Rabu, 17 September 2008

Celoteh Ramadan (17)

Lebaran sebentar lagi. Warga kampung pun mulai menata banyak persiapan di hari yang mulia itu. Yang lelaki mulai mengecat rumah, dan yang perempuan menyiapkan baju baru dan kuih muih.

Tek terkecuali Sudin, anak lelaki semata wayang Cik Amat dan Cik Minah yang berumur 10 tahun. Jauh-jauh har sudah mempersiapkan diri untuk “nambang”. Apa itu nambang?

Nambang adalah tradisi anak-anak di kampung itu. Biasanya mereka datang berkelompok ke rumah-rumah penduduk sembari mengucapkan selamat hari raya, mohon maaf lahir batin. Dan terakhir, mereka mendapat angpao dari tuan rumah.

Ada kalanya, ketika semua rumah di kampungnya sudah habis didatangi, kadang mereka nambang hingga merambah ke kampung sebelah.

Karena inilah, tak heran jika mengapa jauh-jauh hari Sudin sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk urusan nambang ini.

Bak ahli manajemen kondang, dia mulai menyusun planning, organising, actuating, controlling. Karena itu, beberapa listing kunjungan sudah dia susun, termasuk kesiapan pakaian gombor dengan saku dalam pengaman, untuk menampung semua hasil tambangannya.

“Saku dalam ini supaye tak tampak tuan rumah. Sehingga angpaunya bisa banyak,” batinnya. Selain itu, saku dalam mirip kantung Doraemon ini, juga berguna untuk “mengoleksi” makanan kering yang menggiurkan di meja tuan rumah.

Sudin pun juga sudah melakukan analisa dan evaluasi dari pengalaman sebelumnya, lalu memilahnya.

Untuk rumah-rumah pemberi uang Rp100-an dia masukkan dalam “kelompok kering”, rumah pemberi angpau Rp500 dalam kelompok sedang, dan untuk pemberi Rp1.000 keatas masuk dalam “kelompok basah, atau jalur gemuk”.

Nah, melalui pemilahan ini maka Sudin membikin skala prioritas. Tentu saja, yang pertama dikunjungi adalah rumah-rumah yang masuk jalur gemuk, karena kalau terlambat maka khawatir tak kebagian.

Rute selanjutnya, tentu saja jalur sedang dan terakhir jalur kering. “Jalur kering, mau kapan pun di kunjungi tetap saje Rp100 saje,” hituingnya.

Besar kecilnya pemberian angpao ini bersifat tak permanen. Misal, rumah Cik Mamah yang biasanya masuk jalur kering karena hanya memberi angpau Rp100-an, pada tahun Sudin memasukkannya dalam jalur gemuk.

Alasannya, bukan karena badan Cik Mamah yang bertambah gemuk, namun karena seminggu lalu Cik Mamah menang arisan kampung. “dah tentu banyak pule duitnye,” batin Sudin.

Selain itu, besar kecilnya pemberian angpao ini juga tak tergantung besar dan kecilnya rumah. Misal, rumah Pak Ngah yang besar itu, tak menjamin memberi angpao yang fantastis

Buktinya, rumah Cik Titi yang meski sederhana, namun mampu bertengger dalam peringkat Top 10 pemberi angpao fantastis dalam daftar Sudin. Beda dengan rumah Pak Ngah. Meski besar dan bertingkat, namun tetap saja bertahan di jalur kering.

Hal ini tak lepas dari campur tangan istrinya, yang memang sangat perhitungan. “Alamaaaak, kedekut sangat lah,” rintih Sudin.

Namun, tahun ini Sudin berharap akan banyak pemasukan, hal ini terkait maraknya warga yang ikut mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, sehingga diharapkan mengucurkan anggaran cukup lumayan untuk meraih simpati warga, termasuk pemberian angpau tadi.

Yang terakhir ini kayaknya Sudin akan salah perhitungan, sebab usia dia bukanlah usia pemilih. Jadi, para calon DPRD itu akan sulit mencoret anggaran pembangian angpau untuk anak-anak, he he he.

Tidak ada komentar: