Sabtu, 14 Mei 2011

Macau, Bukan Mak Kau (1)

Pusat sejarah Macau mencakup delapan alun-alun yang dipenuhi bangunan kolonial klasik dan oriental.

Jumat 6 Mei lalu, saya bersama bos dan kawan sekantor mengunjungi Macau. Banyak hal menarik yang dijumpai di daerah bekas koloni Portugis ini. Sebelum ke Macau, terlebih dulu transit di Singapura, untuk selanjutnya terbang selama 3,5 jam ke Hong Kong. dari sana, masih menuju pelabuhan feri selama 50 menit ke pulau Taipa, pelabuhan Macau.

Tiketnya sekitar 134 dolar Hong Kong. Berbeda dengan fery ada umumnya, fery yang digunakan ke Macau ini jenis hidrofoil, di sana disebut turbojet, sedangkan di Indonesia sudah lama dikenal dengan jetfoil. Hidrofoil terkenal sebagai kapal angkut tercepat dengan kecepatan 114 km/jam!

Saat melaju hidrofoil bisa terbang lebih 1 meter dari permukaan air. Penjelasannya seperti ini: pada penyangga di bawah lambung kapal, dipasang bagian seperti sayap. Saat meningkatkan kecepatannya, hidrofoil memproduksi gaya angkat sehingga lambungnya terangkat dan keluar dari air. Ini menyebabkan pengurangan gesekan, sehingga meningkatkan kecepatan.

Selain itu, aman dari efek ombak, sehingga lebih stabil di laut dan lebih nyaman bagi penumpang. Mulanya, hidrofoil menggunakan sayap atau foil berbentuk-U. Namun kini, Hidrofoil menggunakan foil berbentuk-T yang keseluruhannya berada di bawah air.

Sekitar tahun 1995-an, saya sering naik hidrofoil (jetfoil) jurusan Bawean-Gresik. Angkuitan ini dikelola ASDP. Tapi sekarang sudah tak ada lagi. Perawatannya mahal, bila diteruskan bisa merugi. Namun hidrofoil yang beroperasi Hongkong-Macau ini dua kali lebih besar. Tempat duduknya lebih luas dan lapang, dengan menggunakan sistem nomor.

Macau adalah contoh kesuksesan prinsip Deng Xiaoping: “satu negara, dua sistem”. Kebijakan ini diluncurkan demi tercapainya persatuan dan reunifikasi China di bawah naungan Republik Rakyat China.

Satu negara yang dimaksud adalah RRC dengan pemerintah pusatnya di Beijing. Sedangkan dua sistem yang dimaksud adalah sistem sosialisme dengan kekuasaan terpusat di RRC dan kapitalisme serta demokrasi dalam tingkat berbeda di Hong Kong, Macau dan Taiwan.

Macau terletak 70 kilometer sebelah barat daya Hong Kong, dan 145 km dari Guangzhou. Macau sendiri saat ini merupakan daerah administrasi khusus RRC. Sebenarnya, pada tahun 1974, Macau akan dikembalikan lagi oleh Portugal ke China. Namun saat itu, ada beberapa syarat yang membikin China menolaknya. Hingga 25 tahun kemudian, atau tahun 1999, penyerahan bisa terlaksana.

Sama seperti Hong Kong, keluar masuk Macau harus melalui pintu imigrasi. Beijing menyerahkan semua otoritas pemerintahan dan otonomi luas, kecuali bidang pertahanan dan luar negeri.

Di bawah sistem ini, Macau menikmati pertumbuhan ekonomi yang cepat, keamanan publik, serta stabilitas sosial sejak serah terima pada Desember tahun 1999. Satu lagi, Macau juga punya bendera dan mata uang sendiri, bernama pataka (Macanese pataca). Meski begitu, dolar Hong Kong berlaku di sini, namun sebaliknya di Hong Kong tak ada yang mau menerima pataka.

Macau sendiri selama 4 abad menjadi koloni Protugis, terdiri dari tiga pulau kecil yaitu pulau Macau di utara, Taipa di tengah, dan Coloane di selatan. Ada tiga jembatan yang menghubungkan dari Taipa ke pulau Macau, yaitu jembatan Sai Van, jembatan Friendship, dan jembatan Macau Taipa.

Sepintas mirip Batam, Rempang, Galang yang disatukan dengan 7 jembatan. Bandara Macau terletak ”di tengah” laut, dekat pelabuhan Taipa.

Berdasarkan sejarahnya, Macau dulu dihuni para nelayan dari Fujian dan para petani dari Guangdong. Saat itu namanya Ou Mun, atau ”gerbang perdagangan”, karena berada di muara Pearl River di hilir Guangzhou (Kanton).

Pada zaman dulu kota pelabuhan merupakan bagian dari Jalan Sutra dengan kapal-kapal menaikkan muatan sutra dari sini menuju Roma.

Setelah Cina tidak lagi menjadi pusat perdagangan dunia, Guangzhou menjadi makmur dari usaha maritim dengan negara-negara Asia Tenggara, sehingga pengusaha lokal menyambut baik kedatangan pedagang-penjelajah Portugis. Apalagi setelah Jorge Alvares datang di selatan China pada tahun 1513, bertujuan mencari pos perdagangan yang sesuai untuk mereka.

Kali pertama penjelajah Portugis menginjakkan kaki di Ou Mun, di dekat pelabuhan tersebut ada sebuah kuil paling kuno, tempat Dewi A-Ma, dewi para pelaut, dipuja. Masyarakat menyebutnya Ma Kok Miu, artinya Kuil Ma. Sedangkan pendatang China menyebutnya A Ma Gao, artinya teluk A Ma. Kuil ini didirikan oleh Dinasti Ming sekitar tahun 600 Masehi.

Saat tiba di tempat ini, mereka ini bertanya pada penduduk lokal, apa nama daerah tersebut. Ada yang menjawab Ma Kok Miu ada yang menyebut A Ma Gao. Dari sinilah kemudian orang Portugis menyebut Macao.

Dengan izin penduduk Guangdong berbahasa Mandarin, Portugis mendirikan sebuah kota yang dalam waktu singkat menjadi pintu masuk perdagangan besar antara China, Jepang, India dan Eropa.

Hingga tahun 1557, Portugis kian massive membangun pos dagang, benteng lalu melakukan penataan kota, pusat keagamaan hingga budaya. Tak heran bila Macau menjelma menjadi kota Portugis.

Sebuah universitas Kristen didirikan, tepat di sebelah gereja yang kini disebut reruntuhan St Paul, di mana siswa-siswa seperti Matteo Ricci mempersiapkan diri untuk tugas mereka sebagai cendekiawan Kristen pada Imperial Court di Beijing.

Macau juga menjadi persimpangan yang sempurna sebagai tempat pertemuan antara budaya Timur dan Barat. Gereja Katolik Roma mengirimkan beberapa misionaris terbaiknya untuk melanjutkan tugas St. Francis Xavier (yang meninggal tak lama setelah melakukan banyak perubahan di Jepang).

Kemudian Macau resmi menjadi koloni Portugis pada 1887 dan membuat bahasa Portugal menjadi bahasa kedua di sini setelah China (Kanton). Hal ini tampak dari penanda jalan, toko, perkantoran dan sebagainya yang terawat hingga kini.

Yang menarik, gang-gang kecil di kota peninggalan Portugis ini, dibuat dari batu. Berdasar cerita, batu-batu tersebut diangkut langsung dari Portugis. Ada kebiasaan orang Portugis sebelum ke Timur, memenuhi kapalnya dengan batu. Selanjutnya batu tersebut diturunkan, lalu diganti rempah-rempah dan sebagainya.

Semua bangunan peninggalan Portugis masa silam ini, dapat dilihat di pusat sejarah Macau, yang mencakup delapan alun-alun yang dipenuhi bangunan kolonial klasik dan oriental. Salah satunya alun-alun Senado yang telah menjadi pusat Macau sejak awal, dan memainkan peranan sebagai tuan rumah bagi banyak acara publik.

Di daerah ini terdapat beberapa arsitektur terkemuka, seperti Sam Kai Vui Kun (Kuil Kuan Tai), Leal Senado, dan Holy House of Mercy. Kuil Kuan Tai terletak di lokasi bazaar Macau lama, pusat perdagangan yang sangat penting selama periode komersial China di Macau.

Ada juga alun-alun Barra yang bagian depannya dibangun dari mosaik Portugis. Ubinnya diletakkan dalam pola bergelombang yang mencerminkan aliran sungai. Di dalam alun-alun, inilah Kuil A-Ma, berada.

Selanjutnya alun-alun St Augustine yang menyatukan beberapa situs terkenal, termasuk Gereja St Augustine, Teater Dom Pedro V, Gereja St Joseph, dan Perpustakaan Sir Robert Ho Tung. Teater Dom Pedro V sendiri adalah teater bergaya barar pertama di China.

Kemudian Alun-alun Lilau, berarti ”mata air pegunungan,” dan ini digunakan sebagai sumber air utama di Macau. Di dalamnya ada menemukan gedung Mandarin dan barak Moor. Gedung Mandarin adalah tempat tinggal pemikir terkenal Tionghoa Guanying Zheng. Sedangkan barak Moor, dibangun arsitek asal Italia Cassuto.

Ada juga benteng Mout, benteng pertahanan militer yang bembentang seluas 10 ribu meter persegi, yang berdiri di sebelah reruntuhan gereja St Paul. Tempat ini memuat banyak meriam, barak-barak, sumur, dan koleksi amunisi serta pasokan untuk peperangan. Ada juga benteng Guia, dibangun antara tahun 1622 dan 1638.

Disebelahnya, berdiri mercusuar Guia, yang dibangun tahun 1865 dan merupakan mercusuar modern pertama di pantai China.

Dan yang terakhir, peninggalan Portugis paling terkenal di Macau adalah gereja St Paul (Sao Paulo). Awalnya bernama gereja Mater Dei. Dulunya merupakan gereja katolik terbesar di Asia yang dibangun 1582 – 1602, kini oleh UNESCO ditetapkan sebagai World Heritage.

Sekarang gereja ini hanya menyisakan dinding depannya saja, sisi lainnya hancur akibat kebakaran dan angin topan pada 1835. Kabarnya, kebekaran dipicu percikan api dari dapur. Semua musnah, termasuk perpustakan dengan koleksi ribuan buku kuno. Sekarang, yang tersisa hanya sebuah dinding depan.

Karena tinggal rerentuhannya saja, maka sisa gereja Santo Paul ini juga dikenal sebagai Ruinas de Sao Paulo, atau Ruins of St Paul’s Church, yang kini menjadi tujuan utama wisatawan di penjuru dunia ke Macau.

Di reruntuhan gereja ini, banyak wisatawan mengabadikan sisa bangunannya. Bahkan ada yang buka usaha foto prewedding dengan kostum khas Portugal. Tentu, semuanya tidak gratis. ***

Tidak ada komentar: