Minggu, 14 September 2008

Rivers of Dream (3)

Saya masih ingat, dulu ketika musim main kapal-kapalan tiba, saya kerap melombakan kemampuan mainan masing-masing dengan anak sebaya. Umumnya mainan kapal-kapalan saat itu berbahan sabut kelapa lalu diberi layar plastik.

Namun mainan saya sudah berbahan plastik hasil rakitan pabrik. Kebetulan ayah adalah seorang pedagang yang bolak-balik ke Jawa, sehingga saya bisa memesan mainan itu.

“Yang mirip speedboat ya Pak. Depannya yang lancip. Jangan yang model Parao Salasa-an (perahu dagang Madura) lagi ya,” pinta saya. Sebelumnya memang saya punya kapal-kapalan, tapi bentuknya tak langsing. Bodinya gemuk, mirip perahu dagang Madura, sehingga kurang lincah membelah air sungai.

Tak lama pesanan saya dapat. Namun saya kurang puas, karena larinya kurang laju. Akhirnya, kapal-kapalan dari ayah berbentuk speedboat bercorak coklat di bagian atas dan putih pada lambungnya itu, langsung saya bongkar.

Propelernya yang semula bercabang tiga berbahan plastik, saya ganti cukup bercabang dua yang dibentuk dari kaleng minuman, sehingga lebih ringan. Lalu saya tekuk sedikit saja, agar daya dorong ke air cukup memadai.

Sedangkan power supply-nya yang hanya menggunakan satu batrey ABC ukuran tanggung, saya ubah dengan dua batrey kecil. Alhasil, tenaga dorongnya sangat maut, sehingga kapal-kapalan saya sangat kencang larinya.

Di bagian sirip belakang, yang semula dari plastik, juga saya ganti berbahan kayu berukuran agak besar, sehingga mampu menghasilkan arah yang maksimal.

Yang bikin puas adalah, ketika kapal saya membelah air, menimbulkan gelombang yang cukup keras, sehingga mengguncang kapal-kapal yang dilaluinya.

Apa arti sebuah nama? Bagi saya penting. Makanya, saya mengukir tulisan 234 dengan spidol hitam, di kanan kiri lambung bagian depannya. Saya menyebutnya Dji Sam Soe. Nama ini terinspirasi dari nama boat barang milik orang pateken, di pelabuhan Ujung.

***

Ada beberapa hal yang tak kami lakukan saat main di sungai. Misalnya, jangan mandi pada tengah hari saat masih berkeringat. Sebab bisa menyebabkan kematian. Pantangan ini kami pegang setelah Udin anak Bengkosobong, meninggal di Sungai Lelaki gara-gara langsung mandi usai main kejar-kejaran.

Pantangan lain, jangan main ke sungai pada hari Jumat siang. “Nanti kamu diganggu ocek-ocek nandheng,” pesan ibu. Ocek-ocek nandheng kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia (Jawa?) adalah ulek-ulek berjoget. Ini adalah sejenis mahluk halus (pada bagian lain saya akan ceritakan berbagai mahluk halus yang jadi tahayul orang Bawean).





Selain itu, kalau ke sungai hari Jumat nanti akan bertemu “oreng pangalak olo” alias manusia pemeggal kepala. Semua ini adalah tahayul saja. Tujuannya, untuk nakut-nakuti anak-anak agar salat Jumat dari pada main ke sungai. Meski begitu, hal ini cukup bikin nyali anak-anak keder.

Pantangan lain? Yang ini bukan tahayul! Jika di Sungai Lelaki, jangan sesekali memakai batu licin sebesar bantal yang terletak di bibir sungai. Karena batu itu domaian Kak Kurne, orang pengidap lepra. Seperti diketahui, lepra merupakan penyakit yang paling ditakuti warga kampung. Mereka bilang itu kutukan.

Warga takut bersentuhan dengan mereka, sehingga penderita lepra ini terkucil dari pergaulan. “Nanti kalau disentuh Kak Kurne tanganmu akan cikur (maksudnya kriting),” bisik Acang, teman sepermainan, pada saya. Sayapun ngangguk ketakutan.

Selain beberapa pantangan tadi, ada juga keisengan yang sering terjadi di sungai. Apalagi, selain ngintip orang mandi. Untuk yang satu ini, harus memiliki nyali yang kuat dan iman yang lemah. Saya terus terang tak berani. Itu biasanya dilakukan anak yang sudah remaja.

Selain itu, banyak kaum lelaki dewasa yang memanfaatkan sungai untuk melampiaskan hasrat seksualnya: onani. Kawan saya Yusuf pernah bercerita, pernah saat melintas di Sungai Lelaki, pandangannya tertangkap pada aksi Madi orang Barat Laut, tengah asyik beronani.

“Saya kira ngapain, eh kok Madi wajahnya lain. Tak tahunya onani,” kisah Yusuf.

***

Ketika datang musim hujan, disertai air bah berwarna merah, sungai ini kembali ramai. Namun,mukan oleh aktivitas MCK melainkan canda anak-anak yang main anyok-anyok-an (hanyut-hanyutan), semacam arung jeramnya anak-anak-lah. Bedanya, perahunya berasal dari ban dalam mobil.

Rute anyok-anyok-an ini dimulai dari Sungai Lengghung dan finish di Songai Topo, hampir ke muara.

Kalau sudah begini, biasanya tak ingat waktu. Bisa sampai sore.

Kini semua kenangan itu sudah lenyap. Saat saya pulang pada 2007 lalu, saya lihat sungai tempat kami bermain sudah tak seindah dan seaman dulu lagi. Airnya kian bau, keruh dan menghitam, di kiri-kanannya penuh sampah rumah tangga, umumnya plastik.

Tak ada lagi tawa anak-anak bermain atau canda ibu-ibu saat mencuci pakaian. Tak ada lagi (onani) Madi, tak ada lagi Kak Kurne.

Airnya juga kian dangkal. Tak adanya tempat pengelolaan sampah, membuat penduduk di Bawean terus membuang sampah di sungai.

Sungai impian itu kini telah menjadi mimpi buruk.

1 komentar:

Arul chandrana mengatakan...

halo bung, senang sekali membaca kisah sampean ttg pangalak olo, saya juga menulis kisah ttg pria keren itu (ini linknya: http://arulchandrana.wordpress.com/2012/11/17/pangalak-olo/)

saya harap kitab bisa berbagi mengnai hal2 Bawean. oh ya, saya seorang penulis dari BAwean. silakan berkunjung ke blog saya--lewat link di atas juga bisa.