Kamis, 02 Juli 2009

P R A S A N G K A

Suatu ketika, saya memampang sebuah kalimat pembuka pada blog ini. Kalimat tersebut berbunyi; ”Saya adalah seorang ayah yang menyukai fitnah, saya adalah mahluk yang sangat membenci yang haq! Dan saya juga memiliki apa yang tak dimiliki Allah baik di langit dan di bumi!”

Mau tahu apa selanjutnya yang terjadi? Tak lama setelah itu saya mendapat e-mail yang berisi sebuah pengecaman. ”Bertobatlah, sesungguhnya neraka itu amat nyata...”

Saya pun merenung, lalu saya memutuskan menghapus saja kalimat pembuka tersebut di blog ini. Alasan saya, biar tak terjadi salah penafsiran, karena tak semua orang bisa berfikir jernih dan dilengkapi referensi yang kokoh. Khawatir nantinya, berujung pada rasa buruk sangka yang dalam.

Sebenarnya alasan saya memampangkan kata-kata tersebut, karena diilhami keadaan saya saat ini yang memang begitu menyukai anak dan harta benda. Bukankah dalam agama Islam, semua itu disebut fitnah?

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” Al-Anfal (8) ayat 28.

Sebuah ayat lagi berkata; “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” At-Taghabun (64) ayat 15.















Maksud dari fitnah di sini, tentu bukan fitnah dalam arti suka menghasut, bukan. Fitnah yang dimaksud di sini adalah cobaan. Maka itu, jika kita berhasil melaluinya, maka pahala Allah tak akan ternilai.

Adapun maksud kata bahwa saya membenci yang haq, artinya bahwa saya membenci kematian. Ya, siapa sih yang tak takut mati. Untuk itulah, semasih hayat, berusahalah berbuat amalan yang baik sebagai bekal di hari kemudian.

Dan apa yang saya maksud bahwa saya memiliki sesuatu yang tak dimiliki Allah baik di langit dan di bumi, adalah saya saat ini memiliki istri dan anak, yang tentu saja tak dimiliki Allah. Karena Allah itu satu, dia tak beranak dan tak diperanakkan.

Jadi apa yang salah dengan kalimat saya tadi? Tentu tidak. Yang salah di sini hanyalah cara mempersepsi kannya saja. Inilah kadang bahayanya persepsi. Karena persepsilah, kadang sebuah kebenaran tertutup.

Soal persepsi ini, ada sebuah pelajaran menarik yang bisa saya sampaikan. Hak ini diajarkan ketika saya mengikuti training ESQ (kecerdasan emosi dan spritual) beberapa waktu lalu.
















Di sana disebut, untuk mencapai kecerdasan emosi dan spritual yang sukses, kita harus membersihkan hati kita dari persepsi/belenggu-belenggu yang menutupi suara hati kita yang sebenarnya.

Ada 7 belenggu yang menutupi Suara Hati. 1. Prasangka Negatif, 2. Prinsip Hidup, 3. Pengalaman, 4. Kepentingan dan Prioritas, 5. Sudut Pandang, 6. Pembanding, 7. Literatur.

”Kemudian hatimu menjadi keras susudah itu, hingga seperti batu, malahan lebih keras lagi. Sebab ada batu-batu yang memancar sungai-sungai daripadanya dan ada pula yang terbelah mengeluarkan air. Ada pula yang meluncur jatuh, karena takutnya kepada Allah. Dan Allah tiada lengah akan apa yang kamu lakukan.” (QS. Al Baqarah, 74)

1. Prasangka Negatif; dalam kehidupan sehari-hari kita, kita sering berprasangka buruk terhadap suami, istri, teman dan orang lain akibatnya suara hati/ sifat-sifat mulia kita tertupi oleh belenggu-belengu/paradigma tersebut.
















Kadang sering kita jumpai, seorang bos tiba-tiba memarahi dan menjelek-jelekkan anak buahnya ke mana-mana, hanya karena saat itu dia melihat anak buahnya bermain internet saat jam kerja.

Padahal, kalau seandainya dia mau bertanya dengan baik, saat itu si anak buah membuka internet guna membantu melaksanakan pekerjaannya, agar informasi yang dia dapat saat itu lebih lengkap. Dan itu atas sepengetahuan atasan langsungnya.

Namun lihatlah, akibat prasangka negatif sang bos, namanya jadi jelek. Tak adil juga rasanya, yang bener-benar bekerja malah dapat celaka, sedangkan yang main-main bahkan malas, malah kian terpelihara.

”Kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan semata, sunggu dugaan tiada berguna sedikitpun melawan kebenaran. Sungguh, Allah mengetahui segala yang mereka lakukan. (Qs. Yunus,36)

2. Prinsip Hidup; Mungkin kita sering mendengar prinsip seperti ini, yakni ”Tidak ada persahabatan sejati, yang ada hanya kepentingan pribadi”. Atau, ”Yang penting penampilan”.



















Hal ini lah tentu berlawanan dengan suara hati manusia, yang sejatinya sangat memuliakan arti persahabatan, kasih sayang, tolong menolong antar sesama umat manusia. Dan yang terakhir, membuat pemikiran bangsa ini menjadi bangsa yang konsumtif dan mendewakan penampilan luar saja tanpa memperhatikan sisi terdalam manusia yaitu hati nurani. Dengan kata lain hanya menilai dari simbol dan statusnya.

3. Pengalaman; Pengalaman-pengalaman hidup seseorang berperan dalam menciptakan pemikiran dalam dirinya. Sebuah paradigma yang melekat erat dalam pikiran, seringkali paradigma itu dijadikan ”kaca mata” dan tolak ukur bagi dirinya.

Karena kita merasa berpengalaman, merasa paling hebat, merasa paling pintar (sombong) akibatnya tidak ada lagi ilmu yang bisa bertambah karena diri kita merasa cukup, merasa sebagai botol yang penuh. Maka itu, bebaskan diri anda dari pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran, berpikirlah merdeka.

4. Kepentingan dan prioritas; Orang yang berprinsip pada politik, akan memikirkan sesuatu yang bisa langsung memberikan keuntungan politik, mereka yang berprinsip pada penghargaan pribadi, akan memprioritaskan keputusan untuk mengangkat diri pribadinya sendiri. Mereka hanya mau bekerja jika terdapat keuntungan/ kepentingan untuk pribadinya.

5. Sudut Pandang; seringkali kita melihat seseorang dari satu sisi, melihat orang dari statusnya, cara penampilannya, melihat orang dari kejelekannya. Sering kali kita salah dalam menilai/ melihat sesuatu karena kita tidak berpikir melinggkar.
















6. Pembanding; Kita sering lupa bersyukur kepada Allah, kita sering membandingkan rezeki kita dengan orang lain, kita sering membanding-bandingkan yang kita miliki dengan orang lain tak pernah merasa puas dengan apa yang telah kita miliki. Sehingga belenggu tersebut menutupi suara hati kita.

7. Literatur; Ada seorang pengagum sebuah buku yang mengajarkan arti sebuah penghargaan. Dalam buku tersebut diajarkan bahwa dorongan manusia adalah penghargaan, di mana-mana diajarkan bagaimana menghargai orang lain, sehingga banyak manusia yang gila penghargaan, setelah penghargaan itu hilang banyak manusia yang jatuh, akibat dari literatur yang mengajarkan penghargaan.

Begitupula dengan literatur yang mengajarkan Marksisme, Kapitalisme, semuanya menutup dan menjadi belenggu kita.

Ketujuh belenggu di atas, yakni prasangka, prinsip, pengalaman, prioritas dan kepentingan, sudut pandang, pembanding serta literatur-literatur merupakan hal yang sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang, oleh karena itu ”kemampuan” melihat sesuatu secara jernih dan obyektif harus didului oleh kemampuan mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi.

Tidak ada komentar: