Rabu, 14 Januari 2009

Efek Global Warming Hajar Batam

Setelah merendam kawasan wisata Ancol, Jakarta Utara, banjir air laut pasang (rob) kemarin menerjang pesisir Batam, seperti Tanjunguma dan Batubesar. Beberapa kawasan dekat pantai, terendam air laut cukup tinggi.

Tanjunguma dan Batubesar merupakan salah satu kampung tua yang ada di Batam. Mulanya adalah perkampungan nelayan. Mereka bermukim di sekitar tubir pantai. Akibat banjir rob yang sebelumnya disertai hantaman ombak besar ini, membuat beberapa rumah nelayan dan pelantar hancur.

“Sepuluh tahun lagi, barulah terjadi lagi,” kata masyarakat di Tanjunguma. Dari keterangannya saya paham, bahwa 10 tahun lalu, mereka pernah dihantam banjir serupa. Sayapun mafhum.

Tapi jika ditarik dengan pengaruh pemanasan global saat ini, saya yakin ke depan, banjir rob Tanjunguma ini tak akan jadi siklus 10 tahunan, bisa jadi tahunan, bahkan bulanan.

Global warming memang tengah meraja. Efek rumah kaca dan pembakaran minyak fosil besar-besaranlah yang jadi penyebabnya. Hal ini masih lagi ditambah penggundulan hutan secara massiv dan excessive (besar-besaran dan berlebihan).

Analisa dampak ini, saya hubungankan dengan data hasil penelitian para ilmuan di Artik. Ditemukan, lapisan es di sana telah mencair 9 senti perhari! Bahkan Greenland, yang menjadi rumah es terbesar di dunia juga telah kehilangan sebagian wilayahnya, akibat telah mencair.

Semua ini, tentu ikut menyumbang pasangnya air laut di muka bumi. Sehingga jangan heran, di tahun 2018 nanti, sebagian kawasan pantai di dunia akan teremdam air laut hingga mencapai 1 meter, bahkan lebih.







Diperkirakan, New York akan kehilangan sebagian Manhattan-nya. Demikian juga daerah lain, termasuk juga Jakarta, tentu saja.

Hal ini jualah yang disikapi Jepang. Mereka membangun terowongan raksasa bawah tanah yang berfungsi untuk menampung luapan air. Terowongan ini berlapis beton tebal, tingginya mencapai 20 meter dengan pilar-pilar raksasanya. Jadi, saat banjir apapun menerjang Jepang, kota ini akan tetap kering.

Kembali lagi ke pemanasan global, indikasi yang paling awal akibat mencairnya es ini, di temukan pada populasi beruang es yang kian menipis. Di tahun 1985 sempat mencapai 200-an ekor, kini tinggal 95 ekor saja!

Jumlah tersisa ini badannya kurus-kurus, akibat kurang makanan. Mereka tak bisa lagi berburu makanan favoritnya, anjing laut. Ekosistemnya telah hancur.

Kini, beruang-beruang tersebut bertahan hidup, dengan cara berburu, di atas lapisan es yang kian menipis. Jika rapuh, risikonya bisa tenggelam ke laut. Alternatif lain, dengan memasuki perkampungan-perkampungan setempat. Bahkan, kadang harus memangsa anjing penduduk.

Global warming tak hanya menyebabkan mencairnya es di kutub, tapi juga membuat siklus cuaca jadi tak karuan. Angin kencang dan badai tiba-tiba datang, saat panas akan teramat panas, saat dingin akan teramat dinginnya.







Ngeri!

PBB melansir sebuah laporan, sebagaimana dilansir Kompas, manusia sebagai biang utama pemanasan global. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70 persen antara 1970 hingga 2004. Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir.

Rata-rata temperatur global telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara 0,72 derat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Muka air laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961.

Sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celcius). Jika kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celcius, 40 hingga 70 persen spesies mungkin musnah.

Meski negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk, perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada 2020, 75 juta hingga 250 juta penduduk Afrika akan kekurangan sumber air, penduduk kota-kota besar di Asia akan berisiko terlanda banjir dan rob.





Di Eropa, kepuanahan spesies akan ekstensif. sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi.

Kondisi cuaca ektrim akan menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area yang lebih luas. Risiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit meningkat.

Sementara itu, kekeringan akan menurunkan produktivitas lahan dan kualitas air. Kenaikan muka air laut akan memicu banjir lebih luas, mengasinkan air tawar, dan menggerus kawasan pesisir.





please, open mind

2 komentar:

Amzar-Ayah Azi mengatakan...

Sebelum ada global warming, Batam ni memang dah panas euy

muhammad riza fahlevi mengatakan...

Oh Bang Amzar, guru, teladan ambo... tersanjung saya abang sudi mengunjungi blog murid ini.

Kalau lihat foto guru, saya jadi teringat lagu Arafiq, "Lirikan Matamu..."

Terus pantau saya ya bang, tunjuk ajar selalu saya harap.