Kamis, 29 Januari 2009

Caci-makilah Wartawan!

Antara menulis, belum lama ini dalam sebuah forum formal di Bengkulu, Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan mengeluhkan kinerja wartawan. Katanya suka manas-manasi. Merekapun dicap wartawan kompor.

Kisah tentang kepala petinggi daerah yang menjelek-jelekkan wartawan di forum resmi bukanlah hal baru di kepri. Dulu, Nyat Kadir saat masih menjabat wali kota Batam, sempat menghujat wartawan saat dia berbicara dalam sebuah forum.

Tahun lalu, Wakil Gubernur Kepri HM Sani, juga berlaku sama. saat berbicara dalam forum bisnis, dia juga membeber borok wartawan. Ada saja yang dia sebut. terakhir dia tutup, "Aku ini dan ...(dia menyebut nama bos media) adalah kawan akrab," katanya.

Dan terakhir, giliran Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan. Bedanya, dia membeber borok wartawan hingga memberikan cap negartif tersebut, saat dia berbicara di Bengkulu, yang nota bene jauh dari wilayah pemerintahannya.







Rupanya Suryatati lupa (atau memang tak sadar?) bahwa di zaman fiber optik, informasi tak mengenal batas dan wilayah. Terbukti, dalam hitungan menit, omongan dia di forum tersebut langsung hangat di Kepri.

"Wartawan kompor", begitulah dia memberi merek.

Memaki wartawan, memang tak ada salahnya. Bahkan, meski lex specialis, kode etik wartawan Indonesia yang baru pun juga tak melarang jika misalnya ada pihak yang ingin mempidanakan wartawan.

Namun dalam kasus ini, tak bijak rasanya seorang petinggi daerah menjelek-jelekkan wartawan di depan forum resmi. Menurut saya, malah sangat kekanak-kanakan dan mengandung unsur bully (menghina, melecehkan, mengintimidasi) yang saat ini amat dibenci. Apalagi, disadari atau tidak, peran wartawan selama ini cukup membantu.

Berkacalah pada mantan Pangdam Jaya Djaya Suparman atau Aburizal Bakrie. Saat dia diterpa pemberitaan kurang mengenakkan, mereka tak langsung mencaci wartawan di forum resmi, namun melakukan langkah yang sangat elegan.









Dengan santun mereka datang ke organisasi yang menaungi wartawan tersebut, apakah itu organisasi profesi, atau organisasi kerja guna mencari jalan keluar. Pertemuan ini akhirnya membuahkan hak jawab, sehingga tidak ada yang terluka. Jangan sepelekan hak jawab, karena hal ini merupakan taruhan nama baik dan kredibilitas media yang bersangkutan.

Inilah beda seorang negarawan atau bukan. Jangan seperti gerombolan Hercules, ketika kurang berkenan akan pemberitaan wartawan, mereka datang menyerbu redaksi koran yang bersangkutan. Siapa yang ditemui langsung dihajar, hingga hidung wartawan tersebut patah.

Berkaca dari kasus ini juga, sudah saatnya seorang petinggi di daerah belajar bagaimana berhadapan dengan pers. Kalau merasa kikuk, akifkan saja peran humas.

Tinggalkanlah cara-cara lama yang kekanak-kankan dan tak cerdas, berupa kebiasaan menelepon petinggi media saat ada masalah dengan wartawan, karena itu sudah tak relevan lagi di zaman yang serba transparan seperti saat ini, di mana ilmu pengetahuan menjadi pedoman.


Please, open mind...

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Jangan saling mencaci maki..gak baik

muhammad riza fahlevi mengatakan...

ha ha... kapan kita datengin prabowo bos