Selasa, 23 September 2008

Aku dan Allah-ku

Setiap tamu yang bertandang ke rumah saya selalu bertanya,

“Za, mengapa engkau tak memajang lafal ‘Allah’ di rumah ini? Bukankah kamu Muslim?”

“Ini apa?” jawab saya sambil menunjuk kaligrafi ayat Kursi yang terpampang di ruang tamu.

“Bukan itu Za, lafal Allah. Lafal Allah-nya sendirian, tak digabung seperti itu,” balasnya.

Saya lama terdiam, coba untuk mengurai hal yang sudah lama tersimpan dalam core prosesor otak saya.

“Begini, menurut saya itu terlalu berisiko. Apalagi sekarang saya sudah punya seorang anak. Sebab jika tak siap, khawatir nanti malah mengkultuskan bahwa bentuk Allah seperti itu, sebuah huruf arab mirip trisula!”

Kawanku belum juga mengeti, lalu saya uraikan seperti ini;

Dalam Islam, kita salat selalu menghadap suatu zat yang maha luas, zat pencipta langit dan bumi. Karena itu, dalam surat Alikhlas disebut, tidak ada satupun yang dapat menyerupainya. Allah tak boleh digambarkan sebagai sesuatu, karena Dia melebihi dari sesuatu. Allah itu maha tak terbatas!

“Ya kamu benar. Lalu, apa hubungannya dengan lafal Allah tadi?” kawanku ternyata masih penasaran.

Begini, menghadap suatu hal yang maha luas, menghadap suatu hal yang tak berbentuk, merupakan suatu hal yang berat. Hal ini memerlukan kerja hati, bukan pikiran.

Masalahnya sekarang, jika hati kita tak mampu, maka otak manusia akan mencari jalan keluar. Tentunya, melalui cara dengan apa yang disebut logika. Ini bisa diambil dari beragam peristiwa yang sudah direferensi selama ini.

Otak selalu identik dengan pembuktian dan kasat mata (gambar). Jika suatu saat kita mengalami kebingungan, otomatis otak akan mencarikan jalan sesuai apa yang sudah kita referensi selama ini. Lalu, tertangkaplah mata kita pada lafal Allah itu. Dari sana, acceptor mata akan mematentan gambar tersebut ke otak belakang dan mencetaknya, bahwa itulah Allah.

“Ini yang aku takutkan! Makanya aku lebih aman memajang lafal Allah bersama dengan ayat lain.”

“Apa seperti itu Za?”

“Bisa jadi!”

Untuk lebih menyederhanakan maksud, saya mencontohkan kinerja otak ini dengan bagaimana anak kecil melihat kandungan ibunya. Saat ibunya bilang, “Ssst... jangan ramai ya, adek lagi tidur!”

Saat itu pula, otak si anak menggali memorinya dengan apa yang sudah dia tangkap selama ini. Maka jadilah dalam bayangannya, bahwa dalam perut ibunya itu adiknya tengah tidur di ranjang.

Hal ini pulalah sering saya temui saat salat di masjid raya Batam, iseng saya bertanya, apa yang Anda bayangkan saat salat. Mereka menjawab “Allah!”

“Bagaimana bentuknya?”

“Ya saya bayangkan saja lafal Allah itu!”

Tidak ada komentar: