Kamis, 25 September 2008

Ibuku

Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa...

Lagu, ketika saya SD ini kembali terngiang di telinga. Lama sekali, hingga mengurai kembali kenangan silam, menggedor pintu hati, menggali nurani, akan kasih seorang ibu.

Ah, siapa sih yang tak punya masa indah memiliki seorang ibu? Temasuk saya, tentunya.

Saya adalah anak bungsu, dari 11 bersaudara. Ya, saya memang terlahir dari keluarga yang cukup besar. Dari 11 orang ini, dua saudara saya perempuan. Namun, saat ini yang bertahan hanya 9 orang saja. Dua saudara saya, meninggal saat masih kanak-kanak.

Kasih ibu? Ah, tentunya saya tak bisa lagi mengurai bagaimana perjuangan dan pengorbanannya saat melahirkan hingga membesarkan saya.

Ibuku, terbaring lemah selama mengandung ku. Fisiknya lemah, mungkin karena rentang waktu melahirkan yang terlalu dekat. Jarak semua saudara kami hanya selidih 2 tahun. Ini artinya, setelah dia melahirkan, langsung mengandung lagi.

Maklumlah, zaman dahulu belumlah ada program keluarga berencana. Apalagi, mungkin, orang tua kami termasuk yang menganut pepatah, banyak anak banyak rezeki.

Ibuku, berjuang saat hendak melahirkan saya. Setelah saya lahir, di saat wajah masih berurai air mata, di saat masih bersimbah darah, ibuku mendekap ku. Dengan lembut, dia mulai menghitung jari-jemariku. 1, 2, 3, 4, 5. Dia tersenyum, begitu melihat anggota tubuh saya lengkap. Air matanya kembali berlinang, kali ini tetesan bahagia.

Ibuku sangat sabar, membesarkan ku. Air susunya mengalir ke segenap darahku, dari sana saya mendapatkan nutrisi guna menyambungkan 3 miliar sel otakku, hingga sempurna.

Setelah saya mulai bisa makan, ibu-ku dengan ikhlas menyuapkan makanan ke mulut ku.

Sesekali saya muntahkan, namun lagi-lagi dengan sabar, dia bersihkan mulut saya, lalu dia ambil makanan yang bersih dan disuapkan kembali.

Saat makanan itu berhasil saya habiskan, ibuku bersorak lalu mencium kedua pipiku, sembari membisikkan kalimat puji dan doa. ”Anak ibu pandai ya...”

Ibuku sangat penyayang. Dialah yang memandikan ku saat pagi dan sore hari. Dengan ihlas dia memasak air dulu, agar saya bisa mandi air hangat, sehingga tak masuk angin.

Saat mandipun, saya banyak berontak, namun dengan sabar ibu terus membasuk tubuhku, membersihkan daki di badanku, sembari terus membisikkan kalimat bujukan. ”Nak... mandilah, supaya badannya harum. Sini ibu bersihkan telingamu...” ”Nak, jangan nakal terus, nanti mandinya tak bersih...”

Ketika selesai mandi, dia mengangkatku denagn kedua tangannya, ”Ya... anak pinter...” Lalu mencium ke dua pipiku, dan meniup kedua telingaku. Selanjutnya, dia membalutkan handuk di tubuhku.

Ibuku, terus dengan sabar meriasku, mebubuhkan bedak ke seluruh badanku, menyisir rambutku lalu memakaikan baju bersih.

Saat saya mulai bisa merangkak, ibuku setia mengawalku ke mana saja. Saya saya menangis, ketika kepala terantuk banda keras, ibuku langsung berlari... ”Ayang nak... ayang....”

”Jangan nagis jangan nagis, anak ibu pinter.... cup cup cup....”
”Siapa yang nakal nak?”

Lalu dia mengecup keningku, menyeka air mataku, menggendongku sembari mengucap kan kalimat pengalih rasa sakit. Saat saya tersenyum, ibuku juga ikut tersenyum. Dia pun menimangku dengan riang.

Ibuku, dengan sabar menjagaku kala tidur. Wajahnya agak pucat, kurang tidur, karena tiap malam terbangun saat aku menangis. Kadang dia dengan sigap, mengganti popokku ketika saya ngompol.

Hingga ketika saya bisa berdiri, berlari dan mulai menginjak sekolah dasar, perhatian ibuku tak terputus. Kadang, sehabis datang berdagang di pasar, ibuku masih sempat mencariku yang saat itu bermain di lapangan.

Dia memanggil, ”Nak.... nak.... kemarilah... Ini ibu...” teriaknya.
Sayapun setengah mendumel, menghampirinya. ”Ada apa sih Bu...”

Dia hanya terseyum, lalu telapak tangannya meraba keningku, ”Jangan lupa makan ya... Eh, ibu belikan oleh-oleh dari pasar, makanlah nanti,” jawabnya.

Saat saya sakit, ibuku bagai perawat yang ulung. Dengan setia dia membikinkan saya air jeruk hangat, dan segala macam obat herbal lain. Kadang, saya lihat dia tertidur di samping ku.

Namun, masa indah ini sirna, Ibuku, pergi untuk selamanya ketika saya remaja. Kelas 3 SMA. Saya masih ingat, saat dia sekarat, masih memikirkan saya. Lirih, setengah berbisik, dia berkata pada kakakku, ”Jangan marahi adikmu ya....”
Tak lama setelah itu, matanya makin redup. Ibuku, meninggal....

Meninggalkan ku untuk selamanya....
Meninggalkan budi jasa yang belum terbalaskan...
Meninggalkan cinta kasih, suci mulia....
Ibu, kehilangan terasa kini dan kesepian.
Aku bagai gerhana, ibarat lautan kering....
Ibuku sayang, luahan rasa hati.

Di pusaranya saya tak bisa membendung air mata ini. Saya ingat, dua saat ziarah kubur bersama, ibuku pernah berpesan, agar setelah dia meninggal kuburannya jangan sampai tak dirawat.

”Ibu sedih melihat kuburan mereka,” ujarnya sembari menangis lirih, lalu menunjuk pada kuburan yang tak terawat.

Ibu, kurenungi kalimatmu itu, kini.

Ya Allah, bahagiakanlah ibu, jangan biarkan ujung api-mu menyentuhnya. Jika memang tubuh ku bisa meringankan dosa-dosanya, ambillah, ambillah, tapi jangan Engkau lukai ibu ku....

Namun apalah arti tubuh ini, bagi Allah-ku. Untuk itu, aku harus memperbanyak amalan, sehingga nanti kalimat itu bisa saya sampaikan pada Allah-ku.

Ibu damailah di sana, aku akan berusaha menjadi anak yang engkau harapkan dulu.

-----------------------
Banyak sudah saya menulis. namun untuk menyelesaikan tulisan ini, sangat berat. Dadaku sesak, airmata seakan tak henti lagi. Tak sadar, saya biarkan saja ke mana jari-jemari ini membawa...

Tidak ada komentar: