Sabtu, 24 Januari 2009

Merek Negatif

Hati-hati memberikan merek negatif pada seseorang, karena itu sama saja Anda telah membunuh separuh hidupnya.

Kita terlahir tentunya ingin menjadi baik. Karena itulah, banyak orang tua memberikan nama-nama yang baik dan indah pada putra putrinya, agar ketika besar kelak dia menjadi apa yang diharapkan dari makna namanya tersebut.

Islam mengajarkan bahwa nama adalah doa. Oleh karena itu, di kampung saya proses pemberian nama ini cukup rumit, biasanya orang tua mengajukan nama yang diusulkan tersebut pada seorang pemuka agama.

Selanjutnya oleh si pemuka agama, nama tersebut akan digodog selama beberapa hari. Di sana ditimbang dulu kata-perkata nama yang diajukan dengan tanggal dan hari baik. Karena nama indah belum tentu baik.

Setelah nama disetujui, masih dilakukan lagi proses selamatan, lengkap dengan ritual nasi putih, kuning, ketan merah dan ketan hitam . Semuanya mendoakan agar yang punya nama nantinya bisa hidup baik, sesuai nama yang disandangnya.

Namun setelah dewasa, nama yang indah itu dirusak oleh merek-merek negatif yang melekat padanya. Merek negatif yang sebenarnya telah membunuh sebagian hidupnya.






Kenapa demikian? Karena saat menambahkan merek negatif pada seseorang, secara tak langsung, Anda telah menanamkan persepsi orang lain terhadap orang tersebut, sesuai merek negatif yang Anda berikan.

Dari persepsi inilah nanti akan menimbulkan kognisi, behavioral yang otomatis akan mengatur jarak-jarak personal dalam sosialisasi yang bersangkutan.

Di kampung saya ada orang sakit jiwa. Sekeras apa usahanya untuk sembuh, tetap saja dia dinilai mayarakat sakit jiwa. Kadang orang pergi menghindar melihat dia bicara sendiri, padahal saat itu dia tengah berlatih mengahafal naskah sebuah drama.

Orang juga berlari ketakutan, ketika melihat dia tertawa sendiri, padahal saat itu dia tengah teringat sebuah film komedi yang baru saja ditontonnya. Apa salah tertawa sendiri? Toh orang normalpun melakukan itu.

Yang lebih parah saat dia bicara. Tak ada orang yang meu mendengar, meski itu benar adanya.

Contoh lain, saat di SMA dulu, ada guru yang digelar tukang intervensi. Apa yang terjadi, apapun usaha si guru selalu dianggap sebagai intervensi. Bahkan saat dia memberikan saran dan ide pun, dianggap sebuah intervensi.

Beda halnya jika kita memberikan merek positif. Maka, hasilnya akan positif juga.








Pakar ilmu komunikasi yang sangat saya kagumi, Jalaluddin Rahmat (kapan ya saya bisa ketemu?), dalam bukunya Psikologi Komunikasi, pernah menulis. Bahwa kesuksesannya saat ini, tak lepas dari persepsi yang ditanamkan orang sekitarnya.

Dia menulis (saya tak dapat mengingat kalimatnya secara persis, namun kira-kira begini), “Saya ini bisa pandai karena banyak orang menganggap saya pandai. Masih kecil orang tua dan tetangga bilang saya pandai, di bangku sekolah hingga kuliah saya juga dicap anak pandai, ya sudah saya jadi pandai beneran.”

Karena cap pandai itulah, dia dapat kepercayaan lingkungan sekitarnya, sehingga aktualisasi dan pengembangan dirinya bisa berjalan dengan baik.

Kebalikannya dengan anak angkat tetangga saya di kampung Kotta, Pulau Bawean. Sejak kecil dia sudah dibilang bodoh, akhirnya tetangga kami juga bilang bodoh. Akhirnya, saat saya pulang ke Bawean, saya lihat anak itu sungguh mengenaskan. Hidupnya terbelakang dari anak-anak sebayanya.

Karena cap bodoh itulah, dia tak dapat kepercayaan lingkungan sekitarnya, sehingga aktualisasi dan pengembangan dirinya tak bisa berjalan dengan baik

Inilah perkasanya persepsi akibat merek negatif tadi. Seorang Newton saja, harus menemukan teori gravitasi dulu hingga dia terlepas dari merek negatifnya, bahwa dia seorang gila.

Please, open mind.

Tidak ada komentar: