Selasa, 13 Januari 2009

Kawin Campur, Euy

Senator Illinois Barrack Hussein Obama berhasil meukau mata dunia, bukan hanya karena berhasil terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat, tapi juga telah mengangkat isu kawin campur (mixed race) hangat kembali.



Seperti diketahui, Obama adalah anak Barack Husein (seorang penganut Muslim dari Kenya) dengan antropolog Stanley Ann Dunham, wanita kulit putih dari Kansas. Setelah mereka bercerai, Obama pernah menghabiskan masa kecilnya selama dua tahun di Menteng, Jakarta setelah ibunya menikah dengan orang Indonesia, bernama Lolo Sutoro.

Jika ditarik dari sejarahnya, kawin campur sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum penyebaran manusia modern di seluruh dunia itu sendiri, yakni sekitar 42.000-39.000 tahun lampau. Wow!

Beum lama ini, jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, Washington University di St Louis, Amerika Serikat, mempublikasikan hasil temuannya, setelah mereka meneliti sekitar 34 potongan tulang yang diduga berasal dari satu tubuh di Gua Tuanyuan, dekat Beijing, China. Dari sana disimpulkan, bahwa manusia purba China merupakan hasil kawin campur.

Ada juga teori Out of Africa, yang menyimpulkan bahwa manusia Neanderthals, sebelum populasinya habis, telah melakukan kawin campur dengan manusia modern atau homo sapiens yang berasal dari Afrika Timur, setelah mereka menyebar ke senatero dunia sekitar 70.000 tahun silam.

Meski masih menimbulkan kontroversi, terus diteliti dan diuji di kalangan para pakar palaeantropologi, namun temuan-temuan ini telah membuka wawasan manusia akan fenomena kawin campur tersebut.







Di Indonesia sendiri bagaimana? Sebagai negeri yang terbentang di garis khatulistiwa dan gerbang lalulintas laut dunia, Indonesia sarat akan adanya praktik kawin campur, dari dulu hingga saat ini. Namun “hasilnya” tak begitu kentara, karena umumnya kawin campur ini terjadi masih dengan ras Asia, seperti India, Arab dan China.

Tentu kita masih ingat, semasa di SMP, guru Sejarah dulu pernah mengajar bahwa nenek moyang kita berasal dari Hunan, China. Selain itu, banyak para saudagar asing yang singgah di Nusantara saat itu, melakukan perkawinan dengan warga setempat yang dia singgahi.

Belajar dari sejarah pula, bagaimana kerajaan Sriwijaya yang berkuasa sejak abad ke 7-13 Masehi, melakukan kawin campur dengan putri dari kerajaan lain, sebagai jurus memperluas pengaruh kekuasaannya.

Adalah Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu.

Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa raja yag berhasil membawa Sriwijaya ke masa keemasan dari 833 hingga 856 M.







Kisah-kisah ini banyak tercatat dalam beberapa prasasti, seperti Kedukan Bukit, tahun 683 M, Talang Tuo, tahun 684 M.

Kisah ini banyak ditulis dalam catatan para sejarahwan Arab klasik, yang paling dikenal bernama Mas‘udi (Sriwijaya disebut Sribuza). Catatan lain, dari pengelana asal China (yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing, peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama sejak tahun 671 M).

Selain para raja, banyak pelajar dari negeri Jepang dan China melakukan kawin campur dengan gadis Sriwijaya yang kala itu menjadi pusat ilmu pengetahuan, maritim, agama Budha (Sriwijaya juga dikenal sebagai “Negeri Seribu Biksu”), dan perdagangan, khususnya hasil bumi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan lainnya.

Teknik kawin campur ini juga pernah dilakukan Kerajaan Majapahit, untuk menanam pengaruh di kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran, tanah Pasundan. Saat itu Hayam Wuruk mengutus Gajahmada meminang putri Dyah Pitaloka.

Namun pernikahan ini menjadi banjir darah di daerah Bubat, ketika Gajah Mada mengatakan bahwa putri Dyah Pitaloka bukan sebagai lamaran, melainkan tanda takluk kerajaan pasundan atas Majapahit.







Majapahit juga pernah akan menikahkan putri Gusti Ayu Raden Adeng (dikenal sebagai Putri Gunung Ledang), dengan Sultan Mahmud dari Kesultanan Melaka. Namun hal ini juga tak berakhir bahagia, di karena hati sang putri telah terpikat oleh Laksamana Hang Tuah, pendekar tanah Melayu yang pernah diutus ke Majapahit.

Bahkan, ada yang berpendapat bahwa di antara Walisongo (sekitar tahun 1474) itu, ada yang merupakan hasil kawin campur dengan bangsa China, dalam hal ini Campa (Kamboja, kala itu masuk kekuasaan China).

Dia adalah Sunan Bonang alias Bong Tak Ang. Sunan ini juga dikenal akan kepiawaiannya mengubah sastra kebentuk suluk atau tembang tamsil. Salah satu karyanya yang hingga kini masih jadi hits di blantika musik Indonesia adalah Tombo Ati. Lagu ini sudah berapa kali digubah. Pernah dinyanyikan Emha Ainun Najib (Kyai Kanjeng), dan yang paling gress dinyanyikan Opick.

Malah ada yang menulis bahwa pendiri kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, yakni Chen Jinwen atau yang lebih dikenal dengan Raden Patah alias Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu), bahkan semua Walisongo itu memiliki darah Tionghoa.

Dalam konsteks kekinian, kawin campur di Indonesia kian kentara. Lihat saja sinetron, isinya adalah artis hasil kawin campur, yang paling kelihatan hasil perkawinan antara ras Asia dan Eropa. Meski sempat dikritik pengamat film, yang mengatakan sinetron Indonesia tak percaya diri dengan identitas ke-Indonesiaan-nya, namun fenomena ini terus menggejala.







Karena pengaruh inilah, di sejak akhir 90-an, sebuah survei mencatat banyak wanita Indonesia yang mendambakan pria bule. Istilahnya “PKB” alias pencinta kaum bule. Tujuannya, selain karena cinta, juga karena motif ekonomi dandemi keturunan lebih baik.

Banyaknya fenomena kawin campur inilah, yang mendorong Indonesia merevisi undang-undang anak hasil kawin campur. Salah satu poinnya mengakui anak dari pasangan kawin campur sebagai warga negara Indonesia.

Hal ini selain merespon globalisasi, juga merujuk dari studi yang dilakukan, banyak pasangan kawin campur berujung perceraian. Kendala utamanya, adalah ideologi, budaya, dan yang paling banyak; faktor agama. Hal ini guna mencegah agar anak-anak mereka tak terlantar.

Dari semua uraian ini, coba kita renungkan, jangan-jangan kita sendiri adalah hasil dari kawin campur, minimal dengan bangsa Arab. He he…

Please, open mind.

Tidak ada komentar: