Jumat, 15 Agustus 2008

Kejahatan Aristoteles


”Kejahatan dapat menyatukan manusia”.

Dulu lama sekali saya mencoba merenungkan arti kata Aristoteles ini. Hingga suatu hari, saya menemukan tamsilnya. Meski tak terlalu sempurna, mungkin bisa mendekati saja.

Hal tersebut saya temukan pada masyarakat di sebuah kampung di Batam. Di kampung ini, warganya sangat abai akan lingkungan dan cenderung individualistis. Hingga akhirnya terjadi peristiwa perampokan di sana. Akibatnya, warga yang semula abai mulai waspada, lalu bersatu membuat pertahanan.

Hal senada dikisahkan rekan saya. Saat itu, perusahaan A tempat dia bekerja, membentuk usaha baru, namanya perusahaan B. Di perusahaan B ini, semua fasilitas kantornya serba terbatas, yang mengakibatkan kawan saya dan rekannya malas bekerja.

Hingga akhirnya, semangat mereka terlecut. Mengapa? Ternyata mereka sering menerima perlakuan jahat. Tiap hari, mereka selalu dihina dan direndahkan sebagai orang-orang buangan perusahaan A dan SDM yang rendah.

Kejahatan dan serangan dari luar ini ternyata membuat amarah kinerja anak-anak perusahaan B terlecut. Mereka yang tak mau dibilang pecundang, bekerja keras membuat pembuktian bahwa anggapan itu keliru. Hasilnya, kinerja mereka ini kian baik bahkan kian sukses.

Saya merenung, mungkinkah ini yang dimaksud Aristoteles? Kejahatan menyatukan manusia.

Memang, manusia terlahir dan diprogram untuk survive dari segala serangan dan tantangan lingkungan. Makanya, begitu naluri aslinya diusik dan diserang, resistennya akan timbul.

Hal inilah yang banyak dipakai dalam manajemen modern untuk memacu kinerja karyawannya. Kembangkan manajemen konflik, buatlah karyawan anda merasa diserang, suburkanlah rasa curiga maka rasa saing akan muncul, katakan pada mereka hak-haknya akan direbut musuh sehingga naluri survive-nya akan timbul.

Namun, hati-hati jangan sampai salah menerapkan permainan ini, dengan sering-sering mengatakan kehebatan musuh atau pesaing, ini hanya akan membunuh mental karyawan atau rakyat Anda itu sendiri. Contohnya adalah kisah Julius Caesar.

Ceritanya, sebelum menaklukkan musuhnya, kaisar ini menyusupkan prajuritnya ke daerah lawan. Di sana, sang prajurit selalu menyebarkan berita tentang kehebatan tentara sang Caesar.

Perang psikologi ini membuat lawan menjadi lemah, dan rasa takut pun menyergap, sehingga saat Julius Caesar datang, daerah tersebut sudah kalah sebelum perang. Pantaslah dia selalu berkata, Veni Vidi Vici, gua datang, gua lihat, gua menang. begitu kata orang Jakarte.

Beda dengan yang dilakukan Archilles saat akan menyerang Troya. kepada prajuritnya dia berkata, ”Hei, lihatlah negeri yang indah itu mereka curi dari kita, maka itu rebutlah, karena itu adalah hak kalian!”

Kalimat Aristotels ini juga ada kaitan dengan ungkapan, ”Amarah lebih baik dari putus asa.” Teori psikologi dasar ini juga sering diterapkan dalam keseharian, baik di dunia kerja maupun kemiliteran.

Kawan saya yang wartawan sering bercerita, dulu ada sumbernya yang kalau ingin beritanya naik, selalu bilang begini, ”Berani tidak naikkan berita saya?”

Kalimat ”berani” ini, ternyata sangat ampuh, sehingga si wartawan merasa tersindir kelelakiannya, dan takut dibilang penakut, sehingga sedaya upaya menaikkan berita tersebut. Karena jika tidak, dia akan malu dibilang sumbernya penakut.

Sedangkan dalam kemiliteran, sering terlihat bagaimana komandan latih membangkitkan semangat prajuritnya yang sudah putus asa atau lemah mental, dengan membangkitkan amarah mereka, bahkan menghinanya dengan sebutan ”Ladys”. Lelaki mana sih yang nggak marah dipanggil ibu-ibu? Apalagi itu tentara.

Amarah (bisa juga disebut kebencian) yang besar ini, bahkan bisa mencuci otak manusia sehingga mereka bisa diperintah melakukan apa saja.

---------
Foto: Aristoteles

Tidak ada komentar: