Senin, 08 September 2008

Celoteh Ramadan (10)

Cik Mamah adalah kawan satu geng Cik Minah. Spesifikasi teknisnya seperti ini. Tinggi 155 cm, berat 65 kg. Alamak, besar sangat badannya.

Ciri khas Cik Mamah adalah makan. Di manapun dia berada, mulutnya selalu mengunyah hingga makanan hadam. Bahkan, seringkali saat makan di warung Cik Timah, langganannya, Cik Mamah selalu nambah.

“Yang banyak belacannya, Timah. Jangan pelit sangat lah,” pintanya.

“Ye lah Cik, nih dah saye tambah,” balas Cik Timah.

“Cepat sikitlah Timah…”

“Aduh Cik Mamah ni, tak sabar-sabar lah,” keluh Cik Timah.

Ya, Cik Mamah memang suka belacan. “Rasenye tak hidup bile tak makan belacan,” komennya suatu ketika.

Belacan inilah yang menyatukan geng yang dibentuk jauh sebelum geng wanita bermunculan, seperti Charlie Angel’s dan Geng Nero.

Kerena sukanya akan belacan, sampai-sampai makan rotipun mereka selalu pakai belacan.

Hingga suatu ketika, petaka itu terjadi. Ketika mau buka puasa, belacan Cik Mamah yang sudah diracik lengkap dengan jeruk nipis itu di cobek itu, rusak berkecai akibat ditendang kucing.

Padahal itu adalah belacan impor, dibuat dari udang varietas unggul HL 2 (he he he, mirip padi supertoy saje)

Maka, paniklah Cik Mamah. “Alamaaak, hei kucing apa pasal engkau hancurkan belacan istimewa saye,” ratapnya.

“Nanti saye lapor KPK (maksudnya kelompok pemburu kucing),” ancamnya. Si kucing pun hanya cuek, lalu berlalu meninggalkan omelan Cik Mamah.

“Manelah stok belacan saye dah habis,” lanjutnya.

Sementara itu, azan magrib tanda berbuka pun dah masuk, namun Cik Mamah masih belum mau berbuka. “Saye bertekad, pokoknya harus dapatkan belacan sekarang juge,” katanya berganjak dari meja makan.

Ruimah pertama yang dia tuju adalah rumah satu geng, Cik Minah. “Hei Minah, Minah…” teriaknya dari luar.

“Ape die Cik Mamah, orang nak berbuka ribut saje,”

“Bagilah belacan engkau sikit. Belacan saye ditendang kucing. Tak hadam lah makan tanpa belacan.”

“Aih aihh… Tak ade lah… Stok belacan saye pun dah habis.”

Mendengar ini, Cik Mamah balik badan, lalu benuju rumah Cik Titi, rekan satu gengnya. Namun jawabannya juga sama; habis.

Tak habis akal, Cik Mamah pergi ke warung makan Cik Timah, namun juga sama, habis juga. Cik Mamah pun terus berpetualang mencari belacan, sementara waktu sudah mau masuk ke Isya.

Hingga akhirnya, dia memutuskan pulang ke rumah, melewatkan berbuka tanpa belacan favorit. “Alamaaak teruk sangat lah…” batinnya, mengakhiri petualangannya.

1 komentar:

Dzikri mengatakan...

Tulisan anda bagus, menarik, mengalir, mungkin karena anda sudah terbiasa menulis artikel di media anda.
Saya juga kerja di sebuah media massa..
Nama saya dzikri, anda bisa mengunjungi saya di dzikri.blogspot.com
Sayang saya tidak tahu alamat email anda supaya kita bisa berkomunikasi..
Selain itu, saya memasukkan blog anda sebagai referensi di blog saya.
Tetap menulis....