Minggu, 05 Juli 2009

Sesuatu yang Baru

Manusia itu sangat suka hal-hal yang baru. Apa sajalah itu, pokoknya yang baru.



Makanya, jangan heran bila beberapa perusahaan membidik ini sebagai lahan bisnis. Tiap bulan, sealu saja ada sesuatu yang baru. Dan memang pada kenyataannya, yang baru-baru itu selalu laris.

Namun, manusia juga mahluk yang umumnya tak bisa menahan untuk memamerkan sesuatu miliknya yang baru. Semuanya, ponsel baru, mobil baru, ehm… pacar baru, atau ilmu baru.

Istilahnya, eksibisionis. Sifat ini, sudah ada sejak masih masa anak-anak. Lihat saja, anak-anak yang baru punya mainan baru, maunya selalu dipamerkan. Hingga dewasa, sifat ini tetap melekat, cuma kadang cara memamerkannya lebih elegan.















Namun apapun itu, ya tetap saja suka pamer. Padahal, tanpa sadar lambat laun rasa ingin pamer ini bisa menimbulkan penyakit hati (psikis). Inilah yang disebut eksibisionisme. Hatinya baru terhibur, bila bisa memproklamirkan bahwa dia lebih dari yang lain.

Intinya, hati-hati memperlihatkan sesuatu yang baru, karena bisa saja hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi Anda. Ibarat kepasar pakai gelang emas satu kilo, ya jangan salahkan bila ada penjahat menghampiri Anda.

Contoh lain, di kampung saya ada sebuah teori untuk mengetes apakah ilmu seorang pendekar itu cetek atau tidak. Caranya, colek saja dia. Kalau responnya langsung mengeluarkan kuda-kuda, berarti ilmunya masih rendah. Dia masih baru belajar silat.

Mengapa demikian? Ya, karena biasanya pendekar pemula gemar sekali pamer jurus. Sedikit-sedikit, hiaaaatttt… ciatt…

Dalam keseharian kita kadang kerap melihat nafsu eksebisionisme ini. Mungkin ada rekan Anda yang baru punya ponsel baru, ada saja tingkahnya, agar untuk “memberi tahu” kita bahwa ponselnya baru.

Ada lagi yang baru mendalami disiplin ilmu tertentu, penginnya selalu saja memamerkan keilmuannya ini. Rasanya orang lain tak ada apa-apanya.














Ada seorang kawan, dia ibu rumah tangga pendiam dan bersahaja. Hingga suatu ketika, dia berhasil menamatkan S1 Fakultas Hukum. Mau tahu apa yang terjadi? Tiap kali berinteraksi, omongannya selalu soal hukum.

Sampai-sampai gosip di kompleknya pun, masih juga presentasi soal ilmu hukum. “Eh, jangan macam-macam lho jeng, itu bisa dituntut lho… Itu masuk kategori utrecht mattigheddad! Hukumannya penjara 5 tahun lho!”

Ada lagi yang lagi mabuk kepayang oleh ilmu motivasi. Maunya tiada hari tanpa motivator. Gayanya serampangan saja. Tiap ketemu orang selalu diinterogasi, “Sudahkah kamu punya tujuan hidup? Mau jadi apa kamu 5 tahun ke depan?” Dan lain-lain.

Gayanya sudah macam Mario Teguh saja.

Memotivasi, siapa yang tak bisa? Karena hakikatnya, motivasi adalah sesuatu yang telah kita ketahui. Cuma kadang kita lupa. Nah, tugas motivatorlah untuk mengingatkannya.
















Namun, motivator yang baik tentunya tak hanya bisa berorasi, tapi juga harus paham situasi dan kondisi orang yang akan kita beri motivasi.

Karena motivator yang berhasil, biasanya akan membuat senang orang yang mendengarnya. Sehingga, mereka akan dengan sendirinya (dengan senang) melakukan apa yang diharapkan. Bukan dengan keterpaksaan. Filosofinya, niat baik akan membuat orang lebih baik.

Contoh ringannya, motivator itu mirip seorang mak comblang. Apapun yang disarankannya, akan membuat sang pecinta mendengar dengan gembira, dan selanjutnya melaksanakan dengan riang.


Untuk itu, sang motivator harus menguasai teknik komunikasi dan yang terpenting harus bisa memberikan jalan dan contoh teladan yang baik. Tanpa semua ini, tentu tak berarti.

Kan tak lucu bila Anda kerap memotivasi agar orang lain menjadi baik, sementara Anda sendiri malah manusia yang tak bermoral? Atau memotivasi orang agar giat berbisnis, sementar Anda sendiri adalah bisnisman gagal?

Jadi, bukan asal ngomong. Karena, cara motivasi yang tak tepat bisa membuat orang yang mendengar muntah berak. Bahkan, marah karena merasa digurui dan dipandang bodoh.
















Ada lagi yang lucu. Suatu hari, ada kawan baru datang rekreasi ke Padang. Tampaknya, dia sudah tak sabar ingin memamerkan pengalamannya ini. Hingga saat bertemu sekumpulan rekannya di kafetaria, dia langsung menceritakan semua yang dilihatnya di Padang.

Setelah ceritanya habis, dia heran, kok rekan-rekannya tak ada yang terpikat. “Kok reaksi kalian biasa saja?” tanyanya.

“Ya, bagaimana lagi, kami ini kan berasal dari Padang. Jadi, apa yang Anda ceritakan sudah kami ketahui. Malah bosan rasanya mendengarnya terus!” jawab salah seorang dari mereka. Tentu saja rekan saya ini malu.

Dari semua uraian ini, marilah kita berhati-hati saat akan memperlihatkan sesuatu yang baru. Jangan asal pamer saja. Sehingga Anda akan menjadi orang yang dicap, “Air beriak tanda tak dalam!” Atau, “baru lihat pantai sudah merasa mengarungi tujuh samudera.” Ada juga yang bilang, “Bak anak bebek lepas dari induknya.”

Tidak ada komentar: