Senin, 05 Januari 2009

Keberanian Bernama Munir

Ada sebuah buku bagus yang baru diluncurkan di Jakarta, judulnya Keberanian Bernama Munir. Jika sampai di Batam, kayaknya harus segera dibaca neh. Tentunya baca gratisan di toko buku, maklumlah di Batam tak ada perpustakaan, yang ada hanya mall.

Seiring peluncuran buku ini, saya mengenang kembali pertemuan dengan Munir 8 tahun lalu. Saat itu, pertengahan 2000, Munir tengah mengiring rombongan Presiden Gus Dur ke Batam, tepatnya di sebuah Resor Nongsa Point Marina.

Di sela-sela jeda pertemuan tersebut, di sebuah bangku panjang di lobi utama resor, saya bertemu Munir. Orangnya sangat sederhana. Baju yang dipakai saat itu mirip yang selalu tampak di televisi. Kemeja putih garis-garis vertikal tipis. Lengannya selalu digulung. Celana kain warna hitam potongan baggy, plus sepatu pantofel ikut melengkapinya.

Di lengan kiri Munir, terselip tas kulit warna hitam. Ukurannya lebih besar sedikit dari album foto keluarga. Tapi karena badan Munir kecil, tas ini jadi kelihatan besar, dan hampir menutup bagian atas tubuhnya.

Tas inilah yang selalu disandang erat sang empu ke manapun dia pergi. Mungkin isinya dokumen-dokumen penting.







Kesan pertama ketika bertemu wong Arab asal Kota Batu, Malang ini, saya tak menyangka kalau itu adalah Munir yang pemberani itu. Munir yang bikin arogansi TNI saat itu kalang kabut.

Postur tubuhnya kecil kurus, tingginya hanya 150 cm. Rambutnya yang ikal, khas orang arab, terbiar agak panjang hingga bagian belakang hampir menyentuh bahu. Beberapa di antaranya kelihatan memerah.

Ciri lain yang tak kalah menarik perhatian, saat saya menatap wajah Munir ketika terlibat percakapan serius. Bagian bawah kedua kantung matanya menghitam.

Semula saya pikir itu celak, sebagaimana biasa dilakukan seorang Muslim untuk mengamalkan sunnah Nabi Muhammad. Namun setelah saya lihat lagi, bukan, itu bukan celak sebab yang hitam bukan lingkar mata, melainkan kantung mata.

Selanjutnya saya terlibat perbincangan akrab. Serius juga, sedikit. Maklumlah, jika lihat orang besar begini, saya suka gatal ingin mencuri ilmu dan pengalamannya, tentunya melalui diskusi.

Dengan postur seperti ini, wajarlah jika saya bertanya soal bagaimana Munir mengatur dan mengatasi rasa takutnya itu. Karena, berkaca pada keberaniannya Munir sangat rentan sekali terkena 4 langkah operasi intelijen, berupa pengamatan, teror, santet hingga diracun.

Namun, Munir menjawab dia serahkan diri pada Allah. Menurutnya, hidup mati itu di tangan-Nya.







Terakhir saya tahu, bahwa Munir juga berihtiar menjaga keselamatan dirinya dengan memakai jas antipeluru. Jas ini pernah dia tunjukkan pada Usman Hamid, saat ini jadi penggantinya di Kontras.

Dari sini saya berkesimpulan, bahwa seorang pemberani itu bukanlah orang yang tak memiliki rasa takut, tapi bagaimana dia mengaturnya saja.

Di sela-sela keasyikan diskusi kecil itu, datanglah Kapolsek Lubukbaja AKP Munir. Sebagaimana protap pengamanan presiden, saat itu kapolsek seluruh Batam ikut berjaga di sekitar ring 1. Seragam yang dikenakan pun berbeda, istilahnya pakaian dinas lapangan (PDL), dengan sepatu lars panjang.

“Wah, Munir ketemu Munir nih,” celetuk saya.

“Munir itu artinya corong. Bedanya saya corong rakyat, Munir yang ini corong pemerintah,” celetuk Munir spontan yang disambut tawa yang mendengar. AKP Munir pun ikut senyam-senyum.

Dari sini saya tahu, ternyata Munir adalah pribadi yang menyenangkan. Istilahnya humoris. Jauh dari kesan garang yang ditampakkan saat dia berunjukrasa membela hak azazi manusia dan orang-orang korban kekerasan.



Please, open mind
---------
Munir, SH yang juga pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ditemukan tewas diracun arsenik (sejenis racun tikus) dalam pesawat Garuda GA-974, saat mendarat di Bandara Schippel, Amesterdam, Belanda, 7 September 2004. Diduga dia diracun saat transit di Singapura.

Munir berangkat ke Belanda dari jakarta, untuk menghadiri seminar dan sekaligus mengurus bea siswa yang diterimanya dari Inggris (British Achievening Awards).

Tidak ada komentar: