Sabtu, 16 Agustus 2008

Mikul Dhuwur, Mendem Jhero

”Orang Indonesia ini cenderung kejam memperlakukan mantan pemimpinnya. Lihat saja, pemimpin yang baru cenderung suka menjelek-jelekkan pemimpin lama. Pokoknya yang lama itu salah, yang baru benar,” demikian sebuah pendapat seorang rekan yang lama ada di Amerika.

Beberapa waktu lalu, hal senada juga saya dengar dari mantan Presiden Megawati. Menurutnya, warga Amerika sangat menghargai para pemimpinnya (Presiden). Karena mereka adalah pride (kebanggan) bangsa.

Coba renungkan, tampaknya ada benarnya. Lihat saja, dalam konteks kepemimpinan nasional, lihatlah bagaimana rezim Soeharto memperlakukan rezim Soekarno. Sampai-sampai kita dicap sebagai bangsa yang sangat buruk memperlakukan mantan presidennya.

Contoh dari atas ini juga bergulir ke bawah, baik itu di instansi pemerintah hingga swasta. Tak jarang pimpinan baru, menjelek-jelekkan pimpinan yang lama. Jika ada masalah, selalu saja menimpakan kesalahan pada pendahulunya. Begitu terus, entah sampai kapan berhenti.

Menyikapi soal kepemimpinan ini, ada baiknya kita merenungkan sebuah kearifan Jawa, ”mikul dhuwur mendem jero”. Arti ringkasnya, menjunjung tinggi nama baik dan menyembunyikan aib sebisa mungkin.

”Mikul dhuwur” juga mengandung makna hendaknya setiap anggota keluarga- suku, bangsa, atau jenis kumpulan manusia lainnya- menjunjung tinggi–setinggi-tinggnya nama baik kelompok di muka umum. Hal ini bisa diartikan dengan mengekspos dan menghormati keunggulan-keunggulan kelompok di depan khalayak ramai.

Sedangkan “mendem jero” bermakna sebagai usaha untuk menjaga nama baik keluarga, orang tua, masyarakat, atau jenis kelompok manusia lainnya.

Fasafah ini, tentu bukan bermakna agar kita memuji-muji pimpinan dan menutupi kejahatannya. Bukan, bukan seperti itu. Falsafah ini mengajarkan agar kita bisa menghargai jasa pemimpin terdahulu. Karena, tak semua yang dilakukannya itu buruk.

Karena tiap pemimpin, selalu meninggalkan legacy atau warisan. Dan ingat, tiap pemimpin tentu jua memiliki orang yang sangat loyal. Mereka, tentu tak akan tersakiti bila pimpinan yang dicintainya, diperlakukan dengan buruk. Tentu saja, bila tak diperhatikan, akan membikin suasana tak kondusif. Bukankah tugas seorang pemimpin mengayomi seluruh anggotanya?

Belajarlah dari pemimpin terdahulu, ambil yang baik buang yang buruk. Namun bukan berarti, pendamlah yang baik lalu jelek-jelekkanlah keburukannya. Ini akan salah kaprah.

Sebuah contoh. Seorang rekan saya yang bekerja di Kawasan Industri Batamindo Mukakuning, pernah bercerita. Dulu dia pernah punya seorang supervisor. Sang supervisor ini, gemar sekali menjelek-jelekkan supervisor di divisi lain. Ada saja sebutannya. ”Lihatlah divisi itu, suasana kerjanya tak kondusif. Operatornya bekerja dengan tegang,” ujarnya.

Hingga suatu ketika dia dipindah ke divisi yang sering dijelek-jelekkannya itu. Apa yang terjadi? Suasana kerja malah makin buruk. Operator bekerja dalam ketakutan, karena berada di bawah tekanan.

Yang paling heboh, di bawah kepemimpinannya, banyak operator yang dipecat tanpa alasan yang jelas. Sebuah prestasi burukyang belum pernah terjadi di masa kepemimpinan terdahulu.

Kenapa saya sebut prestasi buruk? Kecakapan seorang pemimpin itu diukur bukan dari berapa banyak dia memecat anak buahnya, tapi berapa banyak dia menghebatkan anak buahnya.

Memecat bukanlah hal yang baik. Apalagi dilakukan tanpa alasan yang jelas. Tindakan ini sama saja dengan tindakan Firuan yang tanpa sebab membunuh rakyatnya.

Di sisi lain, memecat orang berarti membuang anggaran (aset) kantor percuma. Berapa banyak sudah uang perusahaan yang telah dibayarkan, berakhir percuma saja. Belum lagi, anggaran untuk merekrut pegawai baru.

Anehnya noda hitam di masa kepemimpinannya hal ini tak dia sadari, karena dalam beberapa kesempatan dia sibuk menjelek-jelekkan para pemimpin terdahulu divisi tersebut. Dan sebaliknya, memuji-muji kepemimpinannya sendiri.

Memang benar, banyak prestasi yang berhasil diraih sejak dia memimpinj divisi tersebut, namun sayang, semua itu tertutup oleh ulahnya sendiri yang doyan menjelek-jelekkan pemimpin terdahulu. Sehingga setiap dia berbuat seperti itu, maka operator yang dipimpinnya refleks bergumam, “Ah, macam lu udah sempurna aja.”

Inilah sebuah contoh, betapa pentingnya sebuah sikap ”mikul dhuwur mendem jero”.

Mantan pemimpin memang bukanlah orang sempurna, namun bukan berarti mereka nista. Karena bisa jadi di masa kepemimpinannya, kita bisa memetik pelajaran yang berguna.

Dengan mempelajari kesalahan orang lain, maka kita akan dapat terhindar dari kesalahan serupa.

Bukankah begitu?

Tidak ada komentar: