Kamis, 28 Agustus 2008

Kenangan Ramadan (3)

Bagi sahabat dekat, biasanya jenis makanan yang dibawa agak istimewa semisal permen, atau kembeng api. Namun, kumbeng tetap disertakan di sana. Meski sebenarnya anak-anak tak pernah mau memakan kumbeng ini.

Momen ini juga menjadi lahan bisnis bagi ibu-ibu. Biasanya mereka menjual kumbeng dan aneka makanan dari tepung. Paling umum berbentuk orang-orangan. Mirip sebuah karakter di film Shrek.

Hiruk-pikuk permainan anak-anak ini akan usai, seiring adzan isya berkumandang. Kamipun bergegas tarawih di surau tua dari kayu di kampung kami. Selama Ramadan, surau ini memang tak pernah sepi. Selain jadi tempat ibadah, juga jadi tempat anak tidur.

Yang seru saat Tarawih, khususnya kala 10 malam pertama. Namanya juga anak-anak, jangan harap khusyu, karena selalu saja dilalui dengan bergurau.

Tarawih di kampung kami menganut 23 rakaat. Biasanya pembacaan ayat-ayat sucinya dilakukan secara cepat. Imam yang kondang paling cepat dalam membaca ayat ayat suci saat tarawih adalah Wak Ali.

Wak Ali sebenarnya orang Bengko Sobung, rumahnya ada di perbatasan kampung kami. Selain itu Wak Ali aktif sebagai guru ngaji dan tukang azan di masjid Jami, Sangkapura.

Karena reputasinya itulah, selama Ramadan, Wak Ali didaulat menjadi imam tetap tarawih di kampung kami. Sedangkan Ma-Ma, hanya menjadi imam saat salat Isya dan Subuh saja.

Kadang kami sering membuat Wak Ali keliru dalam membaca ayat-ayat suci yang super cepat itu. Hal ini membuat Ma-Ma, marah-marah melihat kelakuan kami. Dimarahi begitu bukannya takut, malah cengengesan.

Saat itulah Ma-Ma mengeluarkan jurus jitu untuk mendiamkan kami, ‘’Awas, nanti saya bilangin ke Bapaknya!” waduh, kalau sudah begini mantranya, kami langsung diam.

Usai tarawih, saya biasa melanjutkan dengan tadarus. Ikut membaca Alquran. Kali ini kawan saya bukanlah anak sebaya, namun orang dewasa. Biasanya, orang kampung menyediakan teh dan kopi hangat, serta aneka jajanan pasar untuk orang-orang yang tadaruz ini.

Setelah tadarus usai, saya baru pulang ke rumah bersiap tidur. Jarak langgar ke rumah saya sekitar 200-an meter. Namanya juga kampong kecil, apalagi di zaman itu, listrik masih jarang. Banyak tempat masih gelap.

Namun anehnya, rasa takut saya hilang saat lewat di tempat gelap yang biasanya saya hindari itu. Ini karena saya sering dengar pak ustad bilang, bahwa di bulan Ramadan semua setan dibelenggu.

Sebenarnya, tak pulang pun tak apa, asal bilang pada orang tua. Sebab, di bulan Ramadan ini, para orang tua membebaskan anaknya untuk tak tidur di rumah. Karena mereka tahu, anaknya kalau tak tidur di surau atau langgar, pasti di rumah kawan untuk ikut ‘’a tung-tung”, sebelum sahun menjelang

‘’A tung-tung?” Ya. Atung-tung ini semacam ronda malam membangunkan orang untuk sahur. Tradisi ini tak hanya anak-anak saja yang ikut, tapi juga orang dewasa.
Biasanya dengan berombongan berisi 5-10 orang, mereka membawakan pantun melayu jalan keliling dari kampung ke kampung. Kadang juga diselingi lagu dangdut yang lagi tren saat itu.

Tidak ada komentar: