Kamis, 01 Januari 2009

Permainan Pikiran

Di antara buku anekdot para sufi, saya sangat suka membaca kisah-kisah Nasruddin. Humornya cerdas, dan penuh makna. Tentu saja, namanya juga sufi.

Seperti kisah ini. Suatu hari seorang tetangga bertamu ke rumah Nasruddin. Dia mengeluhkan rumahnya yang sangat sempit. Sudahlah demikian, saudara-saudaranya ikut numpang di sana.

Mendengar ini, Nasruddin bertanya.
“Apa kamu punya ayam?”
“Punya, Nasruddin!”
“Bawa masuk ke rumahmu,” perintah Nasruddin. Si tetangga kebingungan, lalu pulang dan segera mengikuti perintah Nasruddin.

Keesokan harinya dia datang lagi.
“Bagaimana?” tanya Nasruddin.
“Tambah sempit.”
“Apa kamu punya kambing?”
“Ya!”
“Masukkan juga!”

Si tetangga makian bingung, namun tetap meniruti perintah Nasruddin.

Keesokan harinya dia datang lagi. Kali ini Nasruddin minta agar dia memasukkan keledai ke dalam rumah. Perintah ini lagi-lagi diikutinya.





Keesokan harinya, si tetangga kembali datang.
“Bagaimana?” tanya Nasruddin.
“Ya, Nasruddin, sekarang tambah kacau balau, jangankan untuk tidur, berdiri saja kami susah. Belum lagi berisik oleh suara ayam, kambing dan keledai.”

Nasruddin menyimak lalu berkata, “Kalau begitu, keluarkan keledai itu.”

Si tetangga bergegas pulang dan mengeluarkan keledai tersebut. Keesokan harinya Nasruddin datang dan bertanya,
”Bagaimana sekarang?”
“Lumayan Nasruddin, tapi masih sesak.”
“Kalau begitu, keluarkan kambing itu.”

Si tetangga menurut. Esoknya Nasruddin datang lagi,
“Apa ada perubahan?”
“Syukurlah Nasruddin, tapi masih sedikit bising.”
“Kalau begitu, keluarkan ayam itu.”

Esok harinya, Nasruddin datang, si tetangga sudah tersenyum lebar.
“Ah syukurlah Nasruddin, sekarang hidup kami jadi lebih tentram,” ujarnya.

Apa yang kita baca ini menunjukkan betapa Nasruddin sedang mempermainkan pikiran tetangganya. Sebenarnya, apa bedanya kondisinya antara sebelum dan setelah mendatangi Nasruddin, sama saja kan? Rumahnya tetap sempit dan tetap ditumpangi saudara-saudaranya.





Hal ini mengingatkan saya dulu saat masih SMA. Tiap ada guru baru, biasanya identik dengan aturan-aturan baru. Biasa, wow effect. Biar kelihatan bekerja aja. Padahal, aturan yang katanya baru itu, sudah pernah dilakukan guru terdahulu. Ada aja yang diubah, absenlah, seragamlah dan lain-lain.

Saat itu kami, para siswa yang biasa hidup “tentram” langsug terusik. “Wah payah neh, guru sekarang sangat disiplin,” keluh kami.

Namun lama-kelamaan, aturan-aturan itu kendor, bahkan tingkah sang guru kadang banyak bertentangan dengan aturannya sendiri. Sementara itu, keresahan murid-murid pun hilang berganti senang.

“Wah enak ya sekarang,” katanya. Padahal, apa yang dibilang “enak sekarang” ya sama saja dengan dulu, sebelum guru itu masuk dengan segala aturannya.

Konteks kekinian, permainan pikiran ala Nasruddin ini juga kerap dilakukan para artis. Lihat saja, Band Ungu, misalnya. Saat Ramadan, mengeluarkan album religi. Saat manggung sorbannya pun menyentuh tanah.





Namun, setelah Ramadan usai, mereka mengeluarkan album pacaran bahkan selingkuh. Ada kekasih gelap lah, dan lain-lain. Yang tentunya ini bertentangan dengan Islam. Namun, publik menilai mereka tetap saja band terpuji.

Lain lagi dengan Dewi Persik. Saat manggung ngumbar aurat kemana-mana, bahkan tak malu berciuman dengan Aldi Taher (bukan muhrim) di depan kamera televisi yang dipancarkan seluruh Indonesia.

Saat tingkahnya ini diprotes, sang Dewi berisik ini malah bilang, “Tak usah ngasih tahu saya soal ahlakul karimah. Gino-gini saya punya pesantren.”

Lalu kenapa? Apa hanya karena punya pesantren sudah dijamin masuk surga dan bebas melanggar hukum agama? Bukankah Nabi Muhammad sendiri tak bisa menjamin anaknya masuk surga?

Banyak lagi contoh lain, yang kadang lolos dari penilaian. Inilah mungkin yang disebut scotoma, pikiran melihat apa yang ingin dilihat. Saatnya kita lebih jeli lagi.

Please, open mind.

Tidak ada komentar: