Minggu, 25 Januari 2009

Mencari Guru

Anak-anak muda generasi mie instan saat ini, tentu tak pernah mengalami zaman di mana subur tradisi mencari guru. Meklumlah, saat ini pendidikan kian banyaknya, gurupun tak terhitung lagi jumlahnya. Guru dalam arti pengajar, bukan peneladan.


Tradisi mencari guru, banyak dilakukan bapak-bapak peletak fondasi bangsa ini, sejak zaman kerajaan hingga pergerakan.

Saya sendiri memang tak sempat lagi mencicipi tradisi ini, namun ayah saya dulu sempat bercerita, anak-anak muda semasanya di tahun 1930-an, mencari guru hingga ke Jawa bahkan jazirah Arab untuk melengkapi ilmu pengetahuannya.

Menurut ayah, tradisi ini diturunkan dari para gurunya di kampung. Biasanya dia akan merekomendasikan sang murid untuk belajar ke kota atau negara tertentu. Biasanya sang guru berpesan, “Datanglah ke sana, di sana ada seorang alim bernama fulan. Dia banyak menguasai akan ilmu agama.”

Muhammad Darwisy atau setelah besar dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan, pendiri Muammadiyah itu, dulu sempat mencari guru untuk memperdalam ilmu agamanya hingga ke jazirah Arab.

Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1903, keturunan ke 12 Maulana Malik Ibrahim tersebut, bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Tradisi mencari guru ini pun, kadang dilakukan oleh seorang guru yang nota bene memiliki ilmu yang mupuni. Biasanya, untuk memutuskan apakah seseorang itu layak menjadi gurunya atau tidak, mereka melakukan adu ilmu, biasa berbentuk debat atau pertarungan. Yang kalah akan tunduk dan menyatakan diri sebagai muridnya.

Teknik ini kerap dilakukan Kiai Sadrach, seorang misi sending saat menyebarkan ajaran Kristen di Kediri, Jawa Timur.

Sebelumnya, para sunan pun juga melakukan hal yang sama. Sebuah kisah mengatakan, bahwa Sunan Kali Jaga, semasih bernama Raden Rahmat, banyak melakukan petualangan untuk mencari guru yang baik. Hingga akhirnya dia mendapat hidayah saat bertemu Sunan Bonang, gurunya.









Dari isah-kisah mencari guru ini, saya tertarik akan kisah Imam Syafi’i. Konon saat itu, beliau bertemu penduduk di sebuah kampung. Selanjutnya dia bertanya, “Apakah di kampung ini ada guru yang hebat?”

“Ada. Dia sangat pandai menangkap ayam. Kamu pergi saja ke ujung jalan ini, di sana ada lelaki tengah memberi makan ayam,” menjawab si penduduk. Penasaran, Imam Syafi’i pun menuju ke sana. Tak lama dia bertemu orang yang dimaksud.

Dia melihat ada seorang lelaki dengan ayam-ayamnya. Sebelum ayam itu dimasukkan ke kandang, terlebih dulu dia memberinya makanan ke sebuah ruang. Si ayam pun menurut. Setelah semuanya masuk, maka dia langsung menangkapnya satu persatu dan dimasukkan ke kandang.

Melihat hal ini, Imam Syafi’I mengurungkan niatnya berguru pada lelaki itu. Diapun balik kanan, hingga akhirnya bertemu kembali dengan penduduk yang telah memberinya saran itu.

“Ketemu?” tanya penduduk itu.
“Ya. Tapi saya tak jadi berguru padanya.”
Kenapa?” si penduduk keheranan.
“Ilmu yang dia punya ternyata hanya memberikan teknik untuk mengelabui (ngakali) ayam. Kalau pada ayam saja dia berbohong, jangan-jangan ilmu yang dia berikan pada saya juga ilmu bohongan!” jawabnya.








Di zaman ini, tentu tradisi mencari guru ini tak lagi dilakukan. Buat apa, pendidikan begitu banyaknya. Kursus-kursus apa lagi. Guru, juga tak terhitung. Mulai yang honor hingga profesor.

Namun, layaknya Imam Syafi’i, kita harus selektif memilihnya. Karena saat ini banyak orang pandai, namun sedikit sekali yang mengerti. Orang cerdas banyak, namun yang bisa menjadi teladan sangat susah.

Kadang kita merasa muak mendengar ocehan orang-orang pandai, bukan karena kita tak mengakui akan ilmu yang dikuasinya, namun karena kita melihat orang tersebut tak mampu meneladani ilmunya. Dia bilang ini itu, dan dia sendiri yang melanggarnya.









Sebuah pengalaman. Saat akan salat Jumat, seorang dosen di sebuah perguruan tinggi memilih berdiri di luar masjid. Saya pun heran lalu bertanya, kenapa tak mau masuk. Bukankah mendengarkan khutbah Jumat itu wajib? Apalagi materinya tentang dosa orang-orang munafik.

Dia pun menjawab, alasan tak masuk masjid karena yang membaca khutbah itu adalah temannya.

Sayapun makin kebingungan. Tak mau membikin saya penasaran dia pun menjelaskan. “begini Za, bukannya saya tak menghargai kalimat-kalimat suci yang dia sampaikan, namun nurani sayalah yang menolak dan memilih agar saya tak usah mendengar.”

“Kenapa begitu?”

“Karena teman saya yang memberikan khutbah itulah yang baru saja menipu saya. Belum lama ini, seorang pengusaha juga telah dia tipu jutaan rupiah. Bahkan di kampus, dia diindikasikan melakukan korupsi uang pendidikan. Bagaimana saya bisa menerima khutbahnya, kalau dia sendiri ternyata hanyalah seorang penipu ulung???”


Berbahagialah kita, jika bisa menjadi guru bagi sesamanya. Lebih baik lagi jika dapat menjadi peneladan. Karena Andalah obor dalam kegelapan sebenarnya…


Please, open mind…







Tidak ada komentar: