Kamis, 28 Agustus 2008

Lamunan Feri

Minggu lalu saya pergi ke Karimun. Untuk menuju ke sana, saya naik dari pelabuhan Sekupang. Jarak tempuhnya satu jam.

Satu jam lamanya di feri, membuat jenuh saya hinggap. Aksi gulat professional dari dua televisi 20 inc yang dipasang di sisi palka dekat tempat duduk paling depan, tak lagi menghiburku.

Sementara saat melihat ke samping, hanya ada cuaca hujan berkabut dan deru gelombang.

Sesekali saya melihat beberapa kapal melintas. Ada tongkang penuh muatan pasir melenggang ditarik tugboat.

Lho, katanya pasir sudah dilarang dikeruk. Kok? Ah peduli setan, emang aku siapa?

Ada juga kapal kontainer, beberapa kapal nelayan dan tentu saja, lalu-lalang feri.

Saat jenuh itulah, saya larut dalam lamunan. Melamunkan kisah Raja Ali Haji, panglima Kerajaan Melayu Riau Lingga, di buku yang baru saya baca.

Seorang panglima (mungkin juga laksamana?) yang brilian. Ahli strategi. Dari tangannyalah ibukota Riau Lingga dipindah dari Daik ke Penyengat.

Seorang Panglima yang saat dilantik berani mengucam sumpah ke pada Raja,

”Jika ada hal yang melintang mau Tuan tegakkan, maka akan Beta tegakkan!”

‘’Jika ada hal yang tegak mau Tuan lintangkan, maka akan Beta lintangkan!”

Mirip kisah Mahapatih Gajah Mada kala mengucap sumpah Amukti Palapa.

Lalu apa hubungannya dengan lamunan di feri?

Raja Ali Haji memiliki kapal perang bernama Bulang Linggi. Konon jika melihat kapal ini, para lanun akan bergegas sembunyi ke sarangnya.

Bulang Linggi juga telah mengarungi lautan higga ke kota dagang Fi Amanillah, yang kini disebut Filipina. Bahkan, Bulang Linggi sudah menjelajah hingga ke kerajaan Bugis bahkan Melaka.

Ini dia kaitan dengan lamunan saya itu.

Saya membayangkan, saat ini hanya satu jam saja saya melaut, sudah bosannya minta ampun. Bagaimana lagi dengan orang-orang di zaman Raja Ali Haji ini. Tentu akan lebih lama lagi daya tempuhnya. Belum lagi saat itu teknologi VCD belumlah ada.

Saya membayangkan, ikut Bulang Linggi dari Lingga yang berbatasan dengan Jambi itu, ke Penyengat! Wah berapa bulan tuh lamanya.

Saya juga membayangkan, penjelajahan Bulang Linggi hilir mudik menyatukan Kepulauan Riau ini. Namun tak terbayang juga. Yang ada hanya kekaguman semata.

Saat itu pula saya teringat kalimat Hassan Junus pada sebuah pertemuan di Sari Jaya Hotel, Batam tahun 2002 lalu.

‘’Saya lebih percaya kesusasteraan daripada buku sejarah. Sebab, sejarah sering direkayasa, sedangkan kesusasteraan adalah ungkapan jujur seseorang.” Begitu katanya.

Mungkin ibaratnya, kesusasteraan di masa lalu bak para penulis blog saat ini ya...?

Tidak ada komentar: