Kamis, 25 September 2008

Ajahku (1)

Di saat ini ingin ku mengenang lagi ayah ku. Sengaja saya menulis judul di atas dengan ejaan lama ini. Hal initerispirasi pada buku Buya Hamka, seorang pemikir, wartawan, doktor honouris causa yang sangat saya kagumi, meski dia hidup sebelum era saya bisa berfikir (selengkapnya tentang Buya, klik http://id.wikipedia.org/wiki/Hamka).

Di daerah kami, putra Syekh Abdul Karim bin Amrullah ini dikenal sebagai orang Sumatera Barat dari pada orang Padang. Sebutan “Sumatera Barat” dinilai lebih mengandung makna sebagai daerah pemikir, cendekia utama, dari pada “Padang” yang konotasinya selalu pedagang dan bahkan ada yang menyelipkan dengan pomeo negatif lainnya.

Buku ”Ajahku” diterbitkan Buya pada tahun 50-an, saat itu tentunya saya masih TK. Isinya, tentu saja, mengisahkan tentang Buya yang bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dari sinilah rupanya nama ”Hamka” berasal.

Di sampul buku ini terpampang foto hitam putih Buya, memakai peci hitam dan jas putih (tak jelas apa warna aslinya, namanya saja juga foto hitam putih).

Ikhwal kekaguman saya kepada Buya, tak lepas dari ayah saya yang memang sudah lama mengaguminya. Semua ini bermula dari hobi ayah saya membaca dan mendengar semua jenis informasi.

Saya sendiri tentunya belum bisa membaca bacaan seberat ini. Paling banter hanya lihat sampulnya lalu mengecek apa di dalamnya ada halaman bergambar. Kalau tidak, ya tak dibaca, malas. Tapi saya selalu meminta ayah menceritakan soal apa buku ini berkisah.

Ayahku adalah seorang tamatan sekolah rakyat. Meski begitu dia banyak mengerti dan memperaktikan berbagai disiplin ilmu. Mulai manajemen, pembukuan, navigasi, jurnalis, disain, rancang bangun, ilmu pertukangan hingga kerajinan tangan.

Seni pun juga mengalir di darahnya. Selain mahir menggambar, ayahku juga termasuk personel orkes Bunga Seroja. Nama ini diambil dari single piringan hitam Said Effendi berjudul sama yang ngetop di pertengahan tahun 50-an. Di Bunga Seroja Ayah memegang accordion.

Terkait keahliannya ini, ayah banyak mendapat job semasa mudanya. Di era sebelum kemerdekaan, di mana beras susah didapat, ayah sering mendapat order membikin stempel dinas oleh karisidenan kawedanan Sangkapura. Dari hasil jerih payahnya ini, ayah dibayar 5 kilogram beras.

Selain itu, ayah kerap mendapat order membikin prasasti. Hasil karyanya hingga kini bisa masih terukir kokoh di tugu pesangrahan Belanda di Pateken.

Tidak ada komentar: