Jumat, 12 September 2008

Bawean (4)

Kata “Boyan” sendiri, Wikipedia menulis, asalnya dulu karena lidah orang melaka tak bisa melafazkan kata “Bawean”. Ada juga yang mengatakan, Boyan adalah sebutan orang Melaka terhadap orang kebun. Karena orang Bawean dulu di Melaka banyak bekerja di sektor perkebunan.

Tak hanya di Malaysia, saat saya ke Bangkok Thailand beberapa waktu lalu, ada juga perkampungan orang-orang Bawean di bantaran sungai Chao Praya yang disebut “Bayan”. Juga di Australia, orang-orang Bawean dulu sudah menetap Pulau Christmast dan Perth.

Dari catatan ini, tak heran jika anak keturunan Bawean telah mengisi berbagai sektor tenaga kerja di dua negara tersebut, ada yang jadi musisi (di Singapura ada The Swallows dan komedian Obek Didi) hingga ahli politik dan parlemen.

Namun ketika konfrontasi dengan Malaysia meletus, orang-orang Bawean tertahan, selanjutnya memilih perantauan di sekitar semenanjung Malaya itu, seperti Bintan, Riau, hingga Bangka Belitung. Konon Yusril Ihza Mahendra masih keturunan orang Bawean ini.

Hingga setelah konfrontasi usai dan Pemerintah Malaysia meminta agar Soekarno mengirim penduduknya yang Muslim untuk menjadi Warga Malaysia, migrasi ke Malaysia lancar kembali.

Langkah ini dilakukan pemerintah Malaysia sebagai langkah politik untuk memenuhi kuota penduduk asli (melayu) negerinya agar tak jatuh ke etnis asing seperti Singapura, mengingat rendahnya jumlah penduduk asli di banding Etnis China dan India di sana.

Jumlah perantau warga Bawean ke negeri jiran kian meningkat. Saat itu, warga Bawean dengan mudahnya punya IC setempat. Hingga awal 90-an, anak-anak muda sudah tak lagi menjadikan Malaysia dan Singapura sebagai tujuan utama merantau, apalagi setelah mereka melakukan pengetatan imigrasi, dengan menagkap dan menendang pendatang ilegal.

Meski ada yang melanjutkan tradisi ini, mereka tak lagi bisa berharap jadi penduduk asli. Di Malaysia warga Bawean banyak bekerja kontrek (bangunan) dan di Singapura memilih kerja kapal, hingga ke negara-negara teluk.

Keberadaan perantau Bawean ke Malaysia dan Singapura membawa dampak baik budaya hingga sosio ekonomi di Bawean. Seperti halnya para pekerja kapal, dalam perkembangannya mereka mendapat tempat di hati masyarakat. Khususnya yang bekerja di kapal-kapal minyak yang banyak mendatangkan dolar.

Simbol-simbol kemewahan pun dengan mudah mereka dapatkan, dan tak heran selalu menjadi pujaan anak-anak gadis. Strata sosialnya pun naik, menggeser posisi polisi yang dulu bertengger di urutan nomor dua.

Selain itu, maraknya perantauan ini membuat mata uang dolar Singapura dan ringgit Malaysia bisa diterima sebagai alat tukar. Roda ekonomi-pun tergantung dari lancarnya peredaran mata uang dolar dan ringgit itu ke Bawean. Saat nilai tukar ke rupiah tinggi, maka Bawean kian bersinar. namun saat resesi keuangan seperti saat ini (2008), di mana Singapura dan harga minyak terkena pukulan hebat, maka Bawean pun kian redup.

Semenjak pengetatan sistem imigrasi di Malaysia dan Singapura, membuat para perantau tak bisa lagi membawa istrinya ke negeri itu. Akibatnya sungguh menyedihkan, biasanya si ayah meninggalkan istri dan anaknya dalam waktu lama. Kadang baru 5 tahun sekali bisa pulang, lalu kembali lagi, pulang lagi. Begitu terus. Kadang saat sudah menjelang ajal baru bisa berkumpul.

Dampak psikologi bagi anak-anak bagaimana? Banyak dari mereka yang tak kenal wajah ayahnya lagi, karena sejak lahir sudah ditinggal. Yang buruk, selama itu mereka diasuh oleh nenek yang tentu saja sentuhan dalam mendidik lebih longgar dibanding ayah-ibunya sendiri. Akibatnya, tak ajarang ditemukan dari mereka yang kehilangan orientasi sosial.

Bagi kaum ibu sendiri bagaimana? Banyak ditemukan kasus perselingkuhan. Saya masih ingat, dulu pada tahun 1980-an dalam sebuah tanya jawab di Pendopo Kawedanan Sangkapura, saat Mentri Peranan Wanita era Soeharto Mien Soegandhi merkunjung ke Bawean, ibu-ibu PKK di pulau ini mengeluhkan soal ini. ”Kami kesepian Bu,” katanya. Mendengar ini Mien hanya tersenyum lalu menjawab, ”Ya dilarang saja suaminya pergi.”

Entah karena melihat kenyataan ini atau bukan, kini kaum perantau baik tujuan Malaysia dan Singapura membawa serta anak dan istrinya, menetap di pulau-pulau dekat negeri jiran itu. Paling banyak di Tanjungpinang, dan setelah Batam dibuka mereka memilih menetap di Batam, sehingga bisa minimal berkumpul seminggu sekali dengan keluarganya.

Keberadaan orang Bawean di Batam dan Tanjungpinang ini sudah berakar, membentuk paguyuban, hingga perkampungan. Kini di daerah Sungaipanas, Batam ada juga kampung Boyan. Mereka adalah penduduk yang direlokasi dari Jodoh, saat kawasan itu dilanda kebakaran hebat tahun 1990 lalu.

Kisahnya, tahun saat itu, Otorita Batam akan membuat Jodoh dari perkampungan menjadi sentra bisnis terpadu seperti galangan kapal. Tiba-tiba kawasan ini dilanda kebakaran hebat. Selanjutnya, penduduk Jodoh tersebut diberi tanah cuma-cuma di Bengkong dan Sungaipanas.

Selain ke Malaysia dan Singapura, anak-anak muda Bawean banyak juga memilih Jawa sebagai tanah harapan. Tujuannya untuk menuntut ilmu di pesantren seperti Paiton, Tebuireng, Gontor atau Paciran.

Ada juga yang mengecap bangku kuliah, dengan harapan pula selanjutnya mereka bisa bekerja di sana, sehingga tak perlu jauh meninggalkan kampung halaman.

Tidak ada komentar: