Minggu, 14 September 2008

Universitas Batam Pos

Tak terasa, sudah hampir 10 tahun saya kuliah di Batam Pos, sebuah perusahaan pers terbesar dan berpengaruh di Kepulauan Riau.

Saya bergabung ke Batam Pos pada 12 November 1999. Saat itu namanya masih Sijori Pos, kantornya masih di lantai III ruko Orchid Poin, Jodoh.

“Sijori” adalah kependekan dari Singapura Johor Riau, sebuah program segitiga emas yang pernah di gagas Habibie. Kala itu, memang Batam masih masuk wilayah Provinsi Riau yang berpusat di Pekanbaru. Provinsi Kepri sendiri baru terbentuk sekitar tahun 2003 lalu.

“Bagaimana kamu mau bertugas di Batam, sementara kamu belum pernah menginjak daerah ini,” tanya Marganas Nainggolan, Pemimpin Umum Sijori Pos, sebelum memutuskan apakah saya diterima bekerja di koran ini.

“Saya bisa bejalar Pak. Begini saja Pak, kapan saya bertugas, biar saya bisa membuktikan perkataan saya,” jawab saya.

Memang, saya baru merantau ke Kepulauan Riau. Kala itu saya tinggal di Tanjungpinang. Saya mendengar lowongan penerimaan wartawan Sijori Pos, dari iklan di koran ini pula.









Setelah saya diterima, “pangkat” saya kala itu adalah calon koresponden 1 (ck 1). Ujian awal saya saat itu, ketika ditugaskan ke medan perang di Kawasan Industri Bintan, Lobam. “Perang” saya sebut demikian karena kala itu tengah terjadi pendudukan kawasan industri ini oleh orang-orang tempatan yang bersenjatakan panah, tombak dan parang.

Kasus ini menjadi isu internasional dan sempat mengencam hubungan antar Indonesia Singapura. Maklumlah, pemilik saham terbesar Kawasan industri tersebut adalah orang-orang Singapura.

Negosiasi pun tak mempan. Hingga akhirnya, sepasukan penembak jitu dari Brimob Polda Riau (baret hijau) diturunkan. Skenarionya, mereka akan bergerak jika perundingan pukul 20.00 tak berhasil.

Sialnya, namanya saja wartawan baru, saya terjebak di tengah massa dan terkurung di Lobam. Saya berhasil menyusup ke dalam kawasan tersebut, karena mengaku sebagai warga setempat.

Di dalam sana saya melihat warga sudah siap sedia. Bahkan telah menyiapkan beberapa BBM cair dan sumbu yang siap akan mereka lemparkan ke pembangkit listrik, jika suatu saat terjadi pendudukan paksa oleh aparat.








“Gila, bisa mati neh. Gaji pertama belum juga cair,” batinku. Mana saat itu Lobam gelap gulita, karena listrik dipadamkan. Bayangkan bila nanti Brimob itu datang, saya bisa mampus dihabisi. Apalagi, saya tak selembarpun mengantongi surat tugas sebagai wartawan.

Tapi sukurlah, di tengah kegalauan itu, tepat pukul 20.00 Bupati Bintan A Manan, Ketua DPRD Bintan Hoesrin Hood datang bersama beberapa pimpinan TNI. Negosiasi dilakukan, akhirnya berhasil. Sayapun bisa bebas, lalu pulang ke Tanjungpinang dengan bus muspida.

Sesampainya di Batam, saya ditemui Pemimpin Perusahaan Marganas Nainggolan. Saya bersyukur bukan main, lalu saya peluk dia. Marganas pun kebingungan. Ya, mau bagaimana lagi, ini adalah reaksi spontan. Namanya juga baru luput dari maut.

Dari sini saya belajar, bila terjadi hal semacam ini saya harus berada di posisi bersama aparat. Jangan sebaliknya, bisa bonyok.

Tepat Februari tahun 2000, Sijori Pos membentuk sebuah koran kriminal, namanya Batam Pos. Kantornya masih di ruko Orchid Poin, tapi lantai II. Saya pun diajak bergabung ke sana.









Di sini, pangkat saya naik, jadi reporter. Kodenya “EZA”. Kode ini diberi oleh Andra, Koordinator Liputan saya kala itu.

Menurut Andra, di kantor pusat Riau Pos, Pekanbaru, kode biasa dipakai sebagai panggilan wartawan yang bersangkutan. “Jadi biar mudah manggilnya, sesuai kode,” katanya.

Ahh sudahlah, apalah arti sebuah kode. Yang paling penting, status saya langsung jadi karyawan tetap.

Di koran ini saya merasakan hidup prihatin. Pertama berdiri, komputer hanya 5 buah. Itupun sudah termasuk milik Pemimpin Redaksi Ade Adran Syahlan. Belum lagi, ada gep-gepan. Batam Pos, dianggap koran anak bawang yang selalu dicibir. Waduh berat sekali.

Dari sini saya belajar untuk fight. “Yang penting bikin liputan yang bagus, bikin Sijori Pos tiap hari kecolongan,” kata Socrates, Redaktur Pelaksana saya saat itu.

Selain itu, saya kembali dihadapkan pada sebuah peristiwa, di mana saya didemo sekelompok anak buah Pardianto, Bos Yayasan perguruan Tinggi nasional (YPTN). Kala itu, mereka meminta agar saya dipecat.











“Pecat EZA,” teriak mereka, menyebut kode dalam berita itu. Bahkan, ada sebagian berteriak “Bakar… Bakar…”

Saat demo berkecamuk, saya lihat wajah karyawati divisi usaha di lantai I ketakutan. “Ah, gara-gara beritamu ini,” ujar salah seorang dari mereka, merasa tak senang. Di tengah situasi itu, saya bertemu Marganas. Rupanya, dia baru menemui para pendemo.

“Pak, kalau saya salah, pecat saja saya!” ujar saya saat itu.
Marganas kaget, “Ah, sudahlah Reja, santai saja. Tak ada yang mau pecat kamu!” katanya. “reja, ya begitulah Marganas memanggil saja. Lidahnya tak bisa menyebut “Z”.

“Tapi tak enak juga saya kalau bikin repot begini Pak!” saya ngotot.
“Ah, sudahlah Reja, tak usah dipikirkan!” katanya. Hatiku agak tenang.

Oh ya, sekadar diketahui, awal peristiwa ini, karena saya memberitakan bahwa aksi unjukrasa PPN dan PPN BM oleh tukang ojek yang dimotori YPTN, dibayar. Buktinya, saya yang kala itu menyamar sebagai tukang ojek yang ikut demo, diberi kupon oleh panitia untuk ditukar dengan nasi dan uang. Kupon itu saya simpan dan jadi bukti di kantor.
















Namun yang saya curiga, ternyata malam harinya sebelum berita ini naik cetak, Pardianto sempat datang ke kantor. Entah apa yang dibicarakan, yang jelas dia sepertinya tahu kalau akan ada berita tersebut di-keesokan harinya.

Setelah demo usai, diputuskan agar kode saya diganti. Oleh Andra saya diberi kode CR6. “Kode ini hanya tiga bulan saja,” katanya. Dan benar, setelah masa itu berlalu, kode saya kembali lagi. Namun bukan EZA, melainkan FAH, kependekan dari Fahlevi, nama terakhir saya.

Hikmah dari peristiwa ini, saya belajar tetap tenang menghadapi situasi kritis. Dri sini jualah, hubungn saya dan Amdra kian erat. Ibarat adik-kakak. Sayapun tinggal di rumah Andra. Senang susah bersama.

Di Batam Pos-lah, saya belajar matang sebagai seorang wartawan. Saya belajar menulis dari Andra, hingga selanjutnya, Pemimpin Redaksi kami Ade Adran Syahlan, mengajari saya bagaimana menjadi seorang redaktur.

Ade, membimbing saya bagaimana mengawinkan sebuah berita yang diambil dari internet. Dan, bagaimana mengasuh sebuah halaman, membikin rubrikasi dan lain-lain. Pokoknya tugas saya kala itu, persis redaktur.

“Sudahlah, kamu duduk saja di sini,” katanya, menunjuk pada kursinya. Saya canggung juga, gimana mau duduk di kursi Pemred. “Ah santai sajalah,” katanya.

Rupanya, Andra kurang setuju akan hal ini. Status saya kan masih reporter, bukan redaktur. Sayapun terlibat konflik internal, hubungan saya dengan Andra yang semula bak kakak-adik, akhirnya retak.














Andra memang benar, selaku KL dia harus tegas, namun saya bingung juga, karena saya harus patuh pada Pimpinan redaksi.

Akhirnya, saya diputuskan kembali meliput ke lapangan. “Ah sudahlah Reza, tak jadi redaktur juga tak apa,” hibur Socrates.

Namun tak lama beberapa karyawan baru berdatangan, jumlah halaman pun bertambah, sayapun jadi juga redaktur. Kali ini, posisi saya di halaman Metro.

Selanjunya, setahun saya di Batam Pos, saya diminta kembali ke Sijori Pos. Isu soal ini, sebenarnya sudah lama saya dengar dari beberapa wartawan Sijori Pos, “Saya dengar dari Pak Marganas, kamu akan ditarik lagi ke Sijori, Za,” kata Agnes, wartawan Sijori Pos di Sekupang, beberapa waktu sebelumnya.

Hingga akhirnya, Marganas memanggil saya ke ruangnya, “Saya rasa ini bagus untuk kartir kamu ke depan,” ujarnya. Saya hanya terdiam.

“Apa saya bisa ya Pak?”
“Kamu pasti bisa,” jelasnya.

Namun, ternyata saya belum juga pindah. Saat itu, Pak Rida CEO kami, datang ke redaksi Batam Pos. Dia bertanya, kok saya belum pindah, “Kenapa Mas, kan sama saja. Bedanya kalau di sini rujak, kalau Sijori Pos itu (saya lupa…)”








Akhirnya 2001 saya resmi kembali ke Sijori Pos. Saat itu saya memegang halaman Opini, lalu disambung Internasional, higga akhirnya saya megelana dari sesi utama, Metropolis, Daerah dan lain-lain.

Ini yang penting, saat kembali ke Sijori Pos, kode saya juga kembali berubah. Kali ini saya tak mau sembarangan, saya pun menelepon dokter Stiajit Yang, kenalan saya yang ahli fengsui dan hongsui itu. “Tunggu beberapa hari lagi ya…” katanya, sembari meminta agar saya meng SMS nama lengkap saya.

Dan benar, setelah beberapa hari berlalu, Stiajit meng-SMS saya. “Kodemu REF,” ujarnya. Ini adalah kependekan dari Reza Fahlevi. Sayapun menyuikainya, soalnya mirip dengan kependekan refrain, nada tinggi dari sebuah lagu. Kebetulan juga saya suka musik.

Kode ini terus saya pakai, hingga Sijori Pos berganti nama menjadi Batam Pos di tahun 2003, dan pindah ke gedung Graha Pena tahun 2006. Bahkan hingga kini, sebagian rekan memanggil saya “REF”.

Dari sini saya terus belajar. Saya belajar dari pengalaman, dari interaksi, dari masalah, bahkan dari para pimpinan.

Dari Dahlan Iskan, saya belajar menjadi seorang visioner.
Dari Rida K Liamsi saya belajar menjadi bijaksana.
Dari Marganas Nainggolan saya belajar seni kepemimpinan.
Dari Ade Adran Syahlan saya belajar telaten.
Dari Socrates saya belajar tiada hari tanpa bekerja.
Dari Andra S Kelana saya belajar menulis.
Dari Hasan Aspahani saya belajar kreatif.
Dari Candra Ibrahim saya belajar tetap tenang dalam memutuskan sesuatu.
Dari Usep RS saya belajar lobi.
Dari Herman Mangundap saya belajar penaklukan.
Dari Nelda saya belajar efisien.














Tak hanya terkait soal pekerjaan saja, bahkan di Batam Pos saya juga belajar dari Parna Simarmata tentang silsilah marga-marga di Batak.

Mereka semua, adalah “dosen tetap” saya. Sedangkan “dosen tak tetap” saya bisa jadi seorang Gubernur, Wali Kota, Ketua Dewan, komandan TNI/Polri, bos BUMN, pengusaha, tokoh agama, atau bisa jadi Anda. Saya menimba ilmu dari mereka, ketika mereka berkunjung ke kantor atau menggelar diskusi.

Ya, belajar dan terus belajar, akan hal-hal yang baik tentunya. Itulah mengapa saya menyebut di kalimat awal tadi, bahwa saya sedang kuliah di Batam Pos, disamping memang bekerja. Karena bagi saya, bekerja memang untuk belajar.

Batam Pos memang sebuah unity (kesatuan), Batam Pos juga diversity (perbedaan). Batam Pos adalah University.

Ah, andai saja para “dosen” itu tahu betapa kerasnya usaha saya mencuri ilmu mereka. Semoga saja mereka tak tahu.

Tidak ada komentar: