Jumat, 31 Juli 2009

Konversi Kultural

Tak lama lagi, konversi minyak tanah ke gas akan diterapkan di kota Batam. Dengan alasan menghemat BBM, masyarakat yang selama ini menggunakan minyak tanah untuk memasak akan dialihkan untuk menggunakan gas.


Di mimbar, beberapa waktu lalu, pemerintah berkata, penggunaan gas untuk memasak ini jauh lebih hamat, jauh lebih bersih dibanding minyak tanah.

Tak hanya itu, karena pengguna mintak tanah umumnya kalangan “proletar”, maka pemerintah memberikan kompor gas dan tabung gas gratis bagi mereka.

“Tung dihitung hitung… Bang ditimbang timbang… Aman dan ekonomis…” begitulah nyanyian dalam sebuah iklan konversi minyak tanah ke gas ini, yang akhir-akhir ini rajin diputar di Batam TV.

Oke. Lebih untung, lebih bersih, lebih ekonomis, gratis lagi. Siapa yang tidak mau? Tapi mengapa, kok masih ada resistensi bagi pengguna minyak tanah itu? Mereka bilang, “Ogah ah, lebih enak (memasak) pakai minyak tanah. Pakai gas, ribet. Entar meledak lagi!” begitu alasannya.

Untuk itulah, pemerintah sebagai penyelenggara program ini, harus proaktif juga mengubah pomeo yang telah mengakar ini.







Sebenarnya bila ditelaah lebih jauh, keengganan masyarakat ini terjadi bukannya tak mau diuntung, bukannya tak mau ekonomis, atau bahkan menolak kompor dan tabung gas gratis, melainkan akibat tak siap bila rangkaian kebiasaan yang selama ini tertata, jadi berantakan.

Inilah yang juga disebut gegar budaya (culture shock). Sebuah istilah psikologis untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi kondisi lingkungan sosial dan budaya yang berbeda.
Dalam hal ini, rakyat kecil sudah merasakan romantisnya memakai minyak tanah dan kompor sumbu, sehingga semua rintangan pun akan mereka hadapi asal bisa tetap menggunakan mintak tanah. Tak peduli meski harus antre, tak peduli meski dibilang masak tak bersih.

Karena sudah merasa nyaman, mereka enggan bila segala ritual itu hilang tiba-tiba. Mereka kadang sudah ribet membayangkan tabung gas, selang penghubung, regulator dan tetek bengeknya.

Inilah yang dinamakan kebiasaan yang bermuara pada kultur. Susah bila harus diubah secepat kilat. Sama seperti misalnya kita yang selama ini merasakan nikmatnya hidup di Kepri, langsung hijrah ke Amerika.

Bayangkan sudah terbiasa makan nasi dagang, harus tiba-tiba berhadapan dengan aneka roti panggang. Sudah terbiasa pakai toilet jongkok, langsung dipaksa duduk, pakai tisu lagi.

Tubuh kita memang didesain menerima sesuatu dengan proses. Misal, saat makan harus dikunyah minimal 30 kali dan maksimal 70 kali. Kalau tidak, akan mengakibatkan gangguan kesehatan lambung.









Demikian pula pola tidur kita, juga harus teratur. Sekali saja Anda melakukan pergeseran pola tidur, meski itu hanya satu jam, akan membuat tubuh kita melakukan penyesuaian minimal tiga hari, maksimal seminggu.

Ini baru melakukan penyesuaian terhadap faktor internal, apalagi penyesuaian pada faktor eksternal, tentu lebih rumit lagi. Dan akan lebih gawat lagi bila perubahan itu terjadi terlalu drastis, sehingga akan membuat cultural shock tadi.

Memang benar, melakukan perubahan itu kadang harus dipaksa, namun juga jangan sampai perubahan tersebut membuat suasana tak nyaman (chaos). Karena itu bukan lebih baik namanya. Apalagi bila berhadapan dengan kebiasaan atau kultur. Tentunya harus lebih hati-hat lagi.

Bukankah hukum (aturan) yang baik itu adalah yang melindungi kepentingan umum? Bila tidak, tentu perangkat hukum atau aturannya harus diganti.

Tentunya kita tak ingin beberapa petaka yang terjadi di Jawa, terulang di sini. Akibat kurang seriusnya pemerintah melakukan sosialisasi, membuat rakyat yang masuk program konversi minyak tanah ke gas ini, harus kehilangan harta benda.

Ada yang terjadi akibat ketidak tahuan mereka tentang tatacara menggunakan kompor gas, atau akibat ditemukan kebocoran di tabung gas itu sendiri, sehingga meledak.

Untuk itu, diperlukan empati pada masyarakat agar program konversi ini berhasil. Pemerintah, jangan malas melakukan pendekatan familiar pada mereka yang terkena program konversi, sehingga resistensi akibat gegaran kultur ini berkurang.

Karena konversi minyak tanah ke gas bukannya sekadar mengganti pemakaian minyak tanah ke gas, melainkan juga konversi kultural.

Tidak ada komentar: