Senin, 11 Agustus 2008

Wel (1)

Sungguh terenyuh kala hari Minggu saya membaca cerpen di harian Batam, karya Immanuel Sebayang, atau akrab disapa Wel itu. Sebuah potret perjuangan, kerja, dan motivasi seorang fotografer media lokal yang luar biasa.

Sebuah kisah orang yang tak berdaya, berusaha mempertahankan haknya di tengah sergapan tekanan kompetisi dan kapitalisme. Bekerja terus bekerja bak robot bernyawa. Meski harus mengorbankan keharmonisan keluarga.

Ini dia cerpennya: Judulnyapun unik: Angin Duduk


Tiga hari sudah rasa ini tak mau pergi. Rasa mual, sedah dan kembung merasuk di lambung usus dua belas jari. Kadang-kadang rasa itu silih berganti menyentuh ulu hati, mencengkeram perut menimbulkan suara gaduh menjadi aduh teramat panjang. Sakit teramat sangat, memaksa aku harus terkapar di tempat tidur. Melewati hari libur yang seharusnya waktu kencan untuk istriku.

Di balik selimut tipis, ekor mataku menatap istriku yang sedari tadi asyik memeras sekepal kain kompresan di baskom kecil. ”Sudahlah, suara gemericik air itu membuat aku ingin ke belakang,” ujarku lirih bercampur cemas.

Bukannya berhenti, istriku malah bersemangat mengucek-ngucek kain bercampur minyak telon. Raut mukanya terlihat iba bercampur marah. Dalam hitungan detik, akhirnya kecemasan ku pun terbukti.

“Berapa kali adik harus bilang, abang jangan telat makan. Jangan sampai tidak makan. jangan lupa bawa jas hujan, dan berhentilah begadang. Kalau sudah begini, adik juga yang pusing,” gerutu istriku menyebutkan beragam kalimat ”jangan” lainnya.

Aku hanya bisa diam. Lemah tak bertenaga. Hanya bisa pasrah, ketika istriku memaksa membalikkan punggungku. Dengan sebiji logam ”cepek” di tangan, istriku menggerus jalur yang sama seperti malam sebelumnya. Jalur merah putih kataku. Merah di kiri dan merah di kanan. Di selingi warna putih pucat kulitku.

Suara mengaduh tak terucap lagi, yang terdengar cuma suara kerookkk-kerokkk, mengganas di punggungku. ”Sudah, sudah, sakit ma!,” jeritku tak tahan lagi. Aku tak ingat, butuh berapa lama Istriku membuat jalur merah putih. Yang pasti tak selama waktu yang ditempuh Almarhum Sophian Sophiaan dalam menunjukkan nasionalismenya.

Hmmm, setengah bergumam bercampur keringat dingin aku mencoba mengingat-ingat lagi kalimat istriku. ”Jangan telat makan”.

Sebenarnya, siapa sih yang tahan lapar? Soal makan sih gampang. Pencernaanku cukup kompromi untuk semua jenis makanan, kecuali seafood. Selain alergi kulit, aku khawatir jenis makanan ini dapat menyebabkan kecanduan. Kalau sudah kecanduan, aku tak yakin gajiku sebagai wartawan foto sanggup membelinya. Apalagi seafood punya jenis yang cukup banyak. Dari kepiting, cumi, udang sampai gonggong.

Tapi yang paling sering membuat aku telat makan cuma satu. SMS Kecemasan. Pesat singkat lewat HP yang sering membuat aku cemas. Bunyinya seperti ini, ”Bang, ada liputan ini, di sini, jam segini, dengan ini, jangan sampai telat ya! Belum lagi SMS peristiwa yang isinya sangat mendebarkan....Ada kebakaran, ada mayat ditemukan, razia polisi nih.”

Tidak ada komentar: