Senin, 12 Januari 2009

Bahaya Bisik-bisik

Orang banyak berkata, “Kalau nitip duit ke orang, jangan harap lebih, kurang udah pasti. Tapi, kalau nitip omongan, jangan harap kurang, lebih udah pasti tuh! Omongan sesenti, jadi semeter!”


Pandangan di atas bukan suatu anggapan semata. Beberapa ahli komunikasi moderen, telah membuktikannya dengan sebuah permainan “bisik-bisik”.

Sekitar 10 orang atau lebih, diminta membisikkan secara estafet beberapa kalimat. Hasilnya, ternyata jauh melenceng! Dari kalimat semula berbunyi, “Aku cinta kamu”, menjadi “Aku benci kamu!”

Mengapa demikian? Setelah ditelilti, dalam alur komunikasi itu telah terjadi missing link (jaringan putus) yang akhirnya diganti dengan kalimat baru, sesuai persepsi si penerima.

Jadi, saat ada beberapa kalimat yang tak mampu didengar dan ditangkap dengan baik, si penerima mengganti kalimat tersebut dengan hasil opininya, “Mungkin maksudnya begini ya?” Maka, wajar saja bias, bahkan melenceng dari klimat semula.

Kenapa? Semua ini tak lepas dari kondisi si penerima. Apakah saat itu dia sedang konsentrasi penuh, atau tidak. Apakah dia memiliki inteligensia tinggi, atau malah moron?







Contoh. Ini adalah pengalaman rekan saya. Suatu saat, kenalannya, pejabat di DPRD, memiliki tanggungan pada perusahaannya. Oleh staf pemasaran dia diminta menagih ke pejabat tersebut.

Hasilnya, dia laporkan ke staf tersebut. “Pak pejabat sekarang sedang di Jakarta. Lagian kabarnya, dia ada sedikit masalah keuangan. Sabar dulu ya, saya yakin dia pasti membayar tepat waktu. Karena, selama ini memang tertib kok. Jangankan punya tanggungan, saat kita ada acara (ivent) pun dia sering bantu kok. Baru-baru ini saja dia ngasih Rp5 juta!”

Lalu, apa yang terjadi? Si staf bilang pada pimpinannya, “Pak pejabat tak mau bayar, karena dia sering membantu perusahaan ini sebesar Rp5 juta!”

Ternyata terjadi missing link dalam alur komunikasi ini. Mungkin saat menerima pesan tersebut, pikiran si staf entah melayang ke mana, sehingga saat akan melapor dia lupa beberapa kalimat dan akhirnya untuk melengkapinya, dia simpulkan sendiri dengan persepsi dan opininya, tentu saja.

Bahaya kan? Coba jika si pejabat mendengar, apa jadinya?







Ini adalah pembicaraan formal, bagaimana lagi jika informal, yang dilakukan secara bisik-bisik? Mungkin karena bahayanya, maka Islam sampai mengharamkan “bisik-bisik” ini, atau disebut ghibah. Bahkan diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya yang sudah mati!

Mengapa, karena di dalamnya bisa mengandung unsur fitnah dan pembunuhan karakter. Bukankah kebohongan jika disampaikan terus menerus, akan disangka sebuah kebenaran?

Bisik-bisik memang legit dan asyik. Ini bukan hanya dunia wanita, kaum pria juga menyukainya. Bedanya, mereka mampu mengemas jadi agak elit dan fokus bahasannya adalah peristiwa bukan pribadi seseorang. Meski ujung-ujungnya nyerempet juga ke pribadi orang.

Di Inggris, misalnya, mengemas acara bisik-bisik ini dengan nama "jamuan minum teh". Biasanya dilakukan sore hari.

Di Tanjungpinang, kaum pria di sana mengemas acara bisk-bisiknya dengan nama "ngopi di kedai". Biasanya, sejak pagi hingga siang mereka betah ngobrol sana-sini, sambil menyeruput secangkir kopi.

Dalam teori kekinian, “bisik-bisik” ini melahirkan sebuah cabang ilmu, bernama “komunikasi”. Dari sini, lahir ilmu kewartawanan (jurnalistik) yang mengajarkan wartawan (orang yang terus menerus mengumpulkan, mengolah dan menyebar informasi) mengemas bisik-bisik dengan baik dan bertanggungjawab.

Bahkan ada undang-undangnya segala, guna menjaga unsur opini dan persepsi tak masuk, akibat sikon si wartawan saat bertugas. Meski begitu, tetap saja opini dan persepsi itu lolos.






Mengapa ilmu jurnalistik masuk dalam ilmu komunikasi? Salah satu penyebabnya, karena dulu, praktik jurnalistik dilakukan dengan cara komunikasi. Kisahnya, dalam era Romawi kuno, praktik kewartawanan sudah ada.

Karena saat itu media cetak belum ada, maka disampaikan dengan cara dikomunikasikan (media lisan). Jadi orang-orang di masa itu, jika ingin mendapat berita, mereka memanggil si pengabar. Selanjutnya mereka bertanya, apa berita hari ini dan minta disampaikan. Seanjutnya, si pengabar akan bercerita urut-urutannya sesuai apa yang diminta. Begitulah.

Di zaman ini, seiring majunya teknologi informasi dan komunikasi, ilmu bisik-bisik kian berevolusi dengan sangat pesatnya. Di zaman ini, bisik-bisik dikenal dengan mana gossip (kabar angin). Penyebarannya pun tak lagi lewat mulut, tapi bisa lewat SMS. Efeknya sungguh perkasa, hingga mampu menebar teror.

Karena perkasanya, kadang gossip di zaman ini selain merugikan juga mampu jadi senjata seseorang untuk mereguk keuntungan semacam dukungan dan popularitas.

Jadi, digosipkan tak selalu buruk. Lihat saja, jika akibat gosip membuat Anda semakin ngetop, mending diam saja, nikmati sajalah. Tapi, jika gosip merugikan dan membuat Anda bahkan anak buah Anda tak tenang, karena sibuk memikirkan gosip dari pada pekerjaan, maka segeralah hentikan.

Membuat penjelasan, asal setelah itu berhenti, lebih baik daripada membiarkannya. Karena semakin diulur, semakin hancur.

Please, open mind.

Tidak ada komentar: