah hati. Dia tak menolak ketika saya tarik menuju meja dan kemudian berbincang akrab. Tentu saja tentang masalah jurnalis di Indonesia yang kerap dia hadapi. Utamanya tentang masalah kekerasan pada wartawan.

Menurutnya, kekerasan terhadap wartawan bisa dipicu dari luar, dan bisa juga akibat wartawan itu sendiri yang mengundangnya, akibat mereka salah mengartikan tentang kebebasan pers itu sendiri.

Bagir mencontohkan, suatu ketika dia pernah menyelesaikan sengketa pers, antara wartawan dan seorang pejabat daerah. Setelah diselidiki peristiwa ini bermula ketika sang wartawan ingin meliput, namun dilarang oleh si pejabat tadi.

Rupanya si wartawan marah dan berkata, "Kau itu sekolah tinggi, tapi otakmu di lutut." Si pejabat marah, kamera diambil dan dirusak. "Wartawan meski menjalankan tugas jurnalistik, tapi tak boleh menghina orang," ingat Bagir. 

Kasus lain di Ambon, ada wartawan ribut dengan polisi. Kasus ini juga masuk ke Dewan Pers. Saat ditelusuri masalahnya, ternyata wartawan itulah yang mukul duluan. 

Bagir yang sempat datang ke sana bilang ke wartawan itu, kalau terjadi begini lagi, nanti Bagir-lah yang akan memukulnya. "Tapi itu saya hanya bercanda saja. Karena tak mungkin orang tua ini menggebuk dia," jelas Bagir, menebar humor.

Menjadi wartawan saat ini, menurut Bagir tak cukup hanya terampil menulis saja. Harus juga dibekali  terknik berbicara dengan orang. Latihan wawancara, latihan mengakali orang dengan baik. Tentunya mengakali dengan tujuan kebaikan. 

Misalnya, saat sumber bilang off the record, ya diikuti saja. Namun, "verboden" tersebut bisa direkonstruksi dengan teknik khusus sehingga orang bisa memahami. 

Untuk itu wartawan harus arif, sehingga tahu siapa yang dihadapi, cerdas pengetahuan dan cerdas keterampilannya. Tak cukup sampai di situ, wartawan juga harus punya sikap intelektul yang baik.

"Dia harus jadi seorang intelek yang jujur, fair. Wartawan harus selalu menjadi model akan kejujuran, dan sikap fair," ingat Bagir.

Bila semua itu dilakukan, maka media tempat dia bekerja akan mendapat simpati dan kepercayaan publik, dan itulah jalan hidup terbaik bagi pers. Pers yang mendapat kepercayaan publik akan mendapat keuntungan secara ekonomi dan sosial.

Salah satu upaya meningkatkan kepercayaan publik itu, dengan cara menggelar uji kompetensi bagi wartawan. Meski dalam perjalanannya, ada beberapa orang yang mempertanyakan untuk apa hal tersebut. Toh, tanpa itupun wartawan telah mampu bekerja sesuai bidangnya. 

Kepada mereka Bagir mengingatkan, bahwa wartawan itu adalah kerja profesional, yang unsurnya harus ada pengakuan dari lingkungannya. Dalam dunia modern seperti saat ini, pers telah membangun tatanan tatanan itu. 

Uji kompetensi ini menunjukkan, bahwa wartawan punya jenjang-jenjang tertentu. Bagi mereka yang ahli, ujian tersebut tak akan jadi beban, sebab sudah punya kemampuan.

"Sehingga bila nanti masyarakat bertanya, apa bukti anda seorang wartawan profesional. Maka bukti itu bisa  anda tunjukkan," terangnya.

Bagi Bagir, profesi wartawan ini unik. Bila dokter harus dai sekolah kedokteran, namun untuk jadi wartawan, semua orang bisa, meskinitu tamatan sekolah dasar. Karena, wartawan tumbuh dari pelatihan.

Namun harus diingat, wartawan adalah profesi independen, profesi bebas, bukan jabatan. Untuk itu mereka sangat membutuhkan kepercayaan publik, agar bisa hidup, eksis, dan langgeng.

Bisa dipercaya, tak hanya karena memiliki ilmu yang tinggi, namun juga integritas. Hal ini harus ditumbuhkan. Karena integritaslah, orang memiliki disiplin dan tanggung jawab. Inilah tugas pemimpin-pemimpin media. 

Dalam perusahaan pers, wartawan sebenarnya bukan karyawan, karena itu tak tunduk dalam sistem-sistem birokrasi, tapi dinilai dari prestasi. Tugas mereka hanya satu: mencari berita, bukan mencari yang lain. 

"Bila ada wartawan cari yang lain-lain selain berita, itu wartawan abal-abal. Itu bisa menggoyahkan kepercayaan," tegasnya, sembari berpesan perlulah ada kriteria dan sistem di internal perusahaan pers untuk mendongkrak mutu wartawannya.  

Setelah pers menjadi perusahaan atau industri, mencari keuntungan itu hal wajar. Asal jangan sampai merusak sistem jurnalistik yg mereka bikin sendiri. Sebab, bila media tak lagi mematuhi prinsip-prinsip jurnalistiknya, maka tak layak lagi disebut media, tapi pamflet.

Terkait masih banyaknya wartawan di lapangan yang kurang wawasan, sehingga kerap salah interpretasi akibat tak memahami istilah-istilah tertentu, misalnya bahasa hukum, Bagir juga mengakui hal tersebut. 

Untuk itu Dewan Pers telah meminta beberapa instansi tertentu, semisal kepolisian, kehakiman dan kejaksaan, menbuat buku panduan untuk pegangan wartawan, yang memuat istilah-istilah hukum sehingga nanti tidak salah kutip.

Bagir juga mengingatkan, posisi media yang kerap dibayangi masalah hukum, harus memiliki pengacara tetap yang aktif. 

Dia mencontohkan, di negara-negara maju, tak ada satu perusahaan pers-pun yang tak memiliki pengacara tetap. Tak cukup hanya itu, mereka bahkan mengangkat "in house lawyer". 

"Jadi sebelum mereka menurunkan berita kontroversial, atau rawan gugatan hukum, mereka diskusikan dulu dengan pengacaranya. Kalau oke, silakan diterbitkan," kisahnya.

Bagir mencontohkan saat Washington Post menurunkan berita investigasi "skandal Watergate", pada tahun 1972-1974 yang berujung pada pengunduran diri Presiden Richard Milhous Nixon, Presiden Amerika Serikat ke-37, tepatnya tanggal 8 Agustus 1974.

Dalam laporan investigatifnya, dua wartawan harian tersebut Bob Woodward dan Carl Bernstein, menelanjangi habis skandal Watergate yang melibatkan Nixon. Untuk  membongkar seluruh skandal itu, Washington Post harus menurunkan laporan investigatifnya selama 26 bulan.

"Sebelum laporan itu diturunkan, wartawan tersebut berbulan-bulan merundingkan berita tersebut dengan in house lawyer-nya. Sehingga saat mereka digugat, bisa dimenangkan. Paling tidak adanya 'ranjau-ranjau'  itu harus dihafal dan diantisipasi," ungkap Bagir.

Selanjutnya Bagir berpesan agar sebisa mungkin permasalahan pers tak selalu diselesaikan di meja hijau. Gunakanlah cara-cara kekeluargaan dan mediasi.

Hal ini pernah juga diingatkan seorang advokad, yang juga salah seorang presiden terbesar Amerika Serikat, Abraham Lincoln. Katanya, upayakan agar tidak berperkara di pengadilan, karena semua pihak tidak akan ada yang menang, kecuali advokatnya saja. 

"Dia bilang hal ini ratusan tahun lalu. Maka itu, usahakanlah jalan damai," pesannya.

Salah satu cara terbaik dalam menyelesaikan sengketa dengan masyarakat, menurut Bagir dengan menempuh hukum adat. Dia mencontohkan, saat masih muda dia mengajar di pusat pendidikan Infantri, TNI Angkatan Darat. Di sana dia mendengar cerita tentang bagaimana komandan Batalyon di Papua menghadapi kerusuhan antar suku. 

Semula pendekatan hukum yang dilakukan adalah, polisi menangkapi orang-orang yang diduga perusuh tadi. Akhirnya kondisipun memanas. Polisi dan TNI malah dikepung.

Menghadapi situasi ini, akhirnya ada salah seorang komandan batalyon, berinisiatif untuk patungan beli binatang ternak untuk dipotong. Selanjutnya kedua suku bertikai dia undang, makan bersama. "Justru mereka bisa damai pak Bagir," ujar Bagir menirukan kalimat komandan batalyon tersebut.

Mendengar ini Bagir, lega lalu berkata, bila ada lagi kasus seperti ini, maka lakukanlah cara yang sama. Kenapa? "Hukum itu membuat kedamaian dan ketentraman. Kalau cara itu yang bikin damai, ya lakukan," tegasnya. 

Bagir menegaskan, hukum adat adalah hukum yang sangat membumi bagi bangsa Indonesia. Di seluruh dunia, hukum tersebut telah berkembang dengan apa yang disebut "restorative justice". 

Menurut Bagir, restorative justice adalah penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, atau penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.

Restorative justice sendiri berawal dan berkembang tahun 1970-an dari negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris, seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Inggris. 

Ada beberapa faktor yang memicu perkembangannya, pertama, karena terlalu banyak perkara, sehinga terdakwa menunggu lama untuk dimejahijaukan. Kedua, karena menghukum orang tak menyelesaikan masalah. Maka itu orang mengusahakan agar tak dibawa ke meja hukum, meski pun itu masuk delik hukum pidana.

Di Jepang, pola-pola seperti ini juga dilakukan. Misalnya ada kasus, anak perempuan dijambret oleh temannya. Saat dilaporkan ke polisi, akhirnya ditempuh pendekatan kekeluargaan. 

Karena si pelaku adalah anak broken home, maka dicarilah siapa orang yang paling dia segani. Ternyata guru olah raganya. Sang guru kemudian memanggil si pelaku, rupanya dia mau mengembalikan tas dan uang si korban.

Hebatnya, hubungan pelaku dan korban terjalin sangat baik. "Jadi kejahatan itu tak harus selalu sampai ke engadilan," tegasnya.

Di Selandia Baru, lembaga restorative justice itu diangkat dari hukum adat suku aslinya, Maori. Pemerintah Australia juga begitu. "Kita punya hukum adat, jadi mengapa tidak (digunakan). Hukum adat kita penuh kearifan. Jadi hukum adat itu bagus. Justru dengan hukum adat, kita bisa duduk bersama. Lebih bagus dari duduk di meja hukum," terangnya. ***


Tidak ada komentar: