Senin, 01 September 2008

Anak dan Banci (2)


Padahal, apapun namanya tontonan ini sangat tak mendidik, dan berbahaya bagi kejiwaan anak. Kenapa? Karena pikiran anak-anak belumlah tersusun sempurna, sehingga saat melihat sesuatu hal yang baru, mereka belum bisa menganalisa dengan baik.

Saat itu yang mereka resapi hanyalah respon sekitarnya, apakah itu baik (mereka selalu konotasikan dengan ekspresi gembira seseorang) atau buruk (biasanya selalu mereka konotasikan dengan marah seseorang).

Jika dia melihat respon sekitar tertawa, maka akan dipikir itu legal dan memang begitulah seharusnya. Sedangkan jika dia melihat respon sekitar marah, berarti itu dilarang.

Masalahnya, anak-anak adalah mahluk yang sangat gemar mencari perhatian, mencari pengakuan dari sekeliling. Makanya, dalam Psikologi Komunikasi Jalaluddin Rahmat menulis, proses meniru atau imitasi dan akulturasi kerap terjadi di masa anak pra remaja ini.

Saat mencari pengakuan dan perhatian ini, anak –nak selalu melakukan trial and error. Biasanya mereka akan memulai dengan hal yang mudah terlebih dahulu.

Menjadi banci, adalah hal yang sangat mudah dilakukan apalagi hasilnya juga bisa disenangi orang sekitar. Akibatnya, sang anak menjadi kian mantap mengakui bahwa menjadi banci itu menguntungkan. Sehingga secara tak langsung, penularan itu telah berlangsung. Embrionya sudah ada, sehingga suatu saat jika lingkungannya mendukung, maka hal ini bisa dengan mudah kambuh lagi.

Masyarakat baru memulai kajian akan fenomena transeksual ini, setelah kasus Rian, yang menjagal 11 orang itu terkuak.

Tak lama berselang, Komisi Penyiaran Indonesia pusat juga mengecam acara banci di televisi. Mereka menuding bahwa televisi, lewat beberapa program acaranya, telah menyuburkan homoseksualitas. Untuk itu KPI akan segera mengirim surat peringatan.

Ah, akhirnya KPI sadar juga. Tapi mengapa baru sekarang ya?

Tidak ada komentar: