Selasa, 20 Januari 2009

Ketika Dangdut Tak Lagi Melayu (1)

Akhir-akhir ini, banyak media massa elektronik dan cetak nasional, mengupas kemunduran musik dang dut. Bahkan, di tahun 2008 konser musik proletar ini kian berkurang ditampilkan baik di masyarakat dan televisi. Masyarakat lebih memilih menonton anak band yang mengusung musik pop easy listening.


Kalau kita perhatikan, era musik pop (baca anak band) kini kian erat mencengkram Indonesia. Tiap hari, ada saja bintang baru muncul dengan beragam lagu dan musiknya.

Baru saja kita dihantui Peterpan, Ungu sudah muncul dengan lagu yang menina bobokkan. Belum puas mendengar Ungu, sudah hadir lagu-lagu dari Radja. Radja masih bertahta, sudah disusul ST 12, begitu terus.



Grup-grup band ini terus meraksasa, dengan segudang fans-nya. Sementara dang dut, yang sudah dua dasawarsa berkuasa, akan dominasi musik pop ini, kini kian terpuruk dan terpinggirkan.

Jika dulu mampu menembus dinding rumah mewah, kini kembali lagi ke kampung-kampung becek. Jika dulu mampu tayang di stasiun televisi bergengsi, kini bergeser ke televisi kalangan menengah bawah.








Mengapa? Saya berpendapat, karena dangdut tak lagi elegan. Dangdut telah kembali ke comberan.

Sedikit mengulas, pada awal-awalnya dulu sekitar tahun 1950-an, dangdut memang sudah dikenal. Namun, derajatnya sangat rendah. Biasanya pementasannya digelar di kampung-kampung becek, menggunakan alat musik seadanya, umumnya akustik dan diterangi obor.

Beda dengan musik pop dan jazz yang saat itu, menjadi musik gedongan dengan alat musik elektrik canggih dan panggung gemerlap.

Tak ayal, musik gendang ini memang kurang diminati bahkan mendapat diskriminasi. Musik ini dianggap kampungan. Kata “dangdut” sendiri sebenarnya adalah sebutan ejekan, karena dari kejauhan irama musik ini selalu terdengar men-dang dut oleh iringan gendang.

Hingga akhirnya dari Jawa Timur, Said Effendi muncul mengamas musik ini jadi lebih elegan. Namun namanya bukan "dangdut" melainkan "irama Melayu". Said tak mau menggunakan nama "dangdut", karena dipandang kampungan.

Dari Saidlah lahirlah lagu-lagu Melayu semacam Bunga Seroja, Syurga di Telapak Kaki Ibu, Sabda Pujangga dan lain-lain, hingga membuat Said menerima berkarung-karung surat dari fans-nya kala itu.










Keberhasilan Said tak lepas dari inovasi yang dilakukannya. Said yang lahir dari penyanyi bergenre pop ballads itu, mengemas irama Melayunya dengan memadukan aransemennya dengan musik latin. Hal ini dapat kita dengar pada lagu-lagu hitnya, di antaranya Purnama Indah, dan Hayalan Suci.

Hasilnya, cukup fantastis dan ternyata banyak menyita perhatian, sehingga Said lebih dikenal sebagai penyanyi Melayu dari pada pop itu sendiri.

Irama Malayu ini kian berkibar dan mendapat tempat di hati masyarakat, seiring politik antibarat Presiden Soekarno, terkait kemerdekaan Malaysia hingga berujung pada mundurnya Indonesia menjadi anggota PBB.

Seiring dengan boomingnya irama Melayu ini, para pencipta pun bermunculan. Salah satunya yang paling dikenal adalah M Mashabi. Lagu-lagunya ketika itu, seperti Cinta Hampa, Kesunyian Jiwa, Untuk Bungamu dan lainnya, mendominasi tangga lagu Melayu ini.

Yang paling fenomenal adalah Husein Bawafy. Salah satu lagu ciptaannya, Bunga Seroja, masih berkibar hingga saat ini. Setelah dipopulerkan Said Effendi, di tahun 90-an saat kebangkitan ke tiga dangdut di Indonesia, lagu ini kembali digubah oleh biduan Iis Dahlia, dan terakhir, tahun 2008, jadi original soundtrack film laris, Laskar Pelangi (dinyanyikan Veris Yamarno berperan sebagai Mahar). Bunga Seroja juga populer di Malaysia, terakhir digubah penyanyi pujaan anak muda, Mawi.








Hingga di akhir 1960-an irama Melayu meredup. Kembali menjadi irama pinggiran. Bosan dan tak ada inovasi menjadi salag satu penyebabnya. Hingga di era 1970-an, saat irama jazz, rock dan pop ala anak-anak muda asal Liverpool Inggris, Beatles, menjamur, irama Melayu coba bangkit lagi.

Namun, kemunculannya terseok-seok. Ida Laila, Ellya Khadam (Boneka India) dan Mus Mulyadi, tak mampu menahan serbuan musik-musik berhaluan Eropa itu.

Hingga kemudian, muncul Rhoma Irama. Setelah sukses memenangi Festival Pop Singer di Singapura tahun 1972, Rhoma pun banting stir ke jalur musik ini. Saat itu, Rhoma belum mempopulerkan musiknya sebagai musik "dangdut", melainkan irama Melayu.

Hal ini tampak dari orkes bentukannya, yang diberi embel-embel "O M" Soneta. "O M" di sini adalah kependekan dari orkes Melayu. Bersama Elvy Sukaesih Rhoma mulai menjajal belantara musik ini. Namun, aransemen musiknya masih tradisional, mengandalkan hentakan ketipung dan suling.

Hingga di akhir tahun 1970-an, Rhoma bersama OM Soneta-nya melakukan revolusi musik dangdut, dengan mengawinkan aransemen musiknya dengan haluan pop rock, khas Deep Purple.









Menurut Rhoma, haluan ini dipilih agar musik dangdut bisa sejajar dengan band-band rock yang saat itu tengah meledak di negeri ini.

Rhoma, yang juga menciptakan sendiri lagu-lagunya itu, mengganti aransemen irama Melayu yang semula berbungkus accordeon, kearah sapuan jazz organ dan gitar listrik. Drum, perkusi, hingga trompet juga ikut main di sini.

Akibat keputusannya yang revolusioner itu, membuat hubungannya dengan Elvy Sykaesih pecah. Namun Rhoma tetap berlalu, sebagai gantinya dia menggaet Rita Sugiarto.

Rhoma memperkenalkan musik barunya ini sebagai “musik dangdut”, bukan “irama Melayu”. Sebutan “dangdut” yang di era Said Effendi sangat dibenci itupun, dikenal hingga saat ini.

Tak ayal, dangdut Soneta berkibar. Album-albumnya yang kala itu bernaung di bawah Yukawi Record, meledak. Nama Rhoma Irama sendiri menanjak, dia dipuja masyarakat. Lagu-lagunya digemari, karena selain enak didengar juga syair-syairnya banyak berhaluan dakwah.








Dari Soneta-lah, lagu-lagu bertema religi muncul, sehingga dangdut akhirnya identik dengan sound of Islam. Ini bagaikan oase bagi masyarakat kala itu, yang memang meski mayoritas Muslim, kurang mendapat ruang untuk mendengar lagu-lagu religi, mengingat mesin politik Orde Baru kala itu dikendalikan orang-orang CSIS, yang nota bene bentukan orang-orang Katolik.

Meski begitu, Rhoma banyak juga menelurkan single tentang kritik sosial, sampai-sampai Orde Baru di awal 1980-an, harus mencekalnya tampil di muka umum bahkan TVRI, televisi satu-satunya saat itu, karena lagu ciptaannya, seperti Pemilu dan terakhir Indonesia, dinilai mengkritik kebijakan Orba saat itu.

Keterlibatan Rhoma dalam politik praktis PPP, juga menjadi alasan Orba perlu menekan Soneta, agar posisi Golkar sebagai kendaraan Soeharto tak goyah. Sekadar diketahui, dulu Orde Baru banyak memakai artis sebagai cara memperluas pengaruhnya. Umumnya mereka banyak bernaung dalam wadah “Artis Safari”.

Tidak ada komentar: