Rabu, 28 Januari 2009

Stop Bullying!

Ada sebuah teladan yang bisa kita contoh dari pelajar sebuah SMA di Jakarta. Selasa (27/1) lalu, mereka melakukan sebuah gerakan moral bernama “Stop Bullying”. Acarang yang berlangsung di sekolah ini, digelar beragam pamflet dan poster buah tangan mereka, yang ditempel dinding.



Tujuan dari acara ini, tentu sesuai judulnya, “Stop Bullying”, yang berarti hentikan melecehkan, mengolok-olok, menghina, menista, mengintimidasi, dan merendahkan sesama. Mengapa? Karena hal ini jelek, mirip interograsi penjajah Belanda, dan tak sesuai lagi dengan semangat zaman.

Sepintas, saya teringat acara The Oprah Winfrey Show. Dalam sebuah episodenya, menguypas masalah ini. Ternyata, di Amerika sendiri yang negara maju itu, bullying masih terjadi.

Namun, dari beberapa nara sumber yang dihadirkan, umumnya terjadi di masa-masa sekolah dasar dan lanjutan. Biasanya, bullying ala Amerika ini, hanya sebatas pada olok-olok akan perbedaan warna kulit atau hal-hal ganjil lain yang melekat dalam pribadi seseorang.

Bullying paling parah dirasakan di Amerika, juga merembet ke negara-negara lain seperti Australia, pasca peristiwa 911. Umumnya dilakukan oleh kulit putih pada muslim dan etnis Arab dengan sebutan teroris.











Sementara di Indonesia sendiri, bullying mewabah kian eratnya. Bullying di negeri ini, telah menjadi tradisi buruk yang terus dilakukan turun-temurun dari gererasi ke generasi.

Mulai bangku SD hingga perguruan tinggi, praktik penistaan, mengejek hingga berujung kekerasan kerap terjadi. Tentunya kita ingat bagaimana tradisi genk-geng-an di kalangan pelajar, atau tradisi Opspek. Semua adalah praktik bully.

Mereka menghina, mengejek lalu memukul dengan mengatas namanya senioritas. Orientasi di STPDN dan SIP Marunda, merupakan sejarah kelam bullying di negeri ini.

Di kantor-kantor pemerintah dan swasta bullying juga tumbuh subur. Pelakunya sama, senior ke junior. Dengan mengatasnamakan kerja dengan baik, para senior melecehkan, mengolok-olok, menghina, menista, mengintimidasi, dan merendahkan juniornya.

Jadi teringat gaya centeng Belanda saat mengawasi kerja rodi proyek darah Anyer-Panarukan Gubernur Deandles. Atau gaya ala pemberontak Serra Lione saat memerintahkan tawanan menggali berlian berdarah (bloood diamond)

Parahnya lagi, bully di Indonesia terjadi pada saat yang tak beralasan, tak hanya kaum proletar, juga kaum terpelajar pun melakukannya.











Percaya atau tidak, rekanku pernah di-bully di sebuah gala dinner, hanya karena dia berpakaian necis dan rapi?!

Tentu rekan saya ini kebingungan, apakah salah pakai baju rapi untuk menghormati si pengundang? Lagi pula, apa perlunya mem-bully semacam ini? Inilah yang saya sebut bully yang tak beralasan.

Apalagi gara-gara bully tersebut, pandangan orang sekitar langsung tertuju ke arahnya. Sehingga membuatnya agak kurang nyaman.

Dari beragam uraian ini ada satu pertanyaan, untuk apakah bully sebenarnya? Apakah memang bully dapat membina mental agar lebih kuat? Membuat junior lebih hormat? Atau membuat kinerja kantor lebih baik dan ebih termotivasi? Jawabnya, tidak.

Faktanya, orang yang selalu mendapat bully dari lingkungan, membuat semangatnya menurun, mentalnya terganggu dan dilanda kecemasan hebat. Dia merasa terintimidasi, merasa trauma yang tentu saja membuat perannya sebagai mahluk sosial yang homonilupus, tak berjalan baik.

Mungkin karena pengaruh inilah, saat ini dalam metoda pendidikan bully dimasukkan dalam tindakan kekerasan dan tak boleh dilakukan oleh guru pada muridnya, meski beralasan “mendidik” sekalipun.











Dalam psikologi dasar, bully sama halnya memberikan label negatif (saya pernah mengupas hal ini http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/01/merek-negatif.html). Misalnya dengan berkata si bodoh, si jorok dan semacamnya itu.

Jangankan label negatif, memberi label positif pun jika itu terlalu berlebihan, juga akan berdampak buruk. Anak akan dilanda kecemasan luar biasa, karena dirinya ditempatkan pada momen tak riil dari kemampuannya.

Contoh nyatanya seperti ini, kita sering muak melihat pemeran antagonis dalam sinetron. Kadang hal ini terbawa ke alam nyata, padahal kita tahu semua itu hanyalah peran, dan belum tentu si sifat pemeran itu sama dengan apa yang dia lakoni.

Inilah yang disebut rehearsal. Bisa diartikan mendengar kembali, atau pengulangan verbal. Karena itulah, banyak artis yang minta rolling dari antagonis menjadi protagonis, selain untuk menjajal kemampuan akting, juga untuk menghindari label buruk ini.

Bully memang menjadi momok yang harus dihilangkan. Karena kebaikan dan membangun itu tak akan tumbuh dari bully, namun dengan cara mencari potensi yang ada sekecil apapun, dan menghargainya.

Please, open mind…


-----------------------
Prescript:

Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia tergolong terlambat menyadari bahwa tindakan kekerasan atau bullying sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan mendapatkan pembenaran yang tidak rasional.


"Biasanya orang-orang menyadari adanya bentuk kekerasan kalau sudah berdarah-darah. Padahal bentuk kekerasan tidak hanya itu. Ada bentuk kekerasan verbal dan mental yang lebih susah dideteksi."
(Ketua Yayasan Semai Jiwa Amini Diena Haryana)



"Bullying merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan mengintimidasi atau melukai korbannya sehingga merasa tidak berdaya."

"Bullying akan sangat merugikan bagi kemajuan bangsa dan negara. Pertimbangannya, kekerasan semacam itu akan menyebabkan degradasi moral yang membuat bangsa ini menjadi lemah."

"Masyarakat Indonesia yang dulunya dikenal lemah lembut akan berubah menjadi masyarakat yang tidak tahu sopan santun, keras, dan tidak beradab."

"Bullying juga bisa menciptakan pribadi rapuh kepada korban, seperti sulit berkonsentrasi, perasaan rendah diri, tidak berharga, bahkan bunuh diri."
(Psikolog Universitas Indonesia Ratna Juwita)


"Bullying dapat menyebabkan degradasi moral yang membuat bangsa Indonesia menjadi lemah. Kekerasan itu juga dapat meningkatkan kriminalitas di Indonesia."
(Direktur Sekolah Madania Komaruddin Hidayat)

Tidak ada komentar: