Rabu, 21 Januari 2009

Biarkanlah Obama

Sudahlah, cukup, cukup menyanjung Obama terlalu berlebihan. Berhentilah, toh bagaimanapun dia adalah presiden orang lain, bukan presiden kita.


Manusia khusunya orang kota (urban) membangun sendi hidupnya berdasar kedekatan (approximity) dan kesamaan (similiarity). Orang-orang yang merasa memiliki kesamaan baik itu darah, daerah, pikiran atau ide, selalu berkumpul dan meresa welcome antara satu dan lainnya, lalu membentuk sebuah ikatan yang mengikat berupa paguyuban (gessellschaff) dan patembayan (gemienschaff).

Kelompok-kelompok ini biasanya memiliki links untuk membuat saling terkoneksi. Orang yang melakukan kontak antar link itu disebut liaison. Karena itulah, di kota, lingkar komunikasi selalu aktif antara sesama kelompok paguyuban dan patembayan ini. Dari aneka ragam kelompok ini, akhirnya memunculkan in-group feeling dan out-group feeling.

Jadi jangan heranlah kalau di kota, orang cenderung bergaul dengan orang yang itu-itu saja, sedaerah, seide, seiman dan se, se, se yang lain. Termasuk, tentu saja, memilih pasangan. Kalau tak se-club, ya sekantor, atau sekampung. Gitu deh.

Uraian inilah mungkin yang coba dimunculkan orang-orang negeri ini, khususnya para alumni SDN 04 Menteng, Jakarta Pusat, akan pelantikan Barrack Obama, presiden adikuasa yang dulu teman mereka.









Meski menurut saya, terlalu berlebihan, mengalahkan respon orang-orang Pacitan saat mengetahui anak sedaerahnya, Susilo Bambang Yudhoyono, dilantik sebagai Presiden RI.

Bagi Obama Indonesia memang memiliki kenangan tersendiri. Nostalgia masa kecil. Namun, coba kita tanya pada diri sendiri, seberapa bagus memori kita mengenang masa-masa saat masih duduk di bangku SD tingkat pertama? Siapa saja teman Anda saat itu, atau Anda malah tak memiliki teman, karena waktu sosialisasi saat itu sangat terbatas.

Beda halnya, jika itu terjadi di masa-masa SMA. Umumnya, kenangan erat itu baru terpatri pada jiwa manusia pada masa-masa ini. Masa-masa metamorfosa.

Nah, dari sini saja kita sudah tak bisa berharap banyak apakah Obama masih ingat teman-temannya, atau Indonesia umumnya. Sekarang kita hanya berharap pada Lolo Sutoro, ayah tiri Obama, apakah selama menjadi ayah Obama dia cukup berkesan atau tidak?











Kalau iya, tentu secara psikologis Obama akan mengenang Lolo dalam arti orang Indonesia itu baik-baik, jadi layak untuk dibantu. Namun kalau tidak, tentu akan sebaliknya, kenangan ini akan membekas pada jiwanya. Apalagi, selama ini memang, jarang ada ayah tiri yang dekat dengan anak tirinya.

Yang paling lucu, di saat orang Indonesia menyangjung Obama sebagai presiden “miliknya”, ternyata tak sedikitpun Obama menyebut Indonesia dalam setiap pidatonya.

Malah pernah, Obama berusaha menghapus Indonesia dari sejarahnya, mengingat statusnya yang pernah tinggal di negeri ini, sempat menjadi ganjalan di awal-awal dia mencalonkan diri sebagai presiden.

Obama dicap pernah mencicipi pendidikan madrasah saat tinggal di Indonesia yang mereka asosiasikan dengan pelatihan teroris. Tentu Obama menyangkal, bahkan sebuah situs pernah menulis, di depan konstituennya Obama bersumpah, jika terpilih menjadi presiden AS, akan menghancurkan madrasah-madrasah yang berhaluan ekstrim di Indonesia.

Tahu tidak apa arti “ekstrim”, “barbar” atau “teroris” dalam kerangka berpikir Amerika? Jika mereka tak mau bekerja sama dan menentang Amerika, atau jika menolak arahan Amerika. Intinya jika berseberangan dan tak bersekutu dengan Amerika layak untuk dihancurkan.






Sisi lain, Obama adalah presiden dari Demokrat. Sudah sejak dulu, presiden Demokrat dikenal konservatif. Berbeda dengan Republikan, mereka selalu mengambil keputusan sesuai arahan partai.

Nah, sekarang bagaimana kebijakan partai Obama akan Indonesia?

Memuja Obama karena merasa in-group feeling saat masih sekolah SD di Menteng, memang tak ada salahnya. Asalkan, tak terlalu berlebihan. Jangan sampai nanti menimbulkan fanatisme buta, sehingga menganggap segala tingkah Obama itu benar.

Amerika adalah sesuatu bagi Indonesia, namun apakah Indonesia menjadi sesuatu bagi Amerika?



Please, open mind...

2 komentar:

Anonim mengatakan...

assalamualaikum,
mohon maaf langsung nyosor ke email mas, tapi sumpah,,,saya intes td pas baca postinganya...kesan pertama seh lucu judulnya, tp ternyata menarik loh isinya...buktinya sayah mpe nge imel nih...hihih
tp sayah juga mau sedikit berbeda opini neh, boleh yah,....hehe
itu ttg postingan si mas obama, heheh
jadi menurut sayah ( sekali lagi menurut sayah loh,,,) memang sih si obama itu wong sono, tapi berhubung dia menjadi orang nomer satu di negara adidaya ( tp sayah sebenarnya keberatan seh kalu kiblat dunia di USA itu, wong ndak pernah netral..) jadi...yah semua musti nunggu arah politik luar negeriya...karena dasar perdamaian dari dunia 50 % ada di negara itu.( ini dikutip dari mas pengamat politik, hehe)
terus.....karena dia pernah stay di jakarta/surabaya..( heran padahal cuman 2 tahun, trus masih keciiiil banget....mana ingat dia yah ma indonesia), nah wong dasare wong kita ajah yang sok2 kenal bangeeeeeeeet...( kalo ini sayah sejalan ma mas ko...hihi..)
hem apa lagi yah....kira2 cukup deh, buat sedikit berbeda dari mas..hehe.
oh iya,,,maap kalo udah merepotkan membacanya...hihih

wasalam,
deansaputra....

P/S :
kalo sempet mampir ke blog sayah...trus kasih saran biar isi blog sayah sama bagusnya dengan punya mas yah...hihih
( pengennya nih sama bagusnya blog sayah dengan punya mas....heheh)

muhammad riza fahlevi mengatakan...

iya mas, saya sedih juga melihat anak bangsa ini masih saja punya mental ngaku-ngaku gitu.

Giliran orang sukses, semua ngaku saudara, tapi giliran orang, miskin dan susah, waduh, jangankan ngaku saudara, kadang saudara sendiri tak diakui.

Lha di Kenya saja, mereka tak seheboh di sini.