Jumat, 10 Juli 2009

Award "Sang Ratu Amplop"

Di atara film-film legendaris H Benyamin Syuaib yang paling melekat di hati saya adalah yang berjudul, “Ratu Amplop.” Kesannya melekat, karena banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sini.

Film yang dirilis tahun 1974 oleh sutradara Nawi Ismail ini, berkisah akan ambisi Ratmi (diperankan oleh Ratmi B 29), wanita gembrot yang wajahnya mirip bulan pecah, untuk memperoleh gelar wanita tercantik di perusahaan biskuit tempat dia bekerja.

Kebetulan saat itu, di perusahaan tersebut menggelar ajang ratu-ratuan. Pemenangnya, selain akan dapat award, juga menjadi model sampul di kotak biskuit yang mereka produksi.

Sebenarnya, dalam hati, Ratmi sadar dirinya bakal kalah saing dengan kontestan lain, seperti Ida Royani atau Conny Suteja, yang badannya seksi bin ramping. Namun, Ratmi tak kehabisan ide. Melalui beberapa tim suksesnya, dia sogok semua juri. “Sssstt… Jangan lupa tuh,” pesannya pada juri, sembari menyelipkan amplop berisi uang.

Mau tahu hasil akhirnya? Ya betul, bukan sulap bukan sihir, Ratmi menang sebagai ratu kecantikan di perusahaan tersebut. Tentu saja hasil ini diprotes peserta lain. Namun, keputusan juri tak bisa diganggu-gugat.

Ratmi pun senang alang-kepalang. Kemenangan hasil rekayasa dengan menghalalkan segala cara itu, menjadikannya angkuh setengah mati. Apalagi, sejak kemenangan itu, dia berhasil merebut hati Benyamin yang sebenarnya sudah menjalin kasih dengan Ida Royani.

Sementara itu, award dari kontes ratu-ratuan itu dia pajang di ruang tamu. Setiap orang yang datang, dia pamerkan penghargaan yang sudah dia dapat itu.

Tentu saja orang yang melihat, bukannya kagum, namun merasa aneh. Mana mungkin, Ratmi
yang gembrot dan buruk rupa itu bisa menang kontes ratu-ratuan, yang nota bene untuk orang cantik wal seksi?

Kok bisa? Apa tak salah tuh? “Ah, pasti ada apa-apanya,” curiga mereka.
Dan setelah diselidiki, lama-lama diketahui ternyata jurinya sudah makan amplop. Jadilah pacar Benyamin sekarang punya julukan baru, ”Si Ratu Amplop”.

Kisah ini, mungkin hanya humor belaka. Namun di dunia semoderen saat ini, kisah sangat relevan. Lihatlah, betapa banyak di sekitar kita orang-orang yang demi mengejar sebuah award atau penghargaan, sampai menghalalkan segala cara.

Yang penting menang, yang penting nggak malu. Tak peduli lagi, apakah pantas atau tidaknya penghargaan itu untuk dirinya.

Setiap kita memang butuh penghargaan. Maklumlah, penghargaan ibarat mercu suar yang sinarnya tampak dari kejauhan. Selain itu, penghargaan bisa menjadi bukti akan kiprah kita di bidang tertentu dan yang peling penting, ini adalah motivasi.

Tak heran, pakar manajemen sekelas TM Maslow pun, memasukkan penghargaan (disebut esteem) dalam konsep piramida kebutuhan dasar manusia.

Bahkan, saat ini pemerintah pun memberikan banyak penghargaan bagi para aparatur negara yang berprestasi dalam memajukan lingkungan kerja, maupun kotanya.
Kita tentunya sudah kenal apa itu Adipura untuk kebersihan, atau Widyakrama untuk pendidikan. Sungguh merupakan kebanggaan bila sebuah kota bisa meraih semua penghargaan ini.

Terkait hal ini, beberapa waktu lalu saya sempat berbincang dengan mantan Wali Kota Batam Nyat Kadir. Menurutnya, award itu tentu berguna, namun dulu dia tak pernah terlalu berambisi meraihnya. Karena, sebenarnya rakyat tak terlalu butuh award, yang dibutuhkan mereka bagaimana anak-anaknya bisa tertampung di sekolah, kesehatan membaik, kebersihan terjaga.

“Sekarang demam denggi mengamuk. Katanya kota adipura, kota bersih, tapi lingkungan kotor, nyamuk merajalela,” katanya.

Lalu bagaimana pendapat warga sendiri? Beberapa waktu lalu, saya membaca polling di Facebook yang menanyakan “Banggakah Anda dengan penghargaan (award) yang diterima di kota Anda? Misalnya, Adipura (kebersihan), widyakrama (pendidikan).

Ada yang menjawab, “Ya bangga dong bos. Bukankah semua pengrhargaan itu bisa membikin citra kota ini naik? Ibarat mercusuar, paling tidak bersinar dari kejauhan?”
Meski demikian ada juga yang berkata, ”Meragukan, bangga??? Jauh dari realiti. Public sevice di kota ini jauh dari harapan.”

Ada juga yang bilang, “Alangkah idealnya jika penghargaan tersebut merupakan refleksi kenyataan di lapangan. So, penghargaan yang diterima tidak terkesan mengada-ada, tapi pemerintah dan masyarakat benar-benar walk the talk.”

Yang menarik, ada pendapat singkat, “Ah, itu semua bisa direkayasa....”

Saya setuju dengan komentar di atas yang mengatakan, aidealnya jika penghargaan tersebut merupakan refleksi kenyataan di lapangan. Karena buat apa juga sebuah penghargaan, bila ibarat mercusuar, terang dikejauhan, namun setelah didekati, yang ada hanyalah pulau kosong, gelap dan kotor.

Ibarat kisah si ratu amplop, buat apa dapat award tapi malah bertentangan dengan kenyataan.

Bagaimana menurut Anda?.

Tidak ada komentar: