Kamis, 25 September 2008

Ajahku (2)

Bahkan, di era tahun 60-an di mana krisis moneter terhebat melanda negeri ini -kala itu nilai mata uang anjlok sehingga pemerintah menerapkan gunting uang yang mengakibatkan uang kertas langka- lagi-lagi ayah diminta oleh karusidenan kawedanan Sangkapura, untuk mendisain uang kertas.

Hasil karyanya ini masih disimpan dalam buku tulis yang berfungsi sebagai jurnal/arsip harian. ”Ini nak, lihatlah desain uang kertas ayah saat itu,” ujarnya kala itu. Dari bakat seninya ini, ayahku sudah mampu membiayai masa mudanya dengan cukup layak.

Keahlian rancang bangunnya juga diterapkan ketika membangun rumah permanen kami di tahun 70-an. Sebenarnya, kami sudah punya rumah, namun masih berbahan kayu dan bambu.

Ketika ekonomi keluarga keluarga kami membaik, ayah memutuskan membangun rumah permanen berbahan batu bata seluas 300 meter persegi. Saat itu, di Bawean masih jarang rumah berbahan batu bata. Yang ada hanya berbahan bambu dan kayu.

Berkat keahliannya, ayah langsung terjun menjadi mandor. Dialah yang mengatur seberapa campuran semen, beton, ukuran kusen dan lainnya. “Tukangnya enak, hanya tinggal kerja aja,” jelasnya.

Untuk manajemen dan pembukuan Ayah terapkan saat menjadi pedagang, juga saat ketika ditunjuk mengelola koperasi. Di sana dia membentuk neraca dan pembukuan moderen, yang kala itu masih jarang dilakukan warga kampung kami.

Ayahku juga orang yang tertib, bersih dan rapi. Kapan dan di manapun, rambutnya selalu tersisir rapi serta mengkilap oleh krim rambut Tancho atau minyak Rivon warna hijau. Pakaiannya juga selalu licin disetrika.

Ayahku juga orang yang terorganisir dan terencana. Dia masih dengan rapi mengarsip buku kerja hingga surat dari anak-anaknya. Bahkan ayah menulis semua peristiwa kelahiran anak-anaknya.

Selain itu, saat akan berangkat ke pasar, ayahku selalu membuat daftar apa-apa saja yang akan dibawa, mulai pulpen hingga dokumen penting.

Yang paling menonjol, rumah kamipun selalu bebas kotor. Ayahku tak suka kotor. Soal ini, dia akan sangat marah besar. Dari sini ayah juga selalu mengajar menjaga kebersihan, bukan dengan omongan, namun dengan aksi. Tiap sore ayahlah yang menyapu rumah bahkan halaman kami yang luas itu.

Ayah tak kenal apa itu gengsi. Kehidupan Yatim di masa kanak-kanannya, telah mengajarkan apa itu kerja keras dan mandiri. Hingga kini, ajarannya soal ini masih melekat di benak saya dan putranya yang lain.

Soal keahliannya berorganisasi, juga dituangkan di Muhammadiyah. Ayah selain membidani berdirinya organisasi ini di Bawean, juga ditunjuk sebagai fungsionaris di sana.

Hingga saat Muhammadiyah mendirikan Balai Kesehatan Islam (disingkat Bakis) pada tahun 87-an, yah iikut membidaninya.

Tidak ada komentar: