Jumat, 19 September 2008

Celoteh Ramadan (20)

Kepiawaian Tuk Mamat dalam membaca ayat-ayat Alquran dengan cepat saat menjadi imam tarawih, sudah tersohor hingga ke kampung jiran. Tak ayal, 23 rakaat itu hanya berlangsung singkat saja. Sekitar 45 detik perrakaat.

Inilah yang membuat warga hingga kampung jiran, sangat menghormati dan mangagumi Tuk Mamat. Reputasinya sebagai imam di musala itu tak juga tergantikan.

Tak heran, saat Tuk Mamat mau melakukan regenerasi ke Rahman, anaknya, banyak warga yang menolak. Bukan karena alasan KKN, namun karena alasan Rahman tak secepat ayahnya saat menjadi imam tarawih.

Tuk Mamat kini sudah menjadi aset berharga bagi warga. Di kepala mereka kini sudah terpatri, “Ingat tarawih, ingat Tuk Mamat!” Apalagi selama bertahun-tahun Tuk Mamat memimpin salat tarawih, tak sekalipun dia lupa bacaan atau rakaat.

Namun tak ada gading yang tak retak. Reputasi Tuk Mamat yang tak pernah lupa itu tercoreng pada peristiwa Minggu kelabu. Saat itu, Tuk Mamat telah bersiap melaksanakan tarawih rakaat terakhir.

Saat bersamaan, di samping musala ada rumah Cik Pipa yang kala itu anaknya yang masih kecil bernama Hindun, asyik bermain kembang api. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba kembang api tersebut menyambar tangan Hindun, hingga histeris kesakitan, Wrraa wa wa…..

Jeritannya ini kontan mengagetkan jamaah tarawih. Semula mereka mau keluar menolong, namun tak bisa karena sedang tarawih. Tak ayal, jamaah tak lagi konsentrasi, badan memang masih di musala, tapi hati sudah melayang keluar.

”Ape cerite, ape cerite?” bisik hati Cik Madi, wartawan harian Koran Pak Kumis (KPK), mulai resah. Dia dihadapkan pada dilema, meliput ke luar atau terus tarawih.

Kekacauan konsentrasi ini juga merasuk di sanubari jamaah wanita di belakang. “Alamaaakkk… Ape die,” jerit hati Cik Minah. Meski berada di shaf paling tengah, namun ekor matanya tak lagi fokus ke tempat sujud, dia lirak-lirik liar ke luar seakan mau menjangkau jendela.

“Oooo, kasihan sangat budak tu. Tak ade pun yang nak nolong. Sudelah, salah emaknye, dah tahu budak-budak masih saje dibiar main kembang api sendirian,” uraian panjang kali ini keluar dari hati Cik Timah. Maklum, dia bisa melihat dengan leluasa ke arah tempat kejadian perkara, karena posisinya memang berada di samping jendela.

Paling parah tentunya dirasakan Tuk Mamat. Jeritan Hindun ini membuat konsentrasinya ketika dia membaca surat An-Naas dengan cepat, buyar.
“Alamaaaakkk… Budak siape tu mekik-mekik?” bisiknya.

Akibat tak lagi konsentrasi, maka setelah menginjak bacaan ayat ke lima surat tersebut, tak bisa dia selesaikan dengan baik. Tuk Mamat lupa. Mestinya, Alladi yuwaswisufi sudurinnas, macet di tengah-tengah menjadi.

”Alladi yuwas… wasss… wasss…”

Dia ulang lagi, “Alladi yuwas… wasss… wasss...”

Begitu terus. Empat kali, Tuk Mamat mengulang, hasilnya selalu sama, hingga membuat jamaah yang tadi perhatiannya tersedot pada jeritan Hindun, kini diguncang tawa. “Kik kik… bzzzz… bzzzz… Begitu bunyinya. Maklum, ketawanya ditahan.

Sadar usahanya gagal, Tuk Mamat lalu memutuskan mengganti dengan surat lain, Al Ikhlas. Dan kali ini berhasil. Tarawih pun bisa diselesaikan dengan baik.

Setelah berucap salam Tuk Mamat langsung berteriak pada para jamaah, ”Masyaallah…. Budak siape tuh, tak dijage?!”

”Hindon anak Cik Pipa, Tuk,” balas mereka sembari menghambur ke jendela melihat ke arah TKP. Rupanya Hindun sudah dibawa ke dalam rumah oleh Cik Pipa.

”Punye budak kecik tu, kena dijage, jangan dibiar saje main sendirian. Sampai salah bacaan tarawih saye,” lanjut Tuk Mamat.

Keesokan harinya, insiden jeritan Hindun ini ramai dibicarakan warga. “Tuk Mamat sampai salah baca An Naas, he he he.”

Tidak ada komentar: