Selasa, 06 Januari 2009

Tanjungpinang Adalah Metamorfosa

Berlabuh di Tanjungpinang. Tak terasa, kawasan ini tengah merayakan ulang tahunnya ke 225 sejak berdiri 6 Januari 1784 silam. Bermula dari sebuah tanjung dengan beribu lambaian pohon pinang, daerah ini terus bermetamorfosa.


Membicarakan kota yang terletak di selatan Pulau Bintan ini, bagaikan menenun benang sutra, semakin diurai, semakin tampak keindahan dan coraknya. Beragam literatur mencatat, Tanjungpinang telah dikenal sejak pada abad ke 17. Bahkan ada yang menyebut Tanjungpinang sudah jadi perbincangan sejak abad 16.

Tanjungpinang adalah keindahan alam dan keagungan sang pencipta. Jika orang berkata bahwa Mesir adalah hadiah dari Singai Nil, maka Tanjungpinang adalah anugerah bagi Bintan, Kepulauan Riau, bahkan bagian utara Sumatera dan semenanjung Malaysia, termasuk Singapura.

Karena berawal dari sinilah tatanan dunia baru di sekitar selat Melaka bermula. Sebuah tatanan yang melahirkan sebuah paradoks yang di dalamnya ada pertentangan, persahabatan, konflik dan kerjasama.

Tanjungpinang adalah lambang kasih sayang. Bak seorang ibu yang melindungi anak-anaknya, posisi pulau ini agak masuk ke dalam, sehingga penduduknya terlindung dari pengaruh buruk cuaca dan alur laut.

Tanjugpinang adalah dambaan. Para saudagar dan nelayan saat itu selalu singgah menambatkan sauh di pantainya yang landai. Di sini jua, mereka kerap rehat sembari mengambil air tawar.






Dari sinilah, tanjung ini berkembang menjadi sebuah kawasan pemukiman padat. Sekitar tahun 1784, Tanjungpinang menjelma sebagai pusat perdagangan terpenting di Sumatra bagian Timur sesudah Medan dan Palembang, bahkan hingga ke semenanjung Malaysia, jauh sebelum Singapura dan Malaysia itu sendiri ada.

Tanjungpinang adalah sebuah epos, tentang perjuangan anak manusia membela marwahnya. Ini adalah negeri para pejuang, negeri para pahlawan. Di sinilah Raja Kechik membuat benteng pertahanan dalam perang saudara merebutkan Kerajaan Johor melawan Tengku Sulaiman dan sekutunya.

Kota ini juga menjadi saksi patriotisme Raja Haji yang Dipertuan Muda Riau IV (termasyhur dengan gelar Raja Haji Syahid Fisabilillah/Marham Teluk Ketapang) saat menahan serbuan armada Belanda, antara tahun 1782-1784.

Berbulan-bulan sudah, Belanda mengepung kawasan ini. Hal ini dibalas perlawanan sengit tentara Raja Haji Fisabilillah, hingga pada 6 Januari 1784 kapal induk armada Belanda, Malakka’s Welvaren, berhasil ditenggelamkan di teluk Keriting yang membuat mereka mundur ke Melaka. Aksi patriotisme ini selanjutnya ditetapkan sebagai hari jadi Tanjungpinang.

Setelah perang besar itu, awal 1800-an Kerajaan Riau sempat diguncang pemberontakan Arung Bilawa. Setelah usai, pusat kerajaan Tanjungpinang dipindah dari Kota Piring ke Daik Lingga (Sekarang Kabupaten Lingga). Tak lama, sekitar akhir tahun 1800 pusat kota dipindah lagi ke Pulau Penyengat, sekitar 2 mil laut dari Tanjungpinang. Pulau ini awalnya sebuah benteng pertahanan.






Selanjutnya pulau Penyengat menjadi tempat kediaman resmi para Yang Dipertuan Muda (semacam perdana menteri) Kerajaan Riau Lingga, sementara Sultan (Yang Dipertuan Besar) berkedudukan di Daik-Lingga.

Barangkali, kisah inilah yang menjadi ilham Bung Karno memindahkan Ibukota Negara di Jakarta ke Yogyakarta di masa-masa perang prakemerdekaan dulu. Atau penanda bahwa suatu saat pusat pemerintahan Tanjungpinang akan berpindah-pindah seperti saat ini? Dari semula di Tepi Pantai, akhirnya ke Dompak.

Tanjungpinang adalah romansa kisah cinta abadi. Di tahun 1803, kawasan ini menjadi saksi ketika Sultan Riau, Baginda Raja Sultan Mahmud memberikan Pulau Penyengat beserta isinya sebagai mahar untuk wanita pujaannya, Raja Hamidah atau Engku Puteri, putri Yang Dipertuan Riau terkemuka Raja Haji Fisabilillah atau Mahrum Teluk Ketapang.

Kisah ini mengingatkan kita pada kisah cinta Mughal, Raja Syah Jehan yang membangun Taj Mahal (1631-1653) untuk Mumtaz Mahal, istrinya. Bedanya, Taj mahal diberikan saat sang istri telah tiada.

Tanjungpinang adalah awal. Di sinilah struktur pemerintahan di Riau mula dibina. Bermula dari Kerajaan Riau (1722) yang bersinggasana di istana Kota Piring di Hulu Sungai Riau (sekarang Kelurahan Kota Piring, Kota Tanjungpinang).






Tanjungpinang juga menjadi ibukota Karisidenan Belanda untuk wilayah sebagian Sumatra bagian Tengah dan Sumatera bagian Utara. Dari sinilah juga, ibu kota Provinsi Riau 1958 bermula, sebelum akhirnya dipindah ke Pekanbaru 1960.

Dari sini metamorfosa Tanjungpinang tak berhenti, hingga 18 Oktober 1983, Tanjungpinang menjadi Kota Administratif, berlanjut 21 Juni 2001 berubah menjadi Kota Tanjungpinang.

Tanjungpinang adalah jawaban. Jawaban apakah sebuah negeri yang santun dan luhur mampu dilestarikan. Jawaban apakah sebuah negeri yang toleran dan berbudaya bisa ditegakkan, atau apakah pembauran dan emansipasi wanita mempu memegang peran.

Selamat ulang tahun wahai Tanjungpinang...
Wahai negeri indah nan damai…
Wahai negeri yang bersulam budaya di tiap sendinya…
Tahniah untukmu...





--------------

Preescript:

Saat ini Tanjungpianng dipimpin seorang walikota wanita keturunan Tionghoa, Suryatati A Manan. ketua dprd-nya juga keturunan tionghoa, Bobby Jayanto.
Ini bukti nyata, bahwa di negara ini kaum tionghoa udah berbaur hingga ke ranah politik. oke, sukses ya...

Tidak ada komentar: