Kamis, 21 Agustus 2008

Masalah dan kebenaran (1)

Serombongan anak SMP Hang Tuah datang bertandang. Di ruang rapat kami terlibat diskusi hangat. Dari sebuah diskusi ini, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik.

Kala itu, seorang anak SMP kelas II mengacung lalu bertanya, ”Apa Kakak tak takut jika suatu saat masalah muncul?”

Kontan saat itu semua terdiam, termasuk para wali murid. Sayapun agak sedikit mengernyitkan dahi, mencai jawaban yang pas.

”Bagi kami yang penting bukan munculnya masalah, tapi bagaimana cara mengatasinya. Karena hidup tak bisa lepas dari masalah itu sendiri. Bahkan matipun, kita masih harus menghadapi masalah lain,” jawabku. Syukurlah mereka mengangguk.

Mengatasi masalah selalu identik dengan mencari kebenaran. Sebuah buku dasar-dasar ilmu filsafat sempat mengajarkan, ada empat cara yang bisa dilakukan dalam mencari kebenaran itu sendiri.

Pertama dengan kebiasaan, pengalaman, ilmu pengetahuan, filsafat dan agama. Jenjang pelaksananya pun bertingkat, mulai dari bisa, terbiasa, pengalaman dan ahli.

Uraiannya seperti ini, kadang sering kita saksikan saat manusia bermasalah selalu berlari pada kebiasaan. ”Ah coba saja jalan seperti ini, biasanya selesai kok,” begitu kira-kira saran yang biasa kita terima.

Jika hal yang ”biasanya” ini tak berhasil, mulailah mencari orang yang berpengalaman artinya sudah sangat terbiasa dan berulang-ualang menghadapi masalah semacam ini. Jadi lebih tinggi lagi.

Semua percobaan dan pencarian ini, akan dirangkum dalam sebuah tata cara yang disebut sebuah ilmu pengetahuan.

Jika masalah terus juga muncul, berakar urat, dan laten, manusia cenderung memecahkannya melalui jalan filsafat. Dalam Wikipedia disebut, kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia.

Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb) dan (sophia = kebijaksanaan). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang ”pencinta kebijaksanaan”.

Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut ”filsuf”.

Tidak ada komentar: